Harimau Ompong UU TPKS

IBARAT macan yang diompongkan, Undang-Undang Nomor 12 Mengertin 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) seakan tidak mampu membendung para predator seksual beraksi.

Bila melihat perjalanannya, UU TPKS memang seakan dirancang menjadi macan ompong sejak dini. Komnas Perempuan telah menginisiasi undang-undang ini sejak 2012 karena menganggap Indonesia telah darurat kejahatan seksual. Hingga akhirnya, pada 2016, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk ke pembahasan di DPR.

Selama beberapa tahun di DPR, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bolak-balik dikeluarkan dan dimasukkan ke program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Setelah melalui pembahasan di DPR yang maju-mundur, pada 2021 RUU tersebut berubah menjadi RUU TPKS. Akhirnya, pada 12 April 2022, DPR menyepakati RUU TPKS menjadi UU. Kalau ditotal, pembahasan di DPR saja memakan waktu enam tahun.

Setelah diundangkan pada 9 Mei 2022, jumlah pelaporan kasus kekerasan seksual masih mendominasi di Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan sepanjang 2022. Setidaknya, berdasarkan refleksi satu tahun pemberlakuan aturan tersebut, 65% dari 3.422 kasus kekerasan berbasis gender yang diterima Komnas Perempuan ialah kasus kekerasan seksual.

Cek Artikel:  Trias Koruptika yang Menggila

Rupanya, salah satu problematikanya ialah ketiadaan aturan pelaksana dari UU TPKS. Banyak pihak yang sejak awal aktif mengawal lahirnya UU tersebut menyayangkan lambatnya penyusunan aturan turunan tersebut. Salah satunya Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat yang kembali berinisiatif mengajak masyarakat mendorong lahirnya sejumlah aturan pelaksanaan agar UU TPKS bisa segera dieksekusi maksimal.

Dalam UU TPKS telah diamanatkan penyusunan tiga peraturan pemerintah (PP) dan empat peraturan presiden (perpres) sebagai aturan turunan. Jumlah itu pun sebenarnya sudah disederhanakan dari sebelumnya 10 aturan turunan yang mesti disusun pemerintah dan presiden. Tetapi, seluruh PP dan perpres yang sebetulnya telah terdaftar sebagai Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Mengertin 2023 dan tengah dalam percepatan pembentukannya itu tak kunjung ada tindak lanjut.

Kunci dari semua itu ada di tangan pemerintah dan presiden. Presiden Joko Widodo pada 27 Februari 2023 menegaskan dukungan untuk memastikan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan implementasi UU TPKS.

Cek Artikel:  Abaikan Mantapan Satu Putaran

Lampau, jajaran pembantunya pun seakan meng-copy paste tekad dan janji Presiden. Berulang kali, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga memastikan bergerak cepat menyusun amanat UU TPKS.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ratna Susianawati juga menjanjikan aturan turunan UU TPKS segera selesai dan tinggal melewati satu tahap lagi, yaitu harmonisasi. Tetapi, realisasinya nol. Tiba hari ini semua masih berupa janji.

Di saat Presiden dan jajaran di bawahnya masih beretorika dengan tekad dan janji, korban kekerasan seksual terus berjatuhan. Mirisnya, berdasarkan catatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), kekerasan seksual pada 2022 paling banyak terjadi di dunia pendidikan, yakni kampus. Di wilayah yang mestinya melahirkan orang terdidik dan calon pemimpin masa depan, malah banyak memunculkan derai air mata para korban.

Cek Artikel:  Waspadai Pengaruh Kasus Trump

Anak-anak juga tidak luput dari sasaran para predator. Bahkan, tidak jarang korban yang mestinya mendapatkan perlindungan berlapis justru menjadi korban berlipat ganda. Seperti kejadian di Lampung Timur, seorang siswa korban pemerkosaan yang hamil malah diberhentikan oleh pihak sekolah. Entah di mana logika dan hati nurani pihak sekolah.

Belum lagi, kekerasan seksual yang berdasarkan relasi kuasa, seperti yang dilakukan salah seorang bupati terhadap pegawai perempuannya. Kepada melarikan diri dari ancaman pidana, si pelaku mengawini korban. Sebuah modus yang sejatinya menjadi pantangan dalam UU TPKS.

Tekad dan janji para pejabat untuk menuntaskan aturan turunan UU TPKS seakan menjadi janji kampanye politisi, tetapi tidak kunjung terbukti. Angin surga tanpa ada realisasi. Ingat, korban tidak butuh penjelasan mengenai pembahasan ataupun harmonisasi peraturan, apalagi kalau sampai menghabiskan waktu lebih dari 1,5 tahun. Yang mereka butuhkan ialah kepastian dan bukti nyata.

Mungkin Anda Menyukai