Bansos Beras Jangan Jadi Candu

KETIKA blusukan di gudang Bulog Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pada Senin (4/12) lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan kebijakan pemerintah yang akan meneruskan program pembagian beras gratis kepada masyarakat rentan hingga tahun depan. Raut wajah sukacita terpancar dari beberapa keluarga penerima manfaat (KPM) yang pada kesempatan itu secara simbolis menerima langsung bantuan itu dari tangan Presiden.

Sebuah pengulangan pengumuman karena keputusan perpanjangan bansos pangan telah ditetapkan dalam rapat kabinet yang dipimpin langsung Jokowi pada 5 November 2023 lalu. Dalam rapat itu diputuskan bahwa bansos pangan berlanjut hingga Juni 2024. Argumen pemerintah sederhana, yakni sebagai upaya pengendalian harga beras agar tidak terus bergejolak akibat fenomena El Nino yang telah menyebabkan kekeringan dan mundurnya waktu musim tanam.

Bansos pangan diberikan dalam bentuk beras sebanyak 10 kilogram untuk 22 juta lebih penerima manfaat. Tak cuma itu, bantuan pangan juga akan diberikan kepada 1,4 juta keluarga dalam program pencegahan anak stunting. Kalau dirupiahkan, APBN gelontorkan Rp892 miliar pada semester pertama tahun depan untuk program bantuan pangan tersebut.

Cek Artikel:  Jokowi Jangan Gimik Serukan Persaudaraan

Sebuah langkah cepat yang tepat tentunya, apalagi pemerintah tengah berupaya menjaga level pertumbuhan di kisaran 5% pada tahun ini dan tahun depan. Daya beli masyarakat mengambil peran penting di situ.

Tetapi, langkah cepat yang tepat belum tentu berujung pada hasil yang baik. Bansos pangan hanya sebuah solusi instan jangka pendek. Ia ibarat balsam yang meredakan sakit kepala sesaat, tanpa mampu mengobati penyebab sakit kepala itu sendiri.

Terlebih, penyaluran pangan gratis dari pemerintah itu dilakukan di saat masih semrawutnya data penerima bansos. Intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada September lalu menunjukkan, Rp523 miliar tiap bulannya uang negara keluar buat bansos yang tidak tepat sasaran.

Lebih mencengangkan lagi, 23.800 aparatur sipil negara, 493 ribu pemilik upah di atas upah minimum kabupaten, serta 14 ribu pengurus atau pemilik badan hukum, terdaftar sebagai penerima bansos. Mudah ditebak tentunya, bansos yang merupakan produk instan, lahir dari pemikiran instan, akan dilaksanakan dengan cara yang instan pula, tanpa persiapan yang baik.

Cek Artikel:  Royal Demi Amtenar di Tahun Pemilu

Donasi beras pun diberikan tanpa ada parameternya. Misalnya, di harga berapa bantuan beras baru akan dikucurkan. Kepada Desember ini saja, bantuan beras tetap akan digelontorkan meskipun Jumat (1/12) lalu BPS mengumumkan inflasi harga beras mulai di jalur penurunan. Lagi terjadi inflasi 0,43% secara bulanan pada November, tetapi turun dari 0,58% di Oktober.

Kata BPS, penurunan inflasi beras itu karena beberapa wilayah penghasil gabah/padi sudah mulai memasuki masa panen. Di sini muncul pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan nasib petani saat musim panen tiba? Di saat petani seharusnya menikmati hasil keringat, beras mereka bakal sulit terjual dengan harga yang pantas karena pemerintah terus menggelontorkan beras bantuan yang kebanyakan dari impor.

Lanjut diperpanjangnya program bantuan beras juga bisa memunculkan polemik di tahun depan. Di tahun pergantian kepemimpinan nasional pada 2024, program beras gratis bakal memantik kecurigaan akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis, apalagi kontestan politik yang punya akses besar ke kekuasaan.

Cek Artikel:  Bertekad Impor Sejak dalam Pikiran

Bahayanya lagi, jika bantuan pangan itu memunculkan keyakinan masyarakat bahwa beras gratis akan terus dilanjutkan jika salah satu kandidat terpilih. Di sini perlunya masyarakat terus diingatkan agar tidak mudah terlena, bantuan pangan itu tetap seperti balsam pengurang rasa sakit kepala, yang hari ini hilang sakitnya, besok bisa kumat lagi.

Pemerintah juga mesti terus didorong agar tidak terus meninabobokan masyarakat rentan dengan program beras gratis. Terkait kemiskinan yang menjadi persoalan hilirnya harus segera ditemukan jawabannya. Program bansos mestinya sudah mulai diarahkan ke pemberdayaan masyarakat.

Iba rakyat kalau terus-menerus dikasih obat pereda rasa sakit, sementara kemiskinan yang menjadi penyebabnya dibiarkan terus berkembang, bahkan bisa serupa kanker yang menggerogoti tubuh. Kreatiflah, jangan sedikit-sedikit bansos, sedikit-sedikit bansos.

 

Mungkin Anda Menyukai