Menikmati Debat Daya Beli

SAYA tengah menikmati ‘perdebatan’ antara Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan analisis periset Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet soal daya beli masyarakat yang menurun. Kata ‘perdebatan’ saya apit dengan tanda kutip karena hal itu tidak dilakukan secara langsung, alias bukan head to head. Perdebatan terjadi dalam ranah perspektif berita di Media Indonesia, kemarin.

Informasi yang diangkat terkait dengan rilis Badan Pusat Tetaptik (BPS) tentang ekonomi Indonesia pada kuartal kedua 2024. Dalam laporan itu BPS mencatat perekonomian tumbuh 5,05% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Konsumsi rumah tangga tumbuh 4,93% dengan kontribusi mencapai 54,53% terhadap produk domestik bruto.

Dengan data tersebut, Airlangga pun membantah kesimpulan sejumlah analis yang kerap menyebut konsumsi rumah tangga atau daya beli masyarakat melemah. Airlangga bahkan menekankan ada penguatan laju pertumbuhan konsumsi dari triwulan sebelumnya yang tercatat 4,91%.

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Nikmat?

“Jadi, sebetulnya ada kenaikan dan pertumbuhan konsumsi 4,93% itu angka yang tinggi, tetapi memang di bawah pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Airlangga dalam konferensi pers sekaligus memaknai laporan BPS itu.

Cek Artikel:  Menyelamatkan Pesantren

Airlangga menambahkan, sejumlah momen seperti Ramadan dan Idul Fitri hingga libur sekolah mendorong masyarakat melakukan aktivitas ekonomi. Itu semua menandakan daya beli masih bisa diandalkan. Ketahanan ekonomi kita, dalam pandangan Airlangga, juga teruji.

Sangkalan Airlangga pun ditantang Yusuf Rendy. Ia mengatakan melemahnya konsumsi nyata terlihat jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan pada triwulan yang sama pada 2023 yang sebesar 5,23%.

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Perlambatan konsumsi tahun ini juga tecermin pada penurunan pertumbuhan tahunan simpanan di bank, terutama tabungan di bawah Rp100 juta. Per April, pertumbuhannya tinggal 4,1% dari 7,8% pada Maret. Itu artinya, justru semakin banyak masyarakat yang kian ‘mantab’ alias makan tabungan, alih-alih menabung.

Data itu mengindikasikan kelompok kelas menengah ke bawah mulai mengeluarkan tabungan untuk konsumsi dan penyesuaian konsumsi dari berbagai perubahan, terutama di kuartal I dan kuartal II. Penyesuaian itu berbentuk membeli barang yang lebih murah daripada biasanya.

Data Berdikari Spending Index (MSI) juga menunjukkan porsi pendapatan milik kelas menengah yang digunakan untuk membeli kebutuhan makanan pokok meningkat dua kali lipat. Itu artinya, kelas menengah mulai menyesuaikan bahwa penghasilan mereka tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersier, bahkan sebagian tak mampu memenuhi keperluan sekunder.

Cek Artikel:  Membiakkan Rasionalitas

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Data soal masih masifnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) juga mengonfirmasi bahwa daya beli akan terus tertekan. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan yang dirilis Kamis (1/8), sepanjang Januari-Juni 2024, PHK menimpa lebih dari 101 ribu pekerja.

Seluruh data pembanding itu sahih. Data BPS juga sahih. Persoalan ada pada cara pandang, cara menarik kesimpulan, dan cara merespons keadaan. Airlangga boleh jadi melihat data BPS itu dari satu sudut pandang, yaitu sudut pandang saat ini, di triwulan kedua. Di lain sisi, Yusuf Rendy melihat data BPS itu masih perlu didekati dari berbagai sudut pandang, dianalisis berdasarkan tren (bukan hanya yang terjadi di triwulan terakhir), plus menambahnya dengan data pembanding.

Airlangga berposisi defensif, sama seperti pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa saat menanggapi tren sebagian kelas menengah yang jatuh miskin. Sementara itu, Yusuf Rendy dan sejumlah analis justru sedang menambah dosis alarm agar pemerintah tidak terperosok ke dalam diagnosis yang salah sehingga membuat solusi yang salah pula.

Cek Artikel:  Antara Miskin dan Gembira

Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024

Penyangkalan Airlangga, juga sejumlah penyangkalan lainnya dari pejabat lainnya, berpotensi menyebabkan pemerintah ‘sesat jalan’ dalam memandu kebijakan perekonomian ke depan. Kalau semua dianggap aman-aman saja, jangan heran bila banyak kebijakan yang dilahirkan akhir-akhir ini justru memukul dan menjepit kelas menengah.

Pemberlakuan wajib tabungan perumahan; wajib asuransi kendaraan; cukai makanan berbahan gula, garam, dan lemak; dan rencana penaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi ialah buah pandangan bahwa ‘daya beli masyarakat masih aman’ sehingga ‘boleh diberi beban tambahan’. Tetapi, saya sedikit senang karena masih banyak perdebatan yang menyajikan data serta analisis alternatif, bahkan tandingan.

Semoga itu tidak berhenti menjadi perdebatan. Semoga perdebatan itu menghasilkan produk kebijakan pemerintah yang bersifat deliberatif, yakni kebijakan yang berpangkal dari konsultasi dengan publik. Semoga ruang publik masih terbuka.

 

Mungkin Anda Menyukai