SEORANG teman mengirimi saya kutipan pernyataan wartawan legendaris Mochtar Lubis tentang kondisi rakyat di negeri ini. Meskipun usia pernyataan bernada autokritik itu sudah amat lama, kata sang teman, itu masih relevan hingga kini.
Kutipan itu berisi tentang watak atau ciri-ciri orang Indonesia. Bila mengutip Mochtar Lubis, sang teman menyebutkan bahwa kebanyakan orang Indonesia tidak rasional. “Mochtar Lubis menyebutkan ciri-ciri manusia Indonesia, yakni (1) hipokrit atau munafik; (2) enggan bertanggung jawab atas perbuatannya; (3) berjiwa feodal; (4) percaya takhayul; (5) artistik; dan (6) watak yang lemah,” tulis sang teman.
Kalimat itu sangat pedas dan amat pesimistis. Tetapi, diam-diam saya lumayan menyetujuinya untuk beberapa hal, terutama terkait dengan sifat irasional yang menonjol. Wajar belaka bila ada yang bilang bahwa ketidakrasionalan sebagian manusia Indonesia itu ‘sengaja dipelihara’.
Tujuannya, agar elite politik yang enggan beradu gagasan bisa dengan mudah membalikkan keadaan menjadi pemenang hanya karena mampu mengaduk-aduk emosi mereka. Kandidat tidak dinilai dari kemampuan mempresentasikan ide ke depan atau menunjukkan rekam jejak gemilang dalam visi misinya, tapi justru dilihat dari kelihaiannya memainkan emosional psikologis pemilih.
Padahal, peranan akal budi atau rasionalitas dalam demokrasi amat sangat diperlukan. Saking pentingnya rasionalitas, Menteri Keuangan Sri Mulyani sampai menganjurkan para pemilik suara untuk memilih pemimpin yang rasional dengan cara rasional. Video ajakan yang disampaikan pada pertengahan tahun lalu itu kini viral kembali di media sosial.
Bagi Sri Mulyani, pemimpin yang rasional itu ialah pemimpin yang mau dan mampu membaca data. Publik yang rasional juga mereka yang mau menggumuli dan menganalisis data-data. Sebaliknya, pemimpin dan pemilih yang enggak rasional itu ialah mereka yang ogah membaca dan menganalisis data. Itulah pemimpin dan pemilih emosional, yang mudah diprovokasi dan gampang dikilik-kilik berdasarkan sentimen (terutama sentimen SARA).
Kehidupan yang toleran dan rukun mendadak berubah tegang dengan kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik horizontal bila rasionalitas ditanggalkan. Maka, nalar atau aspek rasionalitas yang mestinya bisa menemukan momentumnya untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat, diganti aspek emosionalitas. Mestinya, nalar bisa kita pahami sebagai manifestasi dari proses berpikir dan bertindak masuk akal dan diterima secara universal.
Dalam negara yang demokratis, penalaran menjadi senjata penting setiap insan di tengah keadaan yang serbakaotis. Kehidupan demokrasi mestinya dijalankan dalam rangka merajut kehidupan kebangsaan secara etis-rasional. Bila aspek irasional lebih dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang terjadi ialah kesemerawutan.
Cendekiawan Nurcholish Madjid atau Cak Nur mengajarkan kepada kita tentang demokrasi sebagai proses. Demokrasi, kata Cak Nur, harus mewujud dalam laku kehidupan sehari-hari sebagai cara hidup atau way of life. Tujuannya agar demokrasi termanifestasi dalam laku hidup sehari-hari, berupa pemikiran terbuka, toleran, dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk.
Sejalan dengan pandangan Cak Nur di atas, maka kehidupan demokratis mampu menekan sedikit banyak sikap irasional berupa ujaran kebencian, penyebaran kabar bohong, klaim kebenaran, dan lain sebagainya. Irasionalitas harus diminimalisasi dalam proses demokratisasi.
Sangat disayangkan bila dalam proses demokratisasi, justru semakin menguatkan sikap-sikap irasional. Demokrasi bisa kehilangan makna substansialnya bila rasionalitas ditanggalkan. Arti itu yakni demokrasi bagi tempat berseminya sikap-sikap dan pandangan rasional.
Hulu dari irasionalitas ini ialah kehendak berkuasa yang teramat eksesif dari penguasa. Hilirnya terlihat nyata dari tidak dihargainya lagi kemerdekaan pemilih untuk menilai, membaca, dan menganalisis data-data yang berhamburan di ruang publik. Mereka yang ingin melanggengkan kekuasaannya ini secara eksesif pula menaburkan benih irasionalitas di mana-mana meskipun dulunya mereka kerap bersikap rasional.
Wajar belaka sampai profesor politik Islam global asal Australia, Greg Barton, menilai wajah demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini, dalam beberapa hal, ada pemerosotan demokrasi. Greg mencontohkan putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, beberapa waktu lalu, itu banyak membuat orang kecewa. Kemudian, hal ini berdampak pada wajah demokrasi di Indonesia yang ‘tampak menua, lelah, dan merosot’.
Jadi, apakah masih mau dikilik-kilik emosi Anda, wahai pemilik hak suara? Kalau saya, sih no.