Setop Begal Demokrasi

DI tengah proses kampanye Pemilu 2024 yang kian menghangat, DPR RI melalui Rapat Paripurna mengegolkan Rancangan Undang-Undang Daerah Tertentu Jakarta (RUU DKJ) sebagai RUU inisiatif DPR yang membuat banyak pihak tersengat. Rancangan beleid ini dibuat sebagai konsekuensi bakal diimplementasikannya UU Ibu Kota Negara terkait pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Nusantara.

Tetapi, draf RUU DKJ yang bakal dibahas ini menuai polemik karena di salah satu pasalnya hendak menghilangkan proses demokrasi. Pasal 10 ayat (2) draf RUU itu menyebutkan bahwa gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD.

Apabila klausul ini diberlakukan, Gubernur Jakarta tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, tapi diunjuk langsung oleh presiden. Celakanya, kendati diprotes keras oleh beragam kalangan, Badan Legislasi DPR sebagai pengusul RUU ini tetap menganggap bahwa penetapan gubernur oleh presiden tidak akan menghilangkan demokrasi.

Cek Artikel:  Uji Nyali Bawaslu

Dalihnya, kata mereka, karena proses penunjukan itu tetap melalui jalur demokrasi, yakni melibatkan DPRD dalam menentukan nama-nama calon gubernur. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi berargumen bahwa makna demokratis dalam penetapan kepala daerah tidak selalu berujung dengan pemilihan langsung oleh masyarakat.

Baleg DPR juga mengungkapkan alasan lain munculnya ide ini ialah tingginya biaya pilkada langsung yang harus dianggarkan. Menurut Baidowi, anggaran yang besar untuk pilkada tersebut lebih baik digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Argumen Baleg DPR yang harus merampungkan RUU ini pada 15 Februari 2024 jelas meremehkan nalar publik. Padahal, ide untuk pemilihan kepala daerah secara tidak langsung ini pernah beberapa kali diusulkan para elite politik di negeri ini dan ditolak publik secara luas.

Begitu itu, ide pemilihan tidak langsung hampir diimplementasikan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui UU No 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Tetapi, atas desakan publik, Presiden SBY kemudian membatalkan UU tersebut dengan menerbitkan Perppu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serta Perppu No 2/2014 tentang Perubahan atas UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Cek Artikel:  Duka Mandalika Terbelit Utang

Klausul penunjukan gubenur oleh presiden ini jelas tidak ubahnya upaya para elite politik untuk membunuh hak politik warga Jakarta yang saat ini mencapai lebih dari 11 juta jiwa. Belum lagi, ada kecurigaan bahwa upaya memasukkan pasal ini bisa meningkatkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di Jakarta dan Indonesia. Dengan APBD yang mencapai Rp81 triliun, bukan tidak mungkin proses penunjukan gubernur oleh presiden tersebut bisa menjadi ajang transaksi antarpara elite politik.

Karena itu, publik dan kekuatan demokrasi harus menolak masuknya klausul pemilihan gubernur Jakarta oleh presiden ini. Mereka mesti bergandengan tangan dengan Partai NasDem, PKS, PKB, dan sejumlah elite PDIP, yang secara tegas menolak praktik sewenang-wenang yang bakal merusak demokrasi.

Cek Artikel:  Pantang Ragu Pengawas Pemilu

Jangan sampai pemberlakuan pasal tersebut sekadar memberi keuntungan singkat kepada pihak-pihak yang tidak peduli pada kepentingan demokrasi yang berpusat dari partisipasi publik. Jangan biarkan hak publik dikebiri, partisipasi publik dibonsai, demi kepentingan sekelompok kecil orang.

Demokrasi di daerah melalui pilkada pilihan rakyat yang telah terbukti menumbuhkan para pemimpin baru di negeri ini, jangan lagi diutak-atik demi syahwat politik untuk berkuasa. Jangan pula para pemburu rente dan kuasa membegal demokrasi di daerah yang kian mekar atas nama efisiensi anggaran, yang dalam jangka panjang justru membunuh partisipasi anak bangsa.

 

Mungkin Anda Menyukai