Paradoks Cile

BARU-BARU ini, mantan Menteri Keuangan M Chatib Basri mengingatkan pemerintah akan fenomena yang bisa mengarah ke The Chilean Paradox. Peringatan itu dikemukakan karena pemerintah kerap melupakan kepentingan kelas menengah Indonesia. Meskipun kondisi Paradoks Cile itu kemungkinan kecil terjadi di Indonesia, tapi mengabaikannya sama sekali jelas bukan langkah yang bijak.

Ingat, pemerintah pernah menganggap enteng informasi adanya masyarakat Indonesia yang sudah terpapar covid-19 di awal 2020. Menteri Kesehatan RI waktu itu lebih gemar menangkis ketimbang menelusuri informasi yang ternyata benar adanya itu.

Maka, sekecil apa pun kemungkinan buruk bakal datang, sikap terbaik ialah waspada, alih-alih mengabaikannya. Pula dengan kemungkinan fenomena Paradoks Cile yang diingatkan oleh Chatib Basri itu.

Lampau apa Paradoks Cile yang dimaksud? The Chilean Paradox ialah situasi yang terjadi ketika pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa dibarengi dengan memperhatikan dan memfasilitasi kepentingan kelas menengah. Di negeri ini, hari-hari ini, kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah sedang dilanda kebingungan karena pendapatan mereka merosot. Mereka bahkan terus-menerus ‘mantab’, alias makan tabungan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Cek Artikel:  Beringin Bergoyang

Tetapi, pemerintah saat ini baru mengurus golongan miskin dengan menggerojok mereka melalui skema bantuan sosial. Sementara itu, kelas menengah yang daya belinya juga turun, nyaris tidak mendapatkan perhatian memadai. The Chilean Paradox terjadi ketika kondisi negara itu sedang bagus-bagusnya.

Cile merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Negara kaya minyak itu juga berhasil menurunkan kemiskinan dari 53% menjadi 6%, lebih baik daripada Indonesia. Meski dengan semua pencapaian moncer itu, pada Oktober 2019 meletus kerusuhan sosial yang hampir berujung pada revolusi.

Peristiwa itulah yang kemudian disebut dengan istilah The Chilean Paradox. Kerusuhan terjadi justru ketika ekonomi sedang bagus-bagusnya dan kemiskinan sudah sangat sukses ditekan. Perkaranya disulut oleh kaum menengah yang lalai diperhatikan.

Kerusuhan tersebut dimotori oleh kelas menengah Cile yang merasa tidak puas dengan pemerintahan. Kebijakan-kebijakan pemerintah Cile saat itu memang terlalu fokus kepada 10% masyarakat terbawah, sedangkan kebutuhan kelas menengah terhadap pendidikan yang bagus dan fasilitas umum yang layak kurang mendapatkan perhatian.

Cek Artikel:  Politisasi Uji Materi

Salah satu contohnya ialah penaikan tarif transportasi umum di jam-jam sibuk sebesar US$1,17 atau sekitar Rp16 ribu pada September 2019. Padahal, sembilan bulan sebelumnya (pada Januari) ongkos transportasi umum setempat sudah dinaikkan. Keputusan itu jelas memukul kaum menengah pekerja.

Maka, demonstrasi pecah di ibu kota Cile, Santiago. Lebih dari satu juta orang turun ke jalan. Aksi demo bahkan berlangsung sangat keras dan menewaskan 18 orang. Sebagian besar korban meninggal akibat terjebak saat menjarah toko yang kemudian dibakar. Presiden Cile saat itu, Sebastian Pinnera, sampai mengumumkan reshuffle besar-besaran pada kabinet.

Pemerintah Indonesia harus belajar dari peristiwa di Cile empat tahun lalu itu. Apalagi dalam beberapa tahun ke depan, kelas menengah akan mendominasi penduduk Indonesia. Kalangan ini tidak membutuhkan bantuan sosial atau uang tunai, tetapi lebih kepada fasilitas umum yang baik. Mereka butuh kualitas pendidikan yang baik, sarana transportasi yang lebih baik, daya dukung lingkungan yang baik.

Cek Artikel:  Kemerdekaan dan Peradaban

Mereka, kaum kelas menengah itu, sangat peduli pada isu pengelolaan sampah, kesehatan, ruang publik yang memadai, fasilitas umum yang berkualitas, juga kebebasan dalam berekspresi. Percakapan di media sosial hari ini menunjukkan seperti apa potret kelas menengah kita saat ini.

Begitu mereka gagal memenuhi impian mereka karena tabungan yang terus-menerus dipakai kian menipis, keresahan terus berkecamuk. Mereka bisa saja tidak percaya bahwa ekonomi yang tumbuh di rata-rata 5% ialah capaian terbaik di tengah ketidakpastian global.

Para ‘penghuni’ kelas menengah itu akan terus mempertanyakan, bila memang ekonomi membaik, mengapa kehidupan yang mereka rasakan justru sebaliknya? Kalau ekonomi kuat, mengapa banyak dari mereka justru susah meraih kenaikan pendapatan? Malah yang mereka alami, kian hari kian ‘mantab’ saja.

 

Mungkin Anda Menyukai