Bergelut dengan Kesiapan Transformasi Digital

Bergelut dengan Kesiapan Transformasi Digital
Ilustrasi MI(MI/Seno)

HARI itu cerah, tapi kelabu. Giovanni Capanelli, bos saya di Asian Development Bank Institute Tokyo, memanggil saya ke ruangannya. Proyek buku kami yang berjudul ASEAN 2030: Toward a Borderless Economic Community masih jauh dari rampung. Eksis beberapa penulis dari ASEAN yang lambat jalan sehingga membuat purwarupa buku kami ini sepertinya akan melanggar jadwal yang sudah diset oleh CEO kami ketika itu, Professor Masahiro Kawai. Naskah ini penting karena akan menerawang jauh prospek ASEAN, yang salah satunya menyingkap kesiapan integrasi kawasan serta kesiapan sumber daya manusia dalam beradu cepat dengan perkembangan teknologi.

 

Perbedaan perspektif

Sebelas tahun berselang, awal bulan ini saya kembali bertemu dengan Profesor Kawai. Kali ini, kami mewakili negara masing-masing untuk mempresentasikan perkembangan transformasi digital di wilayah ASEAN plus 3 dalam forum North East Asia Think Tank (NEAT). Pada sesi panel bersama, saya terlebih dahulu mempresentasikan temuan-temuan saya mengenai Indonesia, yang mengalami momentum baik dalam proses transformasi digital selama periode pandemi.

Kemudian, tibalah saat Prof Kawai menceritakan Jepang dengan perspektif yang cukup temaram. Menurut Prof Kawai, Jepang sangat ketinggalan dalam proses adopsi teknologi, suatu hal yang perlu dikejar dengan cepat. Satu hal yang saya sadari dengan cepat ialah perbedaan perspektif mengenai momentum dan kesiapan. Kalau Prof Kawai memakai perspektif intertemporal alias antarwaktu, di sisi yang lain saya lebih melihatnya secara statis selama periode pandemi.

Dengan perspektif intertemporal, maka sungguh Indonesia sudah ketinggalan di antara rekan serumpun dan memiliki prospek yang tercecer dalam pergumulan adopsi teknologi, jika melihat tren yang ada saat ini. Kalau 11 tahun yang lalu dalam buku ASEAN 2030 yang kami susun, gap antara Indonesia dan negara-negara lain di ASEAN tampak masih belum terlalu jauh, maka kini Indonesia hanya akan menjadi bayangan dari percepatan adopsi teknologi di lingkup kawasan.

Dalam pemaparannya, Prof Kawai menunjuk satu biang kerok dari cukup mediokernya peringkat Jepang dalam IMD World Digital Competitiveness Ranking (peringkat 28) ialah lemahnya digital talent (peringkat 47). Jernih saja, Jepang yang sudah memasuki periode populasi yang menua (aging society) memang tampak sulit untuk mencari sumber daya manusia yang unggul demi mengisi ruang tumbuh percepatan transformasi teknologi. Hal ini juga diperparah dengan adanya restriksi bagi tenaga kerja asing untuk mengisi celah tersebut.

Cek Artikel:  Menyelamatkan Masa Depan Kehidupan di Jawa

Selama ini, Jepang memang dinilai sangat ketat dalam mengakomodasi tenaga kerja asing dan sangat memprioritaskan tenaga kerja domestik. Sebagai komparasi, Singapura dan juga Korea Selatan yang tengah memasuki pula periode penuaan populasi, masih berada dalam ranking digital talent yang cukup baik, peringkat 2 untuk Singapura dan peringkat 26 untuk Korea Selatan. Yang membedakan, tidak seperti Jepang, Singapura dan Korea Selatan menjadi titik temu sumber daya manusia (digital talent hub), yang membuat negara-negara ini sangat kompetitif.

 

Terjerembap mantra-mantra

Sementara itu, melihat tabel yang sama, Indonesia hanya menempati peringkat 53 dalam digital competitiveness ranking. Celakanya lagi, dari sisi digital talent yang sudah seharusnya unggul dengan melimpahnya sumber daya manusia, justru tidak lebih baik dari Jepang yang memang sudah terkendala populasi yang menua. Indonesia tertinggal hampir di semua lini utama, knowledge, technology, dan future readiness. Meski demikian, hampir segenap pembuat kebijakan memiliki pandangan myopic dan justru terjerembap dalam mantra-mantra Indonesia menuju era 4.0, di mana sebetulnya lolos dari era 2.0 saja masih perlu kerja keras.

 

Dalam bab 3 buku kami yang berjudul Duniaization, Productivity and Production Networks in ASEAN, saya dan kolega menulis mengenai jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Kami melihat bahwa Indonesia memiliki potensi cukup besar untuk terjebak selamanya di level pendapatan menengah. Celah yang dilewati pun cukup sempit karena kita berkejaran dengan potensi bonus demografi yang akan hilang di tahun 2030.

Menurut perhitungan kami, jika ingin melewati celah tersebut, setidak-tidaknya ekonomi harus tumbuh 6% secara rata hingga tahun 2035 nanti. Kalau tidak maka celaka dua belas. Sebagai perbandingan dengan Jepang dan Tiongkok, kedua negara ini mengalami periode pertumbuhan ekonomi dua digit dalam periode bonus demografi, sementara Indonesia terjebak dalam pertumbuhan 5%-an dalam 5 tahun terakhir. Bahkan menurut proyeksi saya, pertumbuhan ekonomi Indonesia di beberapa tahun ke depan akan dengan sangat mudahnya terjerembap di bawah 5% jika tidak mampu mengatasi masalah turunnya kinerja industri.

Hal ini menjadi penting karena penghela napas perekonomian ialah kinerja ekspor dan juga investasi. Dua hal yang perkembangannya sangat ditentukan oleh pertumbuhan dari sektor industri. Sayangnya, industri mandek, jalan di tempat. Kontribusinya terhadap produk domestik bruto kini tinggal 19%, konsisten turun hampir lekat tanah.

Cek Artikel:  Kasus Pembuka Tabir

 

Bonus dan akses yang sama

Jadi, bagaimana solusinya? Memperhatikan pada tabel peringkat digital competitiveness, salah satu poin pivotal yang dapat memantik titik infleksi ialah melalui kualitas regulasi dan institusi. Demi lepas dari kungkungan sistemik ini, sebenarnya Acemoglu dan Robinson (2013) sudah mewanti-wanti untuk mengarahkan kepada ekonomi institusi yang inklusif (inclusive economic institutions), yang menciptakan insentif dan akses yang sama untuk masyarakat pada umumnya. Negara menjadi gagal jikalau negara tersebut hanya menyediakan akses dan kesempatan kepada sekelompok elite.

Lebih lanjut, banyak kebijakan dianggap tidak memiliki basis data ataupun bukti yang cukup. Karena itu, dalam implementasinya terdapat kesimpangsiuran di sana-sini. Pelik memang untuk mengambil langkah cepat dalam situasi sempit, terlebih situasi ekonomi yang beririsan pula pada setiap kebijakan. Situasi ini menjadi pengingat akan pentingnya kebijakan berbasis bukti yang adaptif untuk menghadapi kondisi yang serba tidak pasti. Tetapi, benar adanya jika disebutkan bahwa situasi yang mengimpit selalu menyediakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi. Mungkin inilah saat terbaik bagi Indonesia untuk kembali menjaga komitmen pencapaian visi Indonesia Maju 2045, dengan menitikberatkan pertumbuhan ekonomi menggunakan pendekatan knowledge-based economy, seperti yang sudah sejak lama diterapkan di berbagai negara maju.

Yang jelas, perbaikan harus bermula dari hulu, sebagaimana yang juga saya ulas dalam buku tersebut di atas, bahwa produktivitas dan inovasi menjadi kata kunci untuk lepas dari jeratan mediokrasi pendapatan menengah. Di sinilah peran pemerintah sebagai penghela ekosistem, salah satunya dengan membenahi kualitas inovasi dan kolaborasi. Bagaimana potret Indonesia ke depan? Apakah akan semakin baik atau malah menjelma menjadi dunia Gulliver yang penuh ketimpangan antara raksasa dan kurcaci?

Dalam buku 8 Mighty Megatrend-nya Anders Lindgren disebut beberapa tantangan terbesar yang akan dihadapi di masa depan. Tantangan tersebut berupa ledakan populasi, urbanisasi yang masif, konsumsi yang tak terkendali, pertumbuhan teknologi yang liar, transformasi digital, konektivitas yang meningkat, degradasi lingkungan, serta pendapatan yang semakin timpang. Tantangan-tantangan tersebut, jika tidak dijinakkan, hanya akan berujung pada kebuasan; yang berat menimpa yang ringan, yang besar menghilangkan yang kecil.

Cek Artikel:  Tiga Mengertin Jokowi

 

Senantiasa waspada

Pembuat kebijakan sudah sepatutnya mencari siasat untuk berkelit dari impitan situasi sebagaimana yang dibahasakan oleh Andrew Grove sebagai kemampuan adaptasi dan mengenali lingkungan. Dengan begitu, bisa melakukan pindah jalur (pivot) di saat yang tepat, pada titik infleksi. Kalau merujuk pada prinsip Schumpeterian, perubahan menuju kebaikan bersifat disruptif. Ia akan menimbulkan ekses negatif di jangka pendek. Hal itu juga diamini oleh Clayton Christensen, seorang profesor dari Harvard Business School, dalam ceramahnya di Oxford, merujuk pada bukunya yang fenomenal The Innovators Dilemma. Tetapi, semua harus dilakukan sekarang karena alarm sudah kedap kedip. Intinya, setiap pengambil keputusan harus senantiasa waspada dan mampu membaca sinyal.

Perubahan sekecil apa pun dari pelbagai aktor dan variabel harus mampu dibaca dengan baik dan tetap masuk dalam radar. Karena bisa saja, secara tiba-tiba, elemen-elemen tersebut berubah secara signifikan dan memaksa pembuat keputusan harus memilih pada sebuah strategic inflection point. Sering kali pembuat keputusan terlambat mengambil keputusan karena tidak piawai atau bahkan meremehkan sinyal tersebut. Eksislah para akademisi dan praktisi yang bisa dengan cepat membaca tanda-tanda tersebut karena mereka yang bersentuhan langsung dengan masalah di lapangan. Jangan abaikan mereka, dengarkan petuahnya, jalankan sarannya. Karena Penemuan hanya bisa berjalan dengan tuntunan yang solid, bukan tontonan penuh gimik. Manfaatkan jendela kesempatan itu atau kita akan menjadi tua sebelum kaya.

Kreativitas dan nalar objektif dari para praktisi dan akademisi merupakan pelumas dari produktivitas. Setidaknya ini yang bisa kita ambil secara induktif dari tesis termasyhur David Hume, yang mengagungkan emosi positif dan pengalaman berbasis realitas sebagai basis sahih pemikiran manusia intelektual. Satu benang merah dari postulat Hume ialah kelindan antara alam dan kemampuan berpikir manusia. Inilah yang seharusnya menjadi fondasi solid para pembuat kebijakan.

Dalam skala yang lebih makrokosmik, diperlukan kolaborasi dalam bentuk quadruple helix yang melibatkan pemerintah, akademisi, industri, dan juga komunitas. Dengan demikian, produktivitas dan inovasi bisa membuat kita bergerak ke arah dinamisme yang lebih positif. Prof Kawai di akhir sesi panel memuji presentasi saya mengenai Indonesia yang tampak mampu berselancar dengan keadaan, memanfaatkan momentum. Tapi saya tahu bahwa itu sebenarnya hanya basa-basi ala Jepang.

Mungkin Anda Menyukai