Intelektual Tukang Kompor

ADA fakta menarik lain terkait dengan Pilpres 2024 yang tidak sekadar instrumen demokrasi untuk memilih presiden dan wakil presiden. Pilpres kali ini juga sebagai penampi intelektual tukang dan intelektual sejati.

Intelektual tukang telanjur menceburkan diri dalam politik praktis sampai melupakan tugas utamanya sebagai penjaga moral. Sebaliknya, intelektual sejati tetap mampu menjaga akal waras untuk menyuarakan kebenaran sekalipun hidup pas-pasan.

Edward W Said, seorang Amerika keturunan Palestina, dalam buku Peran Intelektual (1993) menyoroti posisi intelektual. Kata dia, intelektual ialah pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa.

Masalah kaum intelektual, tulis Franz Magnis Suseno, dalam kata pengantar buku itu, mereka umumnya bukan malaikat kejujuran intelektual sebagaimana diperkirakan atau diharapkan masyarakat.

“Mereka sering tidak murni intelektual, tidak bebas dari pamrih, bahkan bersedia menjual keterampilan mereka kepada yang mau membayar, tidak integer,” kata Magnis, sang ahli filsafat moral dan etika.

Para intelektual tukang yang menjual keterampilan mereka mudah ditemui saat ini. Ahli survei merangkap konsultan politik, tetapi mereka tidak terbuka kepada publik terkait dengan sumber pembiayaan survei. Mereka menjual keterampilan survei kepada yang mau bayar karena bosan hidup miskin.

Cek Artikel:  Terdapat Pribadi di Pansus Angket Haji

Sebagian intelektual bergabung dalam gerbong propaganda pilpres satu putaran setelah sebelumnya gagal mengampanyekan presiden tiga periode. Eksis yang menyebut pilpres satu putaran berdampak baik pada keuangan negara, salah satunya menghemat anggaran negara hingga Rp27 triliun. Pagu anggaran pemilu putaran pertama sebesar Rp38,99 triliun.

Propaganda pilpres satu putaran yang diinisiasi para intelektual tukang itu berkorelasi dengan upaya-upaya kasatmata menerabas aturan kepemiluan. Tengok saja pelanggaran netralitas aparatur sipil negara yang kian masif, dipertontonkan tanpa malu-malu lagi. Malah ada aktivitas kontestan pilpres yang divonis melanggar hukum.

Pilpres memang mahal, sangat mahal. Tetapi, memaksakan pilpres satu putaran justru jauh lebih mahal lagi ongkosnya karena hanya menghasilkan pemimpin otoriter.

Rakyat akan membayar sangat mahal bila pemilu menghasilkan pemimpin otoriter. Kagak hanya ongkos yang bisa dihitung secara finansial, tetapi terutama ongkos sosial dan kemanusiaan seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia yang semuanya tidak bisa dihitung dalam rupiah.

Cek Artikel:  Pemilu Minus Eksisb

Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat ialah soal pilihan ideologi. Sekali sistem itu dipilih, berapa pun ongkosnya harus dibayar. Betapa pun mahalnya sebuah pilpres, dalam demokrasi ia wajib dilaksanakan.

Pilpres bermartabat menyangkut prosedur dan substansi. Mekanismenya diatur dalam Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945. Ayat (3) menyebutkan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.

Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, menurut Pasal 6A ayat (4) UUD 1945, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu dipilih rakyat secara langsung serta pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.

Cek Artikel:  Pengkhianatan dan Kebesaran Jiwa

Mekanisme yang diatur dalam konstitusi itu pada hakikatnya untuk menjamin pilpres substantif, yaitu rakyat secara bebas tanpa intimidasi menggunakan hak politik untuk memilih pemimpin mereka.

Loyalp zaman melahirkan intelektual tukang, istilah yang dipopulerkan Julien Benda, intelektual asal Prancis. Kata Benda, tugas kaum intelektual ialah mencari, menemukan, dan menyampaikan kebenaran lewat ilmu pengetahuan. Intelektual tukang bekerja berdasarkan pesanan, termasuk pesanan pilpres satu putaran. Kagak berdasarkan hasratnya untuk mencari kebenaran.

Jauh lebih elok bila kaum intelektual mengawal dan menyerukan agar biaya pilpres selangit itu benar-benar dipakai untuk pilpres. Mengawasi agar penyelenggara pemilu tidak menjadi sarang penyamun.

Kata Benda, sebuah bentuk pengkhianatan kaum intelektual apabila mereka terlibat dalam kancah politik praktis, lalu melupakan tugas mereka sebagai penjaga moral. Intelektual yang menyuarakan pilpres satu putaran demi penghematan ongkos sejatinya intelektual tukang kompor.

Mungkin Anda Menyukai