G-20 dan Kebijakan Aset Digital

G-20 dan Kebijakan Aset Digital
Ilustrasi MI(MI/Seno)

ERA digitalisasi, yang telah berjalan selama ini memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap lahirnya jenis aset baru, yaitu aset-aset yang berbasis digital. Sebut saja, mata uang digital atau yang biasa disebut dengan uang kripto, seperti bitcoin, ethereum, dogecoin dll. Pertumbuhan uang kripto tersebut ternyata sangat pesat sekali, bahkan di luar perkirakan para analis ataupun para ekonom di awal kemunculannya. Salah satu jenis dari uang kripto tersebut, yaitu bitcoin nilai kapitalisasinya per Desember 2021 diperkirakan mencapai angka US$3 triliun atau sekitar Rp42.000 triliun (dengan kurs Rp14.000).

Nomor itu sangat fantastis sekali untuk pertumbuhan suatu aset yang baru diperdagangkan pada Januari 2009 yang lalu. Maksudnya, dalam kurun waktu sekitar 12 tahun, rata-rata kenaikannya mencapai sekitar 8,3%, jauh melebihi kenaikan dari kapitalisasi pasar saham di berbagai bursa global. Eksispun jumlah investor uang kripto di seluruh dunia saat ini diperkirakan mencapai 300 juta orang (triple A, 2021), suatu jumlah yang sangat besar hanya dalam waktu yang singkat.

Selain munculnya uang kripto, juga muncul aset digital lainnya dalam bentuk asset-back crytocurrencies, yaitu yaitu dengan memanfaatkan mata uang digital kripto dijadikan sebagai dasar penilaian ekonomis dari suatu aset tetap. Dengan kata lain mata uang kripto tersebut dikaitkan dengan nilai ekonomi suatu aset, seperti emas, minyak mentah, properti dan mata uang internasional.

Perkembangan tersebut tentunya sangat menarik perhatian, karena praktik di industi keuangan dan perdagangan global saat ini sudah mulai banyak menggunakan pola asset-back crytocurrencies, sebagai salah satu instrumen hedging yang berbasis mata uang digital. Aset digital lainnya, yang juga tidak kalah menariknya adalah munculnya non-fungible tokens (NFTs). Aset digital dalam bentuk NFTs tersebut merupakan suatu bukti kepemilikan aset berbasis digital yang bisa diperdagangkan secara bebas.

 

 

Potensi ketidakpastian

Pertumbuhan dan inovasi aset digital yang semakin pesat, serta beragam tersebut di satu sisi memberikan berbagai manfaat, antara lain, (i) menambah alternatif instrumen untuk berinvestasi, (ii) mendorong inovasi yang lebih luas lagi mengenai aset digital. Lewat, (iii) pertumbuhan nilainya lebih cepat dibandingan dengan investasi pada aset-aset trandisional dan konvensional, (iv) pasarnya sangat luas dan saat ini belum diatur secara ketat. Tetapi demikian, di sisi lainnya, pertumbuhan aset digital juga menurunkan berbagai potensi permasalahan, maupun ketidakpastian yang mungkin belum kita sadari sepenuhnya saat ini.

Ketidakpastian itu perlu dipikirkan mulai dari sekarang bagaimana dampaknya ke depan terhadap sektor moneter dan ekonomi secara keseluruhan sehingga stabilitas sistem keuangan dapat terjaga dengan baik. Di samping memberikan manfaat, aset digital juga mengandung potensi risiko yang tidak kecil bagi sektor moneter dan keuangan, khususnya bagi industri jasa keuangan.

Terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam perdagangan aset kripto tersebut. Pertama, dalam skenario terburuk, apa yang akan terjadi apabila bubble price dari aset digital itu mengalami crash dan kejatuhan harganya sangat dalam. Lagi sulit untuk diramalkan, apakah peristiwa tersebut akan memicu gelombang ketidakstabilan di sektor keuangan global. Potensi terjadinya systemic risk terhadap sektor ekonomi dan keuangan global tidak bisa diremehkan begitu saja.

Cek Artikel:  Potret Buram Partai Politik

Kedua, dalam kondisi normal, perlu juga dikaji lebih mendalam dampak dari perdagangan aset kripto yang mengalami booming, dan melesat sangat cepat tersebut. Apakah menyebabkan terjadinya migrasi, atau perpindahan dana pihak ketiga (DPK) milik masyarakat yang tersimpan di industri perbankan ke aset digital. Perpindahan DPK ke aset digital yang sangat substansial, tentunya bisa memengaruhi kemampuan perbankan memberikan pinjaman, sekaligus menjaga keseimbangan likuiditas mereka. Kejatuhan nilai aset kripto yang sangat dalam, tentunya akan mengurangi likuiditas di pasar uang sehingga bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan.

Ketiga, volatility risk dari aset kripto sangat tinggi. Bahkan, sebagian pengamat melihat di luar batas-batas normal. Risiko pergerakan harga yang sangat tinggi tersebut, dalam kenyataannya tidak didukung dengan underlying assets yang kuat sehingga mudah sekali untuk digoyang dan digoreng oleh para investor. Berbeda dengan saham, walaupun harganya turun, kita tetap menjadi pemegang saham dan masih memperoleh dividen keuntungan.

Keempat, belum diketahui berapa sebenarnya harga wajar atau harga normal dari aset kripto tersebut. Apakah harga yang sangat tinggi saat ini sudah betul-betul mencerminkan valuasi dan nilai aset digital yang sesungguhnya. Di satu sisi, aset-aset konvensional lainnya seperti saham, surat utang dan properti dapat dengan mudah dilakukan valuasi nilainya secara transparan dengan metode yang sudah valid. Dengan kondisi demikian, sangatlah mudah bagi aset digital khususnya uang kripto untuk dijadikan instrumen spekulasi oleh para investor.

 

 

Keterbatasan regulasi

Dengan melihat kondisi di atas, tidaklah berlebihan apabila International Monetary Fund (IMF), maupun bank sentral di berbagai negara telah menyikapi perkembangan aset digital itu dengan sangat hati-hati, dan terus memantau perkembangannya. Sebagian ekonom dan pakar keuangan menganggap, bahwa keberadaan dari aset digital bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan global. Tetapi, sebagian lainnya belum melihat adanya ancaman serius dari aset digital itu terhadap stabilitas sistem keuangan. Diperlukan kajian lebih dalam, apakah booming pasar aset kripto tersebut memang memberikan ancaman serius terhadap stabilitas sistem keuangan dalam jangka menengah, dan jangka panjang.

Tetapi demikian, posisi wait and see yang diambil oleh mayoritas negara-negara di dunia, bukan merupakan suatu solusi yang tepat juga. Yang menjadi pertanyaan adalah, apabila terjadi crash secara tiba-tiba di pasar aset digital, apakah kita sudah siap untuk menerima berbagai dampak negatif yang saat ini belum kita bayangkan seperti apa jadinya. Kalaupun sudah siap, apakah kita telah memiliki instrumen kebijakan dan pengaturan yang efektif untuk mengatasi permasalahan tersebut.

 

 

Dilema mengatur atau tidak mengatur

Diperkirakan, uang kripto akan tetap mendisrupsi pasar keuangan global di tengah kekosongan regulasi yang memadai untuk mengaturnya. Tetapi, perlu juga digaris bawahi bahwa aset digital seperti halnya uang kripto akan terus tumbuh dan berkembang dengan pesat, sebagai bagian dari eksistensi ekonomi digital. Perlu tidaknya mengatur aset digital, bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijawab oleh para regulator. Lambannya gerak dari para regulator untuk mengatur atau tidak mengatur memang menjadi sebuah pertanyaan tersendiri yang susah untuk dijawab.

Di satu sisi, absennya regulasi yang komprehensif untuk mengatur tata niaga dari aset digital, memungkinkan gejolak dan fluktuasi yang di terjadi pasar aset digital menjadi sulit untuk dikontrol dan dikendalikan. Kemungkinan terjadinya efek domino menjadi sesuatu yang tidak mustahil akan terjadi. Dampak domino tersebut, bisa menjalar ke pasar keuangan tradisional, seperti perbankan, bursa efek, pasar obligasi, pasar derivatif, pasar valuta asing maupun kegiatan investasi lainnya. Para regulator pun, juga belum memiliki pengalaman sampai seberapa besar dampaknya, apabila pasar aset digital mengalami kejatuhan yang luar biasa.

Cek Artikel:  Transformasi Kurikulum

Tetapi, apabila diatur, sepertinya para regulator belum meyakini sepenuhnya aspek-aspek apa saja yang menjadi prioritas untuk diatur terlebih dahulu. Di sinilah para investor, dan juga para pihak yang memanfaatkan aset digital itu seharusnya mendapatkan perlindungan. IMF beserta bank sentral dari berbagai negara mencari solusi terbaik mengenai respons kebijakan ke depan terkait dengan uang kripto.

Banks for International Settlements (BIS), menganggap bahwa mata uang kripto bukanlah ‘uang’, melainkan hanyalah aset yang bersifat spekulatif. Tetapi demikian, BIS mulai melihat perlunya regulasi yang lebih ketat, apabila bank-bank komersial mulai ikut terjun bertransaksi dalam mata uang kripto. Tujuannya sangat jelas agar eksposur risiko yang dihadapi oleh perbankan dapat dihindari. Mengingat, industri perbankan sampai saat ini masih menjadi pemain utama dalam mendukung perekonomian dan perdagangan global.

Begitu ini, sudah ada beberapa negara yang secara tegas telah membuat aturan untuk melarang uang kripto di negara mereka, antara lain Tiongkok, Turki, Nepal, Vietnam, India, Kolumbia, Bolivia, Maroko, Qatar, Tunisia, dan Aljazair. Bahkan, pemerintah Mesir telah mendeklarasikan bahwa uang kripto adalah barang haram. Salah satu alasan larangan dari negara-negara itu adalah volatilitasnya sangat tinggi dan risikonya juga sangat besar. Mengingat, uang kripto tersebut tidak memiliki underlying yang kuat sebagai dasar naik turunnya harga.

Sementara itu, Monetary Authority of Singapore (MAS) yang merupakan bank sentralnya Singapore telah mengeluarkan pedoman di awal Januari 2022 kemarin, terkait perdagangan uang kripto. Di dalam pedoman tersebut, penyelenggara perdagangan uang kripto, diminta untuk tidak mempromosikan layanan perdagangan uang kripto itu kepada publik secara luas. Langkah yang dibuat oleh MAS tersebut, sebuah contoh bagus yang mungkin bisa diikuti bank sentral negara lain, yang belum memiliki kepastian untuk mengatur atau tidak.

 

 

Kasus Indonesia

Posisi Indonesia juga sangat jelas dan tegas terkait dengan menjamurnya penggunaan, perdagangan, dan investasi uang kripto di kalangan investor lokal. Bank Indonesia telah melarang penggunaan uang kripto sebagai alat pembayaran resmi dan sah di Indonesia. Argumen tersebut sangat logis karena bertentangan dengan UUD 1945, UU BI dan juga UU Mata Duit. Baru-baru ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga melarang lembaga jasa keuangan untuk memfasilitasi perdagangan, memasarkan, dan menggunakan uang kripto. Aturan tersebut berlaku untuk perbankan, asuransi, pasar modal, perusahaan pembiayaan, dll. Tetapi, masyarakat masih bisa memperdagangkan aset digital dalam wujud uang kripto tersebut sebagai komoditas yang diatur oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Dengan demikian, masyarakat masih bisa memperdagangkan uang kripto itu sebagai instrumen investasi di luar industri jasa keuangan yang diawasi oleh OJK. Jumlah investor uang kripto di Indonesia, saat ini sudah mencapai 11,2 juta orang dengan nilai transaksi Rp859,4 triliun pada tahun 2021 (Bappebti, 2021). Ledakan jumlah investor uang kripto itu, telah melewati jumlah investor di pasar modal Indonesia yang jumlahnya per Februari 2021 mencapai 8,1 juta investor (KSEI, 2022).

Cek Artikel:  Melawan Terorisme Mengembangkan Deradikalisasi

 

 

Belajar dari El Salvador

Pada September 2021, El Salvador telah mengejutkan dunia dengan menjadi negara pertama yang melegalkan penggunaan mata uang kripto sebagai alat pembayaran resmi. Tetapi, malang tak dapat ditolak, di saat resmi menggunakan uang kripto kursnya rata-rata di kisaran US$ 47.500-60.000. Tetapi, karena volatilitasnya sangat tinggi, dan sempat menyentuh angka US$ 38.000-40,000an, akibatnya sistem moneter negara tersebut menjadi kacau. Bahkan surat utang pemerintah El Salvador juga terkena imbasnya, harganya langsung terjun bebas. Kasus El Salvador itu memberikan pelajaran berharga, bahwa ketidaksiapan untuk mengadopsi uang digital tanpa dibarengi dengan regulasi yang tepat, dan fundamental ekonomi yang kuat, pada akhirnya mengganggu stabilitas sistem keuangan negara tersebut.

 

 

G-20 dan peran Indonesia

Menyaksikan pesatnya pertumbuhan aset digital, disertai dengan tingkat volatilitas yang sangat tinggi, perlu diambil langkah-langkah antisipatif dari para regulator, baik itu organisasi multilateral internasional, maupun pemerintahan di berbagai negara. Demi itu, diperlukan intervensi global secara bersama-sama, bagaimana arah kebijakannya ke depan. Mengingat, pengaruh dan dampak dari aset digital itu semakin besar.

Sangat sulit bagi setiap negara membuat kebijakan tersendiri, terkait dengan aset digital tersebut, karena pasar aset digital sudah terbentuk di mana-mana dan satu dengan yang lainnya saling berhubungan. Di sinilah peran dari organsasi G-20 yang merupakan penguasa ekonomi terbesar dunia sudah dinantikan oleh para pelaku pasar, regulator dan juga masyarakat luas di seluruh dunia.

Sudah saatnya, G-20 melihat betapa pentingnya perkembangan aset digital sebagai bagian dari agenda besar mereka mengenai masa depan ekonomi digital. Di satu sisi, aset digital masih menjanjikan sebagai bagian dari ekonomi digital, namun di sisi lainnya, aset digital masih menyimpan berbagai misteri dan potensi risiko yang perlu diatur lebih lanjut. Salah satu tujuan dari keberadaan G-20 adalah untuk menjaga kelanggengan dan stabilitas ekonomi dan sistem keuangan global.

Oleh karena itu, peran G-20 sangat besar sekali untuk memastikan bahwa keberadaan aset digital jangan sampai mengganggu stabilitas sistem keuangan global, justru keberadaan aset digital harus mampu memberikan kontribusi positif bagi umat manusia dan perekonomian dunia. Demi itulah, G-20 harus berani mengambil inisiatif, untuk memastikan apakah masa depan aset digital tersebut perlu dituangkan dalam suatu kebijakan atau pengaturan global.

Peran Indonesia yang memegang presidensi G-20 pada tahun 2022 ini, diharapkan dapat memperkuat inisiatif tersebut, dan sekaligus memberikan respon yang lebih jelas, bagaimana arah kebijakan ke depan dari aset digital itu. Dengan demikian, presidensi G-20 oleh Indonesia, akan meninggalkan sebuah legasi yang yang akan dikenang dan diakui oleh dunia internasional.

 

 

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

Mungkin Anda Menyukai