Persembahan Cabang Nontradisional

Persembahan Cabang Nontradisional
Suryopratomo Pemerhati sepak Bola(MI/SENO)

SEJAK lama, nyaris tidak ada perhatian khusus kepada cabang-cabang olahraga nontradisional. Atlet-atlet angkat besi berlatih dalam diam. Mereka tetap rajin berlatih meski kadang dengan tempat berlatih atau fasilitas yang seadanya. Demikian pula dengan atlet panjat tebing. Bahkan, ketika hendak berangkat ke Paris pun mereka harus mengurus tanda peserta dan visa sendiri.

Di tengah bayang-bayang kegagalan mempertahankan tradisi emas dalam Olimpiade, kedua cabang olahraga itu menjadi penyelamat. Dimulai Veddriq Leonardo yang secara dramatis memenangi nomor kecepatan panjat tebing putra. Beberapa jam kemudian atlet angkat besi Rizki Juniansyah memenangi medali emas kelas 73 kg.

Kita pantas memberikan acungan jempol kepada atlet yang bisa mengibarkan bendera Merah Putih di tiang paling tinggi. Keberhasilan itu diraih dari proses panjang yang melelahkan yang menyita waktu, tenaga, pikiran, dan kadang emosi.

Baca juga : Inilah Atlet Indonesia yang akan Berjuang Meraih Medali di Olimpiade Paris Hari ini

Keberhasilan menjadi juara merupakan simbol dari kerja keras, kerja sama, disiplin, rasa hormat, dan kepatuhan. Kepatuhan kepada instruksi pelatih sejak latihan merupakan sebuah keharusan. Olahraga melatih atlet untuk selalu hormat kepada pelatih.

Bonding yang kuat antara pelatih dan atlet menghasilkan kerja sama yang erat. Sekeras apa pun instruksi yang diberikan pelatih akan dijalani atlet dengan penuh kesungguhan dan kerja keras. Persiapan menjelang kompetisi menentukan kesuksesan pada pertandingan.

Hasil tidak pernah membohongi kerja keras dalam latihan. Hanya mereka yang berlatih sepenuh hati akan menghasilkan prestasi terbaik. Apalagi jika diikuti dengan kemauan yang kuat untuk menjadi yang terbaik, akan memperkuat mental bertanding.

Baca juga : Veddriq dan Rizki Jadi Tema Khutbah Salat Jumat di Istiqlal

Cek Artikel:  Final Ajang 3 Dasa warsa Dash Basketball Hasilkan Juara dari Alumni SMAN 3 Jakarta, Trisakti, dan Unpad

Lihat bagaimana perjuangan Rizki memenangi medali emas angkat besi. Pada angkatan snatch, Rizki sebenarnya terpaut 10 kg dari atlet Tiongkok Shi Zhiyong. Rizki hanya mampu mengangkat barbel seberat 155 kg, sedangkan Shi berhasil mengangkat beban 165 kg.

Tetapi, Rizki bisa mengompensasi pada angkatan clean and jerk. Shi gagal dalam tiga kali kesempatan untuk mengangkat beban seberat 191 kg sehingga harus keluar gelanggang. Sementara itu, Rizki dalam kesempatan keduanya berhasil mengangkat beban seberat 199 kg sekaligus mencetak rekor Olimpiade.

Atlet Thailand Wichuma Weeraphon yang mencoba mendekati Rizki dengan mengangkat barbel seberat 198 kg pun pada akhirnya tidak berdaya menahan laju Rizki untuk meraih emas.

Baca juga : Rizki Juniansyah Persembahkan Kemenangannya untuk HUT RI

Bagus Rizki maupun Veddriq, keduanya bukanlah atlet kemarin sore. Mereka menapaki perjalanan yang panjang untuk menjadi yang terbaik. Potensi mereka sudah terlihat sejak masih junior. Tiga tahun lalu Rizki menjadi juara dunia junior untuk kelas 73 kg saat kejuaraan dilangsungkan di Taskent, Uzbekistan. Prestasi itu ia pertahankan setahun kemudian ketika Kejuaraan Dunia Junior digelar di Heraklion, Yunani.

Rizki yang kini berusia 21 tahun itu kemudian mencoba naik kelas di kelompok senior. Ketika Kejuaraan Dunia dilangsungkan di Bogoto, Kolombiapada 2022, Rizki mampu mendulang medali perak di kelas andalannya, 73 kg. Pengalaman di Bogota membawa ia kini menjadi yang terbaik di Olimpiade Paris.

Seperti halnya Rizki, Veddriq mulai mengenal panjat tebing pada 2014 ketika ia duduk di bangku sekolah menengah atas di Pontianak. Ketekunan lelaki berusia 27 tahun itu membawanya mengikuti Kejuaraan Dunia di Moskow empat tahun kemudian dan meraih perunggu.

Cek Artikel:  Rizki Juniansyah Bersiap Hadapi PON 2024

Baca juga : Dunia Puji Prestasi Veddriq Leonardo

Kesuksesan pertama itulah yang membuat Veddriq semakin bersemangat berlatih. Hasilnya tidak sia-sia karena kemudian ia menjadi juara dunia untuk nomor kecepatan. Pertama, ketika kejuaraan dilangsungkan di Salt Lake City, Amerika Perkumpulan, pada 2021, dan dua tahun kemudian di Seoul, Korea Selatan.

 

Bukan orang biasa

Dari Olimpiade Paris, kita bisa memetik pelajaran bagaimana setiap warga seharusnya berupaya memberikan yang terbaik kepada negara mereka. Pengabdian itu tidak harus melulu diukur dengan materi, tetapi bisa dengan kesungguhan dan dedikasi untuk tidak bersikap koruptif.

Hanya dalam olahraga, terutama yang terukur, tidak mungkin ada kecurangan. Mereka yang membukukan kecepatan yang lebih tinggi, lemparan atau lompatan paling jauh, atau angkatan yang lebih berat yang berhak menjadi juara.

Oleh karena persaingan yang sangat fair dan terbuka, tidak usah heran jika mereka yang menjadi pemenang melampiaskan keberhasilan secara ekspresif. Terdapat yang berteriak, ada yang menangis, ada yang berlari-lari ketika dinyatakan sebagai pemenang.

Tetapi, olahragawan sejati tidak pernah patah semangat ketika kemudian mereka pun gagal. Mereka segera mengevaluasi diri dan memperbaiki kekurangan. Mereka memegang prinsip kegagalan hanyalah keberhasilan yang tertunda.

Para atlet, apalagi yang berlaga di ajang Olimpiadememang bukan orang biasa. Mereka ialah pribadi-pribadi yang memegang teguh komitmen untuk pantang menyerah, tidak pernah mau membuang waktu percuma, dan selalu berupaya menjadi yang terbaik.

Kita pantas kagum melihat latar belakang dari para atlet itu. Lihat, misalnya, peraih medali emas 200 m putri, atlet AS Gabrielle Thomas. Ia merupakan sarjana neurobiology dan global health dari Universitas Harvard. Gabby Thomas menyelesaikan program masternya dalam bidang epidemiologi dari Universitas Texas di Houston.

Cek Artikel:  Perubahan Angin di Paris Jadi Tantangan Atlet Para Panahan Indonesia

Kesuksesan untuk menjadi juara melalui proses yang panjang. Tiga tahun lalu di Olimpiade Tokyo, Gabby hanya berhasil meraih perunggu. Ketika mengikuti Kejuaraan Dunia di Budapest, Hongariapada 2023, ia merebut perak. Ketika di Olimpiade Paris merebut emas, Gabby menganggap sebagai sebuah mimpi yang menjadi kenyataan.

Oleh karena olahraga bukan sekadar kalah dan menang, juara atau tidak juara, negara perlu hadir untuk memfasilitasi. Negara harus memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak untuk menggeluti kegiatan olahraga yang disenangi mereka agar terbangun sikap sportif, bersikap hormat dan menghargai orang lain, serta memiliki jiwa pantang menyerah.

Singapura kali ini gagal mendapatkan medali di Olimpiade Paris. Setelah perenang Joseph Schooling mempersembahkan medali emas pertama di Olimpiade Rio de Janeiro 2016, belum ada lagi atlet yang bisa menggantikannya.

Tetapisatu yang menarik, Singapura tidak berhenti untuk melahirkan anak-anak yang unggul. Pahamn ini mereka membangun satu kompleks bulu tangkis dengan 24 lapangan di Singapore Expo dengan fasilitas modern.

Menjelang perayaan Hari Kemerdekaan ke-59 Singapura, 9 Agustus 2024, mereka meluncurkan sebuah program yang dinamakan dare to dream.  Program itu memberikan kesempatan kepada setiap anak Singapura berusia sampai 8 tahun dan berminat menjadi juara dunia menggunakan fasilitas yang ada di Singapore Expo. Negara menyiapkan pelatih bagi mereka yang mempunyai mimpi untuk menjadi juara.

Begitu pulalah seharusnya kita memacu anak-anak kita. Kita tantang anak-anak untuk berani bermimpi. Negara menyediakan infrastruktur untuk meraih mimpi itu. Proses pembentukan karakter bangsa yang perlu ditanamkan, bukan hanya menunggu lahirnya juara dan kemudian kita berlomba memanfaatkan keberhasilan atlet itu untuk mengangkat popularitas pribadi.

Mungkin Anda Menyukai