Logo dan Prioritas Pembangunan Industri Halal Indonesia

Logo dan Prioritas Pembangunan Industri Halal Indonesia
Ilustrasi MI(MI/Seno)

BARU-BARU ini, jagat maya Tanah Air kembali heboh dan hiruk-pikuk. Pemicunya ialah tatkala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Kementerian Keyakinan (Kemenag), resmi memperkenalkan logo baru halal Indonesia, Kamis (10/3). Ini merupakan sejarah baru sebab secara berperingkat akan menggantikan kehadiran logo halal yang dikeluarkan LPPOM Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang sudah berusia puluhan tahun.

Terdapat hal menarik di balik peluncuran logo halal Kemenag ini. Desain logo ini disinyalir banyak pihak sarat dengan ‘kearifan’ lokal, sampai menenggelamkan tulisan halal dalam bahasa Arab. Beberapa pakar khat pun menilai, tulisan Arab ‘halal’ pada logo baru BPJPH ini tidak begitu jelas dan akan sangat bisa terbaca dengan salah.

Pengalaman puluhan tahun penulis dalam industri halal global dan berinteraksi dengan puluhan, atau bahkan ratusan lembaga sertifikasi (certification bodies, CB) halal di dunia, tidak dinafi kan mayoritas logo halal pelbagai negara ini sangat jelas menonjolkan khat halal dalam tulisan Arab yang baku. Tapi tentu saja, ada satu dua logo yang tidak mengikuti pola di atas.

 

 

Dari LPPOM ke BPJPH

Seperti kita tahu, BPJPH mendapat tugas berat menjadi penyelenggara jaminan produk halal (JPH) sebagai amanat dari Undang-Undang No 33 Mengertin 2014. Dengan amanat ini, tugas LPPOM- MUI yang sebelumnya menjadi penyelenggara tunggal sertifikasi halal di Indonesia mulai tergantikan. LPPOM-MUI, kemudian berperan tidak lebih sebagai sebuah Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), sebuah unit dalam proses sertifikasi Indonesia. Perlu diingat, LPPOM MUI bukan lagi memonopoli proses audit halal. Dengan maksud memecah monopoli, BPJPH juga menunjuk beberapa lembaga lain sebagai LPH.

Peralihan pengelola sertifikasi dari LPPOM ke BPJPH ini, juga turut mengubah proses sertifikasi itu sendiri secara menyeluruh. Kalau sebelumnya LPPOM MUI melakukan kebijakan satu pintu, yakni seluruh proses mulai registrasi, audit sehingga keluarnya sertifikat halal, dilakukan seluruhnya oleh lembaga itu, kini proses sertifikasi halal BPJPH melibatkan tiga aktor: BPJPH, LPH, dan MUI sebagai yang mengeluarkan fatwa.

Secara ringkas alurnya ialah pelaku usaha yang ingin mendapatkan sertifikasi halal mendaftar ke BPJPH dan memilih LPH yang diinginkan. Laporan audit LPH akan diserahkan BPJPH ke MUI untuk dimintai ketetap an halal (SKH). Lewat, seandainya lolos, BPJPH mengeluarkan sertifikat halal.

Bagi pelaku usaha, sistem baru ini terasa cukup ribet karena melibatkan beberapa lembaga meskipun BPJPH tetap menjadi pintu masuk. Di banyak negara, kecenderungan yang berlaku adalah penyederhanaan proses. Apalagi, selama ini sertifikasi halal Indonesia yang dilakukan LPPOM MUI sudah ditengarai sebagai salah satu sistem sertifikasi terbaik di dunia. Berbarengan dengan sistem sertifikasi JAKIM di Malaysia, sistem sertifikasi Indonesia selama ini dianggap paling dihormati sehingga banyak negara-negara lain menjadikan kedua negara ini sebagai benchmark mereka.

Cek Artikel:  Elemen Esensial, Strategi, dan Identitas

Kini, setelah 8 tahun diberi amanat, proses sertifikasi halal BPJPH yang kita rasakan malah bukannya menjadi lebih mudah dan sederhana. Yang muncul malah isu-isu receh dan kurang relevan, seperti hiruk-pikuk pergantian logo di atas. Sementara itu, pelaku bisnis semakin bingung dengan beberapa aturan dan prosedur yang masih kurang jelas.

Dengan logo baru itu, BPJPH juga akan menghabiskan banyak energi dan waktu untuk sosialisasi ke pelaku industri dan masyarakat luas. Bahkan, bukan hanya untuk yang di Tanah Air saja. Kenapa tidak, katakanlah, dengan cukup memodifikasi logo halal MUI sebelum ini dengan menambahkan kata BPJPH bersama MUI. Bukankah MUI juga memiliki ‘kata penentu’ dalam sistem sertifikasi yang baru, dengan memberikan ketetapan halal? Kompetensi mereka yang mengelola sebuah sertifi kasi juga menjadi kata kunci. Ketika kita berbicara soal kompetensi, pengetahuan dan pengalaman tentu akan sangat menentukan. Saya melihat kompetensi LPPOM MUI dalam mengelola sertifi kasi halal masih lebih baik dan patut lebih dimanfaatkan.

 

 

Sertifikasi bukanlah bisnis

Sejatinya, sertifikasi halal bukanlah sebuah bisnis, melainkan hanya sebuah prasarana untuk memberi jaminan kehalalan itu sendiri dalam sebuah industri halal yang luar biasa besarnya. Apalagi, seandainya lembaga sertifikasi itu milik pemerintah, yang mempunyai tanggung jawab untuk mengayomi kebutuhan masyarakat. Yang dikejar seharusnya nilai industri halal itu sendiri, seperti memproduksi barang dan jasa, yang besarnya diperkirakan US$3,1 triliun setahun.

Di Malaysia, misalnya, sertifikasi halal dilakukan oleh JAKIM, sebuah lembaga di bawah Kementerian Keyakinan. Seluruh auditor halal JAKIM merupakan pegawai negeri sehingga tentu saja biaya operasional pemeriksaan halal tidak diperlukan lagi. Karena itulah, pengelola sertifi kasi halal, apalagi terasa sangat efektif dan dari segi biaya sangat murah. Lebih dari itu, semuanya dilakukan secara transparan. Kepada industri menengah, harga sertifi kasi di Malaysia dipatok pada RM1.400 (sekitar Rp5 juta) untuk 2 tahun.

BPJPH juga sedang menawarkan proses sertifikasi dengan harga yang ‘murah’. Tetapi, apakah harga yang ditawarkan itu pada akhirnya nanti juga lebih murah dari apa yang yang pernah dikeluarkan pelaku industri sebelum ini, juga waktu yang akan menjawab. Sebagai contoh, untuk industri menengah di Indonesia, ada dua komponen biaya. Biaya pemeriksaan (untuk LPH berkisar dari Rp3 juta hingga Rp8 juta, tergantung jenis produk), dan biaya permohonan halal sebesar Rp5 juta, yang akan masuk ke kantong BPJPH, dan sedikit porsi untuk MUI sebagai yang menetapkan halal. Ini juga belum dipastikan, apakah biaya transportasi dan akomodasi akan turut ditanggung oleh pelaku usaha.

Saya justru melihat komponen Rp5 juta (atau bahkan Rp12,5 juta untuk industri besar), termasuk cukup tinggi untuk sebuah kerja yang hanya mengeluarkan sertifikat, sedangkan pemeriksaan dan bahkan menetapkan kehalalan dilakukan oleh pihak lain. Kenapa semua itu bisa terjadi? Ini tidak lepas dari UU No 33/ 2014 itu sendiri, yang memberikan semua fungsi pada satu badan pemerintah sekaligus (dalam hal ini BPJPH), yaitu fungsi regulator, eksekutor, dan pengawasan sekaligus.

Cek Artikel:  Robohnya Mahkamah Kami

Merumuskan kebijakan JPH, menetapkan norma, standar dan prosedur merupakan fungsi regulator BPJPH. Lewat, menerbitkan dan mencabut sertifikat halal, registrasi sertifikasi dll, sebagai bentuk fungsi eksekutor, serta melakukan pengawasan JPH sebagai contoh fungsi pengawasan lembaga itu.

Bukan hanya itu, BPJPH juga berfungsi sebagai lembaga akreditasi untuk lembaga sertifi kasi dari luar negeri. Bagaimana mungkin, sebuah lembaga sertifikasi memberi akreditasi untuk lembaga sertifikasi lainnya. Dengan tugas yang luar biasa banyak itu, barangkali menyebabkan BPJPH menjadi sedikit kurang fokus dalam menentukan arah dan skala prioritas kegiatannya.

 

 

Industri halal berbasis iptek

Ketika kita masih sangat mempertanyakan, seberapa besar Indonesia sudah menikmati kue industri halal dunia yang sebesar US$3,1 triliun per tahun ini, isu pergantian logo di atas mungkin memantik pertanyaan tentang fokus pembangunan industri halal kita saat ini. Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, kita harus mengakui kita masih belum menjadi pemain utama dunia, walaupun dalam rangking Dunia Islamic Economy Report (GIEI) kita berada di posisi ke-4.

Dalam banyak sektor, kerja keras kita amat sangat dibutuhkan. Apalagi dengan dampak pandemik covid-19 yang turut menghancurkan beberapa sektor industri di Tanah Air, tidak terkecuali industri halal.

Pekerjaan rumah kita, sebenarnya masih banyak untuk mencapai citacita dan menjadi negara produsen halal terbesar dunia, seperti yang sering disampaikan oleh Bapak Wakil Presiden di berbagai kesempatan. Agenda membangun ekosistem halal yang produktif dan saling menunjang memang tidak semudah membalik telapak tangan. Infrastrukstur, kesiapan sumber daya manusia, dinamika aturan dan kebijakan dan sebagainya masih sangat perlu ditingkatkan.

Saya termasuk yang paling lantang menyuarakan, kalau halal itu lebih dari sekadar sertifikasi. Sejak belasan tahun lalu, di berbagai media, terutama di ruang opini berbagai media massa. Bukan berarti sertifikasi itu tidak penting, ia sangat penting malah untuk menjamin integritas kehalalan sebuah produk. Tetapi, kalau kita berbicara tantangan industri halal global, sumber daya dan energi kita perlu lebih ditujukan bagaimana industri halal Indonesia siap berkompetisi dengan negara- negara lain. Bagus dengan negara-negara yang sudah lama mendominasi industri halal global, seperti Australia, Selandia Baru, Brasil, dan negara tetangga Thailand, atau bahkan dengan para pemain baru di pentas halal dunia seperti Korea, Jepang, dan Tiongkok yang maju dengan inovasi dan modal kuat. Sungguh, kalau tidak segera menyikapi, kita akan semakin tertinggal dan hanya akan menjadi pasar empuk untuk produk halal dari negara-negara lain.

Cek Artikel:  Rupiah Melemah tetapi itu bukan Tren Jangka Panjang

Riset dan inovasi bidang halal adalah kata kunci. Tetapi, pertanyaannya, sudah seberapa jauh kita berinovasi untuk menunjang ekonomi halal negara? Sebuah riset menunjukkan keterkaitan inovasi kita, dengan industri masih di angka 20-an persen jika bandingkan dengan Korea, yang memiliki 81% dan Jepang 75%. Dua contoh negara inovatif di ASEAN, Singapura, dan Thailand memiliki angka 50 dan 56%.

Kagak heran, ketika masih berkutat dengan penyusunan blue-print dan kerangka pengembangan riset halal ke depan, Singapura dan Thailand sudah memanfaatkan kemajuan teknologi masa depan dalam industri halal mereka, seperti pemanfaatan teknologi nano, big data, blockchain dan lain-lain, yang digunakan dalam menghasilkan produk-produk halal maupun untuk teknik penelusuran halal (halal traceability).

Pengembangan Sains Halal di Tanah Air masih sangat butuh perhatian khusus, baik untuk pegembangan bahan halal, inovasi produksi, maupun teknologi autentikasi. Banyak periset sudah memulai, tetapi kerangka dan kerja sama antarinstitusi juga perlu ditingkatkan agar sumber daya yang ada lebih efektif dengan hasil optimal.

Begitu juga dengan negara-negara lain, bagaimana pembangunan industri halal sangat bernuansa iptek. Dari pengalaman kami membantu industri halal Korea misalnya, kita bisa tahu bagaimana ‘Negara Ginseng’ itu serius merebut pasaran halal global. Di negara tersebut ada lebih dua ribu label kosmetik, dan kini mereka diminta oleh pemerintahnya untuk masuk ke industri halal, dan penetrasi pasar ke negaranegara mayoritas muslim termasuk Indonesia. Bahkan, label kosmetik terbesar Korea sudah mulai membangun pabrik di negara tetangga Malaysia, dengan tujuan sudah pasti menguasai pasaran ASEAN.

Industri-industri kosmetik ini, mendapat dukungan pemerintah dalam bentuk subsidi untuk pengurusan sertifikasi halalnya. Selain itu, ada yang lebih mengejutkan. Sebuah universitas di Busan ada yang mulai menawarkan prodi Muslim Friendly Hospitality and Tourism untuk menunjang industri wisata syariah di Korea.

Begitu juga di Tiongkok. Di Pingliang, salah satu kota perekominian di Tiongkok kini sudah dibangun halal hub yang siap memasarkan produk negara tersebut untuk memasuki pasaran dunia dan sebaliknya. Begitu juga di Nanning, sebuah inisiatif membangunan laboratorium riset halal juga sedang berjalan. Tentu saja, di Provinsi Xinjiang yang didominasi muslim, industri halal juga sudah tumbuh berkembang.

Akhirnya, duduk bersama, berkolaborasi dan saling mendukung untuk kemajuan arah pembangunan industri halal Indonesia terasa sangat urgent. Sekali lagi, industri halal itu lebih dari sekadar sertifikasi. Karenanya, peranan Kemenag, dalam hal ini BPJPH, LPPOM MUI, serta para stakeholder industri halal Indonesia lainnya, termasuk para saintis sendiri, sesungguhnya jauh lebih berat dan strategis.

 

 

 

 

 

 

Mungkin Anda Menyukai