Abe San, Kami sudah Sangat Kehilanganmu

Abe San, Kami sudah Sangat Kehilanganmu
Ilustrasi MI(MI/Seno)

PENEMBAKAN itu tak biasa. Jepang yang selama saya tinggali kurang lebih 5 tahun hampir tak pernah memunculkan berita serupa. Suatu waktu pernah dengar di kantor polisi, kasus-kasus yang keluar dari radio polisi ialah ketika Nenek Watanabe terpeleset di dapur, atau laporan tetangga yang terlalu berisik. Saya pun hadir ke kantor polisi menemani teman sesama pelajar yang mengambil dompetnya di sana, yang ditemukan oleh seseorang sehari sebelumnya. Dompet tersebut jatuh di tengah malam buta ketika teman saya itu pulang bersepeda.

Ini keajaiban pikir saya, jika terjadi di Indonesia, jangankan dompet yang terjatuh, dompet yang ada dalam kantong saja bisa dengan mudahnya berpindah tangan! Shinzo Abe yang tersungkur di Nara tampak akan menjadi berita yang akan diputar terus di sana dalam jangka waktu yang lama karena derajatnya yang sangat langka dan besarnya tokoh yang berpulang.

 

Japan is back

Sungguh Shinzo Abe bukan sosok biasa. Sebagai tokoh politik, kariernya sangat solid. Abe adalah Perdana Menteri Jepang yang menjabat dalam periode yang paling lama, yaitu periode pertama 2006-2007 dan periode kedua 2012-2020. Sangat biasa seorang perdana menteri di jepang diganti dalam jangka yang sangat pendek. Tengok saja di tahun 1994, perdana menteri harus berganti hingga tiga kali, yaitu ketika Hosokawa berganti Hata berganti Murayama. Mungkin terlihat absurd, tetapi itulah sistem di Jepang. Birokrasinya solid sehingga siapa pun pemimpinnya, sistem tetap berjalan. Akan tetapi, Abe berbeda. Dia tidak hanya sekadar lewat, dia mewariskan sesuatu yang mungkin layak diganjar hadiah Nobel.

Pada awal periode keduanya, Abe mengeluarkan pernyataan yang mungkin sepadan dengan pernyataan Reagan dalam pidato inaugurasinya pada 1981, “Government is not the solution to our problem, government is the problem.” Pidato Reagan ini memulai era kebijakan liberalisasi ala Reagan yang kemudian masyhur disebut sebagai Reaganomics. Pada Desember 2012, dalam sebuah pidato berbahasa Inggris, Abe memulai perjalanan historisnya, “Japan is back.” Potongan pernyataan pendek tersebut bukan sekadar gimik, tetapi menjadi awal mula pembaptisan Abenomics.

Sejatinya ekonomi Jepang sudah sangat sakit. Setelah sempat cukup dominan pada 1960-1980-an, Jepang mulai masuk periode dekade yang hilang mulai tahun 1990-an. Keajaiban ekonomi Jepang di tahun 1960-an didorong oleh model angsa terbang Akamatsu (Akamatsu flying geese model), yang menjadikan Jepang menjadi salah satu pusat jaringan rantai produksi terbesar di dunia, dengan ditopang oleh negara tier 2 dan tier 3 seperti Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan beberapa negara Asia lainnya.

Cek Artikel:  Praperadilan dan Keadilan dalam Proses Penegakan Hukum

Dalam perkembangannya, sebagaimana yang saya tulis dalam buku saya, Trade Strategy in East Asia from Regionalization to Regionalism, Tiongkok dan Korea Selatan mulai ajek dengan jaringan rantai produksinya sendiri sebagai imbas dari efek tumpah (spill-over effect) dari jaringan rantai produksi Jepang.

Dari sini Jepang mulai kehilangan dominasi, terutama sejak memasuki awal periode tahun 2000-an. Perlahan tapi pasti Tiongkok dan juga Korea Selatan menancapkan model jaringan rantai produksi-produksinya menandingi kedigdayaan Jepang. Hilangnya dominasi Jepang dalam jaringan rantai produksi global akhirnya menipiskan sumber pertumbuhan ekonomi utama. Hasilnya, ekonomi Jepang hanya tumbuh lekat tanah, tidak pernah jauh dari 0,5% hingga 1% dalam satu tahun.

Selain itu, Jepang juga sudah menua sehingga dorongan produktivitas juga sudah sangat terbatas. Hal ini juga diperparah dengan jebakan likuiditas (liquidity trap) yang seperti sudah sangat sinonim dengan Jepang. Saking kondangnya istilah ini, sampai-sampai buku teks pengantar ekonomi untuk mahasiswa tingkat I hampir tidak pernah alpa menampilkan kasus Jepang sebagai contoh jebakan likuiditas yang sempurna.

Jebakan likuiditas ini memang sangat kejam untuk Jepang. Lumrahnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kebijakan moneter masih bisa dengan sangat leluasa direlaksasi, salah satunya dengan menurunkan suku bunga. Masalahnya, Jepang sudah terlalu berlimpah likuiditas sehingga menurunkan suku bunga tidak akan banyak membantu. Hal itu juga berpangkal pada tingkat tabungan yang juga sangat tinggi sehingga muncullah paradox of thrift ala Keynes. Perekonomian terus mandek, tidak berputar. Likuiditas yang berlebih di sektor perbankan akhirnya diam membusuk.

 

Tiga panah kebijakan

Beberapa kali Bank of Japan berusaha untuk memompa kelebihan likuiditas tersebut dengan pelonggaran kuantitatif. Akan tetapi, ternyata kelembaman begitu terasa, kebijakan masih tidak efektif. Pertumbuhan ekonomi Jepang masih terjebak di level rendah. Deflasi merajalela, kemandekan tampak menjadi pemandangan biasa. Jeleknya lagi, segala keunggulan komparatif Jepang di level global juga tergerus dengan konsisten. Ibarat luka yang ditaburi garam, perihnya tiada terkira.

Bagaimana Abe menyalakan yang suram? Pada awal 2013, setelah dua dekade stagnasi ekonomi, Abe menyiapkan tiga panah kebijakan, yaitu kebijakan moneter yang agresif, kebijakan fiskal yang fleksibel, dan strategi pertumbuhan yang berlandaskan reformasi struktural.

Secara umum, tanggung jawab sektor moneter tentu merupakan wilayah kerja bank sentral. Panah pertama kebijakan moneter secara semantik formal memiliki konsekuensi bauran kebijakan yang solid antara pemerintah sebagai otoritas fiskal dan bank sentral sebagai kuasa moneter. Usaha sepihak Bank of Japan dalam memompa likuiditas di sektor riil tentu akan minim makna tanpa adanya strategi fiskal yang fleksibel di panah yang kedua. Tetapi, panah ketiga sepertinya memungkasi panah yang lain. Karena, tanpa penguatan institusional pendorong pertumbuhan, kelembaman ekonomi yang coba diangkat sepertinya akan sulit untuk diangkat.

Cek Artikel:  Kesadaran Nurani dan Pikiran Sehat

Bak panah yang melesat dari busur, perekonomian Jepang tampak keluar dari lubang hitam. Pada periode 2012-2015, perekonomian Jepang tumbuh lagi mulai mendekat ke 2%-an, keuntungan korporasi tahunan meningkat hingga 20 triliun yen, angka pengangguran turun dari 4,3% ke 3,1% dan inflasi inti meningkat menjadi 3%-an, keluar dari jeratan spiral deflasi.

Meski demikian, penyakit ekonomi Jepang belum sepenuhnya hilang, sumber produktivitas utama dari tenaga kerja usia produktif masih cukup terbatas, perekonomian pun kembali batuk-batuk. Maka, dimulailah tahap berikutnya dari pengejewantahan tiga panah Abenomics, yaitu menggenjot produktivitas. Salah satunya ialah perbaikan iklim kerja yang meminimalkan gap antara pekerja formal dan nonformal, mendorong wanita Jepang berpartisipasi dalam lapangan kerja, dan menghilangkan diskriminasi gender. Dan, yang tak kalah pentingnya ialah mendorong terjadinya teleworking dan telemigrasi.

Abe tampaknya tak hanya menjadi murid Keynes yang patuh dengan segala fleksibilitas fiskal dan ekspansi belanja. Ia juga mampu menerawang tantangan 10 tahun mendatang. Bahkan sebelum Richard Baldwin memublikasikan bukunya di tahun 2019, Globotics Upheaval, yang juga menceritakan telemigrasi sebagai tantangan pekerjaan masa depan.

Dalam hal pengembangan daya saing, Abenomics juga tak mau terperangkap pada hype industri 4.0, dan justru memilih untuk merealisasikan society 5.0 yang sangat relevan dengan konteks demografi Jepang. Sebagai penguasa teknologi yang cukup dominan selama beberapa dekade, Jepang tampak selesai dengan dirinya, dan Abenomics lebih menguatkan dari sisi manusia sebagai pusat teknologi, bukan sekadar pengguna atau bahkan menjadi sekadar komoditas dari kemajuan teknologi. Dalam hal ini teknologi berputar mengelilingi manusia sebagai pusat gravitasi. Hasil karya melaju tak sekadar berpacu, mengisi segenap kebutuhan yang secara dramatis meningkatkan kualitas hidup, dan mengakselerasi produktivitas tumbuh melangkahi level jumud (steady state).

 

Kompetisi dunia

Abenomics juga membuat Jepang kembali ke level kompetisi dunia dengan mendorong keterlibatan kerja sama ekonomi dalam bentuk Japan-EU EPA, RCEP, dan Japan-China-ROK FTA, sekaligus mempertegas posisinya dalam ekspansi Trans Pacific Partnership.

Dalam mendorong keterlibatan ekonomi di level internasional, Abenomics memiliki fondasi domestik yang cukup kuat dengan memakai kekuatan UMKM di level regional sebagai bentuk aktivasi dan keterlibatan ekonomi lokal. Lebih lanjut, Abenomics juga menguatkan kemas wisata berdasarkan keunikan daerah masing-masing, dan lebih membuka diri kepada para pendatang asing.

Cek Artikel:  Memproteksi NKRI

Salah satu jejak yang cukup kentara ialah pengembangan wisata halal dengan segenap rantai pasoknya, yang turut mengundang para pendatang muslim meramaikan ekonomi Jepang. Di sinilah keunikan dari Abenomics, ultranasionalis di satu sisi sebagai landasan konstituensi sayap kanan, tetapi di sisi lain juga memiliki paradigma internasionalis.

Sebelum lengser di tahun 2020, Abe juga tak luput membuat landasan bangkit dari pandemi sebagai derivat langsung dari fleksibilitas fiskal ala Abenomics. Pemerintah Jepang, pada 7 April 2020 mengumumkan paket stimulus sebesar 117 triliun yen, setara dengan 22% PDB, terbesar kedua di dunia setelah Jerman. Yang menarik, Abe secara terang-terangan mengumumkan untuk menggunakan sebagian dari stimulus pandeminya untuk memindahkan pabrik-pabrik Jepang yang masih ada di Tiongkok.

Sesempit pengetahuan saya, ini adalah tindakan yang sangat tidak Jepang. Lumrahnya, orang-orang Jepang akan memoderasi ucapannya sehingga tidak kelihatan langsung tunjuk hidung. Tetapi mungkin inilah Abenomics, kelindan paradigma sayap kanan yang keras dan tanpa basa basi dengan kebutuhan praktis internasionalisme.

Abenomics bukannya tanpa cela. Kritik tak habis dari kiri dan kanan. Tetapi, itu bukan yang membuat Abe lengser di bulan September 2020. Abe turun karena sakit perutnya yang kambuh (kolitis ulserativa). Tapi ibarat samurai tua, semangatnya tak padam begitu saja. Jumat, 8 April 2022, Abe tampil ke gelanggang untuk berkampanye mendukung salah satu kandidat dari Partai LDP.

Dalam kolom obituariumnya di Nikkei, Gaku Shimada dengan empatik menuliskan detik-detik terakhir Shinzo Abe berpulang. “Setelah tembakan pertama, Abe masih tetap berdiri, memegang erat mikrofonnya, berusaha untuk tetap berbicara kepada konstituennya hingga akhir. Kini samurai tua itu telah pergi, mati berpegangan pada ‘katana’-nya, menyampaikan pesan-pesannya hingga napas terhenti di Kota Nara. Biarlah Abenomics jadi warisannya yang akan dikaji dari generasi ke generasi. Abe San, kami sudah sangat kehilanganmu, goshuushou sama deshita.

 

 

Tiser :

 

“Setelah tembakan pertama, Abe masih tetap berdiri, memegang erat mikrofonnya, berusaha untuk tetap berbicara kepada konstituennya hingga akhir. Kini samurai tua itu telah pergi, mati berpegangan pada ‘katana’-nya, menyampaikan pesan-pesannya hingga napas terhenti di Kota Nara. Biarlah Abenomics jadi warisannya yang akan dikaji dari generasi ke generasi. Abe San, kami sudah sangat kehilanganmu, goshuushou sama deshita.”

Mungkin Anda Menyukai