Menolak Gagasan Penundaan Pemilu

Menolak Gagasan Penundaan Pemilu
Ilustrasi MI(MI/Seno)

SALAH satu isu yang paling mengguncang jagat pembicaraan hukum dan politik di Indonesia dalam pekan ini ialah perihal gagasan penundaan pemilu. Gagasan ini sederhananya ialah menunda pelaksanaan pemilu pada 2024 sehingga masa jabatan presiden mendapatkan penambahan waktu secara perpanjangan sementara waktu hingga 2-3 tahun. Itu sebabnya, meskipun bertajuk penundaan pemilu, substansinya tetap dapat dianggap upaya untuk menambah masa jabatan meski secara sementara waktu.

Mengapa dianggap suatu hal yang serius dan harus mendapatkan perhatian? Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi pemicunya. Pertama, karena ‘asap’ ide ini terlihat di kawasan istana sehingga banyak yang percaya bahwa ‘api’-nya memang berada di sana. Majalah Tempo menurunkan laporan yang memperlihatkan ada orang-orang di lingkaran dalam Presiden yang menggodok wacananya sedari awal. Tak hanya itu, dalam laporan CNN Indonesia, juga dibicarakan adanya upaya orang dalam kabinet yang terlihat bekerja serius untuk melaksanakan hal tersebut.

Kedua, beberapa partai tiba-tiba menyuarakan hal yang sama. Partai Golkar, Partai Kondusifat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tetiba bersuara sama. Meski secara persentase suara masih kecil jika dibandingkan dengan partai-partai yang belum mendukung ide itu, tetap diseriusi karena dalam banyak hal, partai-partai itu belum tentu menolak gagasan tersebut dengan alasan yang ideologis. Sangat bisa jadi hanya karena ‘harga’ yang belum disepakati.

Ketiga, Presiden Joko Widodo sendiri belum mengeluarkan statement yang jelas. Satu-satunya statement yang terlacak di ruang publik ialah tetap akan mengikuti aturan konstitusi, serta pada saat yang sama mengatakan tidak bisa melarang orang atau partai yang menyuarakan gagasan penundaan. Itu jauh dari kesan sikap Presiden dalam dua tahun belakangan terhadap isu tiga periode. Bahkan bisa jadi, dibaca publik menjadi semacam mendukung apa perintah konstitusi sehingga jika UUD diubah dan menyediakan aturan normatif gagasan penundaan pemilu, akan diterima Presiden Joko Widodo.

 

Bermain dengan masa jabatan

Kondisi inilah yang penting untuk diingatkan karena bermain-main dengan masa jabatan dalam sistem presidensial itu memang menyimpan kerapuhan tertentu. Sistem presidensial memang sangat memudahkan godaan menuju arah otoritarian. Hal itu dinyatakan Hamilton dalam The Federalist Papers, ketika konstitusi Amerika dalam perjalanannya mau menggunakan sistem presidensial untuk pertama kali, bahwa pada dasarnya presiden itu ialah raja yang coba dibatasi dengan konstitusi. Itulah yang membuat salah satu genre konstitusionalisme yang diimani dalam demokrasi presidensial ialah pembatasan kekuasaan, yang meliputi upaya untuk meredam kekuasaan agar tidak melakukan abuse of power serta pada saat yang sama adanya pembatasan masa jabatan (fixed term) yang ketat.

Cek Artikel:  Manuver Komunikasi Kekuatan Oposisi

Perjalanan sejarah memperlihatkan rapuhnya demokrasi presidensial pada sisi tersebut. Beberapa negara memperlihatkan gejala bermain dengan masa jabatan itu dengan variasi-variasi cara dan mekanisme perpanjangan masa jabatan. Tetapi, rata-rata, berimplikasi dengan penambahan masa jabatan. Venezuela, Rusia, Turki, dan bahkan beberapa negara di Sub-Absahara telah memperlihatkan praktik politik dan ketatanegaraan yang bermain-main dengan masa jabatan. Pada saat yang sama, negara-negara tersebut tentu saja tidak dapat dijadikan contoh yang baik dalam konsep demokrasi. Bahkan, misalnya Guinea, yang bermain dengan masa jabatan, dan berakhir dengan kudeta militer atas perpanjangan masa jabatan tersebut.

Bahkan, rata-rata di negara yang mengalami sejarah tak menyenangkan, dengan bermain-main dengan masa jabatan, selalu dengan alasan popularitas yang tinggi. Pemimpin yang terpilih secara demokratis tetiba bersalin rupa menjadi demagog, yang terus memompa popularitas semata jika dibandingkan dengan membangun masyarakat yang rasional. Itulah yang diingatkan sebagai jalan matinya demokrasi bagi Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018). Memaksa dan mengaitkan popularitas jika dibandingkan dengan konsep-konsep demokrasi lainnya, yang seharusnya juga memperhatikan nilai-nilai demokratis.

Itulah sebabnya catatan pengingat dan garis tebal harus diberikan dan diingatkan dalam kerapuhan sistem presidensial pada sisi tersebut. Indonesia tentunya jauh dari kesan layak untuk mencontoh negara yang tak demokratis itu. Belum lagi, kesan bermain dengan masa jabatan itu digaungkan dengan alasan yang mengada-ada. Misalnya, pernyataan yang menyatakan penundaan itu bisa dikaitkan dengan tingkat kepercayaan pada Jokowi yang sangat tinggi sebenarnya ialah alasan yang cenderung sesat.

Cek Artikel:  Nietzche dan Kekuasaan

Survei baik dari Indikator (Desember 2021) maupun LSI (Februari 2022) mudah dipakai untuk membantah anggapan yang digaungkan dengan menghubungkan antara dukungan publik dan keinginan memperpanjang masa jabatan. Dari kedua survei tersebut, kita bisa belajar bahwa sebenarnya publik sangat menghendaki agar tetap ada pemilu pada 2024 meskipun tetap mengakui kinerja memuaskan bagi Presiden Jokowi. Bahkan, pendukung partai tertentu, yakni Golkar, PKB, dan PAN, ternyata juga tidak setuju dengan adanya penundaan pemilu dan tetap mendukung adanya Pemilu 2024. Maksudnya, ketua-ketua partai itu entah sedang membawa aspirasi siapa dalam lanskap politik ketatanegaraan yang dipakai sebagai usul untuk mengubah jadwal pemilu tersebut.

 

 

Dalih pembenar?

Belum lagi, pembicaraan tentang apa alasan yang mungkin dipakai. Menunda pemilu tentunya membutuhkan alasan yang benar dan bukan alasan pembenar. Dalih dan dalih pembenaran semakin memperlihatkan congkak kekuasaan negara di hadapan daulat rakyat dan kuasa publik. Pasalnya, jalan yang tersedia tentu saja ialah jalan mengutak-atik pemilu, dengan cara menggunakan amendemen konstitusi dan jalan yang nonamendemen.

Jalan amendemen tentu saja bukan jalan yang sederhana, tapi bukan berarti rumit. Bangunan UUD, khususnya Pasal 37, menempatkan cukup dengan usul 1/3 anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR dan disetujui sekurang-kurangnya 1/2 plus satu dari jumlah anggota MPR. Itulah yang secara matematis menunjukkan amendemen konstitusi sebenarnya bukan hal yang sulit amat.

Tetapi, pada jalan mengubah UUD itu, dibutuhkan alasan konstitusional yang memiliki basis pemikiran filosofos, yuridis, dan sosiologis yang jelas. Dari titik itulah yang mengkhawatirkan jika kemudian aktor-aktor politik di negara ini bermain-main dengan amendemen, yang berakibat pada perubahan pasal-pasal tertentu dan bisa menjadi landasan konstitusional untuk mengotak-atik masa jabatan dengan penundaan pemilu.

Cek Artikel:  Pemilu Berkualitas dan Demokrasi Indonesia

Komposisi sementara ialah partai pendukung penundaan belum sebesar yang menolak. Tetapi, seperti yang dituliskan di atas, peta ini sangat mungkin berubah jika isu ini tidak ditolak secara masif. Sulit untuk menghindari bahwa kepentingan politik akan sangat mungkin mengubah pendirian partai-partai penolak menjadi pendukung.

Kedua, jalan yang nonamendemen. Ini malah akan semakin liar. Berbagai ide sudah dikeluarkan dan kebanyakan ialah ide-ide yang sebenarnya bisa dikategorisasikan penghinaan atas akal sehat dan konstitusionalisme yang mau dibangun di Indonesia itu sendiri. Mulai dengan dekrit presiden, constitutional adjudication (putusan peradilan konstitusi), hingga perubahan UU Pemilu dan penundaan pemilu melalui pernyataan penyelenggara pemilu tidak sekadar menggambarkan semakin liar dan brutalnya penghinaan atas dasar-dasar konstitusionalisme kita, tetapi juga semakin mempertontonkan betapa kekuasaan sedang mempermainkan publik, dengan berbagai jargon demokrasi dan konstitusi, tapi jauh dari kesan serta nilai demokratis dan konstitusionalisme itu sendiri.

Maksudnya, perlu kesadaran kolektif untuk meredam isu ini sebelum membesar dan tak terkendali. Sudahi membicarakan jalan-jalan yang mungkin diambil untuk menunda pemilu karena itu hanya akan memberikan daftar belanja pemikiran yang mungkin diambil bagi kekuasaan, yang memang pada dasarnya sudah berpotensi corrupt akan semakin corrupt absolutely jika dibukakan jalan yang makin lebar untuk itu. Konstitusi dan konstitusionalisme pada dasarnya bekerja untuk itu. Menjaga agar kuasa tidak cenderung terlalu lebar dan berujung pada abusive.

Seperti survei Indikator dan LSI, publik kembali harus memberikan tamparan penyadaran buat para pemegang kuasa untuk segera siuman. Pada saat yang sama tagihan bukan partai-partai untuk janji suksesi kepemimpinan dan menyediakan kader kepemimpinan untuk masa presidensial berikutnya untuk Indonesia karena itulah yang akan menjaga konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia tetap pada jalur, serta tidak menjadikan Indonesia sebagai negara yang pada akhirnya konstitusinya sekadar kertas karena tak memiliki nilai konstitusionalisme.

 

 

Mungkin Anda Menyukai