Sasaran Mendunia Vaksinasi Pragmatis nan Problematis

Target Global Vaksinasi Pragmatis nan Problematis
Ilusrasi MI(MI/Seno)

PERTANYAAN ‘kapan pandemi berakhir?’ sudah bersirkulasi sejak awal-awal pandemi. Para ahli pun antusias merespons pertanyaan itu. Makanya, hanya dalam periode beberapa bulan setelah munculnya pandemi, telah banyak muncul prediksi-prediksi akhir pandemi. Fenomena ini terus berlanjut hingga kini. Baru-baru ini, Dirjen WHO Dr Tedros juga mengeluarkan conditional prediction. Katanya, ada kemungkinan fase akut pandemi dapat berakhir tahun ini. Syaratnya, 70% penduduk bumi harus telah tervaksinasi.

 

 

Akhir fase akut

Di tengah badai omikron yang terus menerabas banyak negara, prediksi WHO terdengar klise, nyaman, tapi mengagetkan. Bagaimana mungkin di tengah laju kasus yang tetap tinggi, fase akut akan selesai dalam beberapa bulan mendatang? Tetapi, karena yang mengeluarkan statement ialah WHO, sebagian percaya alasan yang melandasinya. Pertama, meski angka kasus masih terus berfluktuasi, angka kematian (death rate) dan case fatality rate (CFR) covid-19 telah menurun signifikan. Death rate merendah dari 1,85 per 1 juta populasi tahun lalu menjadi 1,29 per 1 juta populasi saat ini. CFR juga sangat menurun dari puncak 7,8% saat awal pandemi menjadi 0,34% saat ini.

Dalam epidemiologi, penurunan signifikan death rate dan CFR menjadi salah satu penanda pandemi akan memasuki fase deselerasi. Fase ini kemudian diikuti fase terkontrol, virus tetap ada dan bersirkulasi, tetapi penyebarannya telah dapat dikontrol dan tidak lagi menimbulkan lonjakan kasus dan kematian. Sederhananya, terjadi metamorfosis dari pandemi menjadi endemi.

Kedua, program vaksinasi covid-19 berlangsung sangat masif. Program ini bahkan dianggap event vaksinasi terbesar dalam sejarah. Vaksin memang menjadi elemen krusial penanggulangan penyakit infeksi menular. Hingga kini, lebih 10 miliar dosis vaksin telah disuntikkan kepada 61% penduduk bumi. Dengan profil ini, sebagian besar manusia diharapkan telah memiliki antibodi adekuat terhadap covid-19. Sebagian manusia juga pernah terinfeksi dan diasumsikan telah memiliki antibodi. Gabungan antibodi pascavaksinasi dan pascainfeksi diharapkan membuat manusia lebih resistan terhadap covid-19. Memang, semakin tinggi cakupan vaksinasi, semakin sedikit orang yang tertular infeksi, mengalami pemberatan penyakit, atau kematian.

Ketiga, saat ini manusia telah memiliki multiple weapons, beragam senjata pandemi. Sebelum ditemukan vaksin, penatalaksanaan yang jamak dilakukan terbatas pada pembatasan aktivitas, 3M dan 3T. Dengan ini saja, terjadi penurunan CFR dari 7,8% menjadi 1,6%. Definisinya, sangat efektif. Datangnya vaksin makin menambah magnitude kemanjuran penatalaksanaan. Selain itu, berbagai obat-obatan covid-19 telah banyak digunakan meski yang disetujui WHO baru beberapa. Tersedianya beragam senjata pandemi menjadi salah satu alasan bagi WHO berani bernarasi bahwa fase akut pandemi dapat terlewati tahun ini.

Cek Artikel:  Menakar Upaya Penghapusan Eselon III dan IV

 

 

Prediksi rasional?

Program vaksinasi dimulai pada Desember 2020 dan kini telah berjalan 14 bulan. Per 20 Februari, 10,5 miliar dosis vaksin telah diberikan kepada 62% populasi di 184 negara. Loyalp hari, 27 juta dosis vaksin disuntikkan. Bila program ini terus dijalankan secara konstan tanpa kendala, diperlukan 4-5 bulan untuk dapat memvaksinasi 70% populasi. Definisinya, target WHO memvaksinasi 70% penduduk bumi mungkin dapat tercapai pada pertengahan tahun ini. Pertanyaannya, apakah asumsi ini benar dapat tercapai? Kalau tercapai, apakah fase akut pandemi secara otomatis dapat terlewati?

Meski figur di atas memberi kesan bahwa target dan prediksi WHO sifatnya reasonable, banyak yang bersifat skeptis dan pesimistis.

Pertama, tidak semua negara memiliki kondisi dan akses vaksin yang sama. Sebagian negara beruntung berada dalam situasi kondusif dan memiliki akses adekuat terhadap vaksin. Sebagian lagi kurang beruntung karena kendala topografi, demografi, iklim, sistem kesehatan, keterbatasan finansial, dan konflik. Dengan keterbatasan itu, mereka tidak bisa mengimplementasikan program vaksinasi dengan baik.

Afghanistan dan Myanmar merupakan contoh dua negara yang saat ini berada dalam lingkaran konflik kompleks. Keduanya mengalami turbulensi politik, ekonomi, dan sosial. Akibatnya, pelayanan kesehatan tidak bisa berfungsi optimal, termasuk program vaksinasi. Papua Nugini lain lagi, negeri ini terkendala kondisi geografis dan sumber daya. Negerinya terdiri atas 600 pulau terpisah dengan jumlah tenaga vaksinator yang hanya 130 orang. Negara-negara vulnerable dengan beragam konflik seperti ini cukup banyak. Mereka kesulitan mengimplementasikan program vaksinasi. Apabila negara-negara tersebut gagal mencapai target cakupan, target WHO pun tidak tercapai.

Kedua, penolakan vaksin masih marak di mana-mana. Proporsi populasi yang menganggap covid-19 dan vaksinnya sebagai mitos masih sangat besar. Di India, hampir sepertiga populasi menganggap covid-19 ialah mitos. Di Afrika Selatan dan Indonesia, masing-masing 23% dan 20%. Definisinya, satu dari lima penduduk tidak percaya bahwa covid-19 ada. Beberapa bulan lalu, sebuah survei melaporkan bahwa sekitar 90 juta penduduk Amerika yang mestinya divaksin ternyata tidak melakukannya karena tidak percaya vaksin atau khawatir efek sampingnya.

Cek Artikel:  Angket Pemilu Curang

Di Libanon, 43% populasi menyatakan tidak mau divaksin. Saking besarnya penolakan vaksin, beberapa negara terpaksa melakukan redistribusi stok. Papua Nugini pernah mendapat donasi vaksin dari Australia dan Selandia Baru. Tetapi, donasi itu justru dikirimkan ke Vietnam karena vaksin tersebut kurang diminati dan hampir kedaluwarsa. Selain itu, sejumlah populasi tidak divaksin karena alasan komorbiditas dan pertimbangan pribadi. Di Jerman, 3 juta warga lansia menolak divaksin karena pertimbangan pribadi.

Ketiga, upaya WHO untuk mengimplementasikan program vaksinasi global dan seimbang terkendala pendanaan. Pada 40 tahun lalu, 80% pendanaan WHO diperoleh dari sumbangan tetap berbagai negara dalam bentuk membership fees. Pemasukan ini sifatnya konstan, reguler, dan dapat dimanfaatkan setiap saat. Begitu ini, hanya 16% pendanaan WHO diperoleh dari membership fee. Sisanya merupakan kontribusi sukarela, bersifat sementara, serta dengan persyaratan ketat. Dengan kondisi tersebut, WHO tidak memiliki dana taktis tetap yang siap digunakan untuk program vaksinasi.

Baru-baru ini WHO meminta negara-negara maju berkontribusi pada program access to tool covid accelerator (ACT-A) yang bertujuan menciptakan upaya global menghentikan pandemi. Kepada periode Oktober 2021 hingga September 2022, dana yang diperlukan sebesar US$23,4 miliar. Hingga saat ini, yang tersedia baru US$800 juta. Bila pendanaan tidak tersedia, WHO kesulitan merealisasikan program, termasuk pencapaian cakupan 70%.

Ironisnya, kalaupun ternyata cakupan vaksinasi 70% dapat tercapai pada tahun ini, tidak ada jaminan hal ini akan mengenyahkan fase akut pandemi. Argumennya, selama ini program vaksinasi memang meningkatkan cakupan vaksinasi, tetapi belum mampu menutup ketimpangan vaksinasi (vaccine inequality). Begitu ini, 61% penduduk telah menerima vaksinasi, tetapi sebagian besar terjadi pada penduduk negara-negara maju. 72% penduduk negara maju telah menerima dosis lengkap, sementara negara berkembang baru 6%.

Begitu ini, lebih 85% populasi di Afrika belum menerima satu dosis vaksin pun, sedangkan Israel dan United Arab Emirates telah memberikan dosis keempat pada penduduknya. Per Januari, 123 negara yang terdaftar di WHO (63%) belum mencapai cakupan 40% dan bahkan 36 negara (19%) belum memvaksin 10% penduduknya. Pada tingkat global, negara-negara maju telah memberikan vaksin kepada penduduknya 14 kali lipat dosis per-inhabitant ketimbang negara-negara berkembang. Dengan ketimpangan ini, sebagian negara dapat menekan angka infeksi, kematian, dan CFR-nya. Sementara itu, negara lain terus berjuang menghadapi angka kesakitan dan kematian yang masih terus tinggi. Ketidakseimbangan cakupan vaksin menjadi kendala utama terlewatinya fase akut pandemi.

Cek Artikel:  Politik 2020 di Persimpangan Jalan

 

 

Rasional, tapi skeptis

Sasaran WHO sebenarnya cukup rasional. Tetapi, dengan barier multikompleks, terasa over-confident menyatakan target ini dapat tercapai tahun ini. Sebenarnya, ini bukan pertama kali WHO menetapkan target. Sebelumnya WHO menargetkan setiap negara untuk mencapai cakupan vaksinasi 10% pada September dan 40% pada Desember tahun lalu. Realitanya, 56 negara gagal mencapai target pada September dan lebih setengah negara tidak mencapai target pada Desember. Dengan target 70% pertengahan tahun ini, para ahli makin pesimistis. Negara-negara Afrika diestimasikan paling cepat dapat mencapainya pada Agustus 2024 atau sekitar dua setengah tahun lagi.

Ironisnya, hingga kini negara-negara maju terus memborong vaksin untuk kepentingan penduduknya. Istilahnya, vaccine nationalism. Mereka melakukan stockpiling vaksin agar dapat memberi dosis lengkap untuk semua penduduknya, pengulangan vaksin atau booster. Kondisi ini akan terus berlangsung dan bahkan akan makin melebarkan vaccine inequality.

WHO sendiri memperkirakan akan terjadi kekurangan 3 miliar dosis vaksin pada 2022. Argumennya akibat vaccine nationalisme. Negara-negara maju akan terus memprioritaskan penduduknya dan melupakan negara lain. Mereka akan memberikan suntikan pada semua penduduknya selengkap mungkin, termasuk anak-anak. Bingungkatan kebutuhan menyebabkan negara-negara berkembang makin kesulitan memperoleh akses vaksin.

Sasaran WHO tampak reasonable, tapi kecil kemungkinan terealisasi pada tahun ini. Kepada mencapainya, perlu upaya super: supermasif, superglobal, dan superserius. Plus ketersediaan dana dan dukungan semua negara. Sayangnya, hal ini tidak mudah. Makanya, wajar bila banyak yang menganggap mencapai target dan prediksi WHO sebagai ’too good to be true’. Terlalu manis kalau memang bisa terjadi.

 

 

Mungkin Anda Menyukai