Pilkada Asimetris Dapat Timbulkan Diskriminasi Baru

Pilkada Asimetris Dapat Timbulkan Diskriminasi Baru
Ilustrasi.(MI/Seno)

DIREKTUR Eksekutif Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N. Suparman pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito terkait wacana soal Pilkada dengan sistem pendekatan Asimetris. 

Pilkada asimetris yang dimaksud adalah sistem yang memungkinkan adanya perbedaan Penyelenggaraan mekanisme pilkada antar daerah, yang muncul dikarenakan suatu daerah Mempunyai Ciri tertentu seperti kekhususan dalam aspek keamanan.

“Kalau Eksis potensi kekerasan atau keamanan masyarakat di satu daerah dengan daerah yang lain seperti di Papua, jangan kemudian dilihat solusinya dengan pemilihan lewat DPRD. Sebaiknya pemerintah Dapat menggunakan pendekatan lain misalnya mengikatkan edukasi politiknya yang juga harus berbeda di setiap provinsi,” katanya dalam Obrolan media bertajuk ‘Catatan Otonomi Daerah 2024’ di Jakarta pada Jumat (20/12). 

Cek Artikel:  Gelar Tebus Murah, Gen1us Mau Lalu Pusat perhatian Menangkan RK-Suswono

Menurut Herman, pilkada bukan hanya menjadi bagian dari mekanisme politik Kepada pengisian jabatan demokratis. Lebih dari itu kata dia, pilkada idealnya menjadi sebuah implementasi Penyelenggaraan otonomi daerah yang sesungguhnya, Kalau pilkda asimetris dilaksanakan maka akan menimbulkan diskriminasi baru. 

“Provinsi adalah salah satu daerah otonom. Selama ini selalu berkembang bahwa otonominya itu Eksis di kabupaten dan kota, padahal kalau kita lihat di undang-undang, provinsi juga punya kewenangan. Jadi pilkada melalui masyarakat harus Maju dipertahankan,” ujarnya.

Kepada itu, Herman juga mendorong partai politik sebagai lembaga yang Mempunyai tugas Kepada melahirkan calon pejabat publik, agar menjalankan fungsi pendidikan dan sosialisasi politik kepada Anggota Kepada menekan biaya pemilihan. 

 

“Ini adalah kerja partai politik, karena tugas partai politik salah satunya agregasi kepentingan dan pendidikan politik, karena kita harapkan partai politik itu Bukan hanya bekerja di tahun pemilu dan pilkada saja, tapi selama empat tahun berikutnya ini harus memberikan sosialisasi dan pendidikan politik kepada Anggota,” pungkasnya.

Cek Artikel:  Ridwan Kamil Janji Hidupkan Transportasi Sungai Era Bang Yos

Sementara itu, Analis Kebijakan KPPOD, Sarah Nita Hasibuan menjelaskan bahwa Pilkada Lewat DPRD akan merusak prinsip desentralisasi politik. Menurutnya, pilkada Bukan langsung merupakan kemunduran dalam demokrasi Indonesia yang bertentangan dengan semangat desentralisasi.

“Kalau alasannya ongkos politik dan politik Doku yang tinggi Lewat dimunculkan wacana pilkada lewat DPRD, kami mendata anggaran APBN/APBD Kepada Penyelenggaraan pilkada Sekeliling 37,52 triliun Kepada 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota, ini Bukan terlalu besar Kepada agenda 5 tahunan. Jauh lebih besar anggaran Kepada membiayai kementerian yang sangat gemuk Begitu ini,” kata Sarah. 

Cek Artikel:  Bawaslu Klaim Penyelenggaraan Kampanye Tetap Berjalan Kondusif

Selain itu, Sarah menjelaskan bahwa pilkada oleh DPRD dapat melemahkan otonomi daerah karena kandidat yang diusung partai politik diputuskan oleh pimpinan parpol di pusat sehingga akan mengabaikan unsur lokalitas. 

“Dan Bukan Eksis jaminan penghilangan praktik politik Doku dan politik berblaya tingel Kalau pilkada lewat DPR, Malah akan Membangun partisipasi masyarakat tertutup, masyarakat akan semakin Bukan Mempunyai peran dalam proses pembangunan pasca pilkada,” pungkasnya. (Dev/I-2)

 

Mungkin Anda Menyukai