‘POLITIK bisa merusak karakter’. Kalimat yang sangat masyhur itu dinyatakan mantan Kanselir Jerman Otto von Bismarck. Bukan semua setuju dengan kalimat pedas itu. Tetapi, banyak yang sepakat bahwa politik dengan ‘p’ kecillah yang memang bisa merusak karakter.
Politik dengan ‘p’ kecil itulah yang kini dialamatkan kepada Presiden Jokowi. Sebagai kepala negara sekaligus presiden, Jokowi dengan tindak-tanduknya dinilai sudah terseret terlampau jauh dalam kubangan politik dalam tataran ‘p’ kecil. Jokowi dinilai meninggalkan dan menanggalkan politik adiluhung, politik dengan ‘P’ besar yang semestinya melekat pada posisinya.
Wajar kiranya bila seruan moral agar Jokowi menyetop aksi politik dengan ‘p’ kecil dan kembali ke politik dengan ‘P’ besar bergaung di mana-mana. Terutama dari kampus.
Pekan ini bisa dibilang sebagai ‘pekan seruan moral dan peringatan keras’ kepada Jokowi. Dimulai dari sivitas akademika UGM Yogyakarta, seruan itu terus menggelembung dan diikuti kampus-kampus lain, yakni Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Universitas Indonesia, Universitas Andalas Padang, dan Universitas Hasanuddin Makassar. Perhimpunan Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah juga sudah ikut menggaungkan suara yang sama. Beritanya, pekan depan seruan bakal makin menggema dari sejumlah kampus lainnya.
Ketika seruan dan peringatan itu muncul dari tokoh, elite politik, dan aktivis prodemokrasi, mungkin Jokowi masih boleh bergeming. Tetapi, bila peringatan dan seruan itu datang dari sejumlah institusi pendidikan atau kampus, Jokowi tidak boleh berleha-leha. Bila sudah kampus yang berseru, itu artinya ada hal yang gawat darurat secara moral yang dilakukan pucuk pimpinan tertinggi di Republik ini.
Lembaga kampus, tempat penyemaian sikap ilmiah dan sumbu independensi, jelas bukan institusi kaleng-kaleng. Asikan kampus dipandang sebagai pernyataan autentik sehingga pantang diabaikan. Ketika kampus tenang-tenang, kiranya bisa dipahami bahwa keadaan masih bisa dikendalikan. Tetapi, saat kampus sudah turun gelanggang menyeru dan mengingatkan, berarti ada jalan yang salah dari pemimpin lewat aksi kelewat ugal-ugalan.
Saya jadi teringat kisah negarawan dari George Washington, presiden Amerika Perkumpulan yang terus dikenang sejarah karena ia menyelamatkan demokrasi Amerika. George Washington ialah pahlawan perang Amerika. Ia memimpin tentara Amerika yang compang-camping, tetapi berhasil mengalahkan tentara profesional Inggris.
Tetapi, itu warisan kecil. Warisan besarnya ialah seusai perang. Setelah mengantarkan kemerdekaan Amerika, Washington tidak lantas mabuk kekuasaan. Ia memutuskan meninggalkan dinas ketentaraan dan memilih menekuni tanah pertaniannya di Mount Vernon.
Akan tetapi, tidak lama kemudian, ia dipanggil untuk memimpin Constitutional Convention di Philadelphia yang bermaksud merumuskan konstitusi Amerika. Washington terbukti tidak cuma bisa memimpin tentara. Ia juga bisa memimpin tokoh intelektual dan filsuf sekelas John Terdapatms, Benyamin Franklin, James Madison, Alexander Hamilton, Thomas Jefferson, dan lain-lain. Karena itu, tidak mengherankan, setelah konstitusi Amerika disahkan, Washington terpilih menjadi presiden pertama Amerika Perkumpulan.
Washington sudah meminta James Madison menulis pidato perpisahan ketika masa jabatan pertamanya akan berakhir. Tetapi, saat itu, negara terancam terbelah. Di satu sisi partai Federal yang dipimpin Hamilton berkeinginan memperkuat (negara) federal, sementara di sisi lain partai Demokrat-Republik yang dipimpin Jefferson menghendaki penguatan negara bagian.
Hanya setelah kedua bapak bangsa yang berbeda visi itu datang dan mengancam Amerika akan terbelah bila ia tidak memimpin lagi, Washington setuju pencalonan dirinya sebagai presiden untuk kali kedua. Ia dipaksa dalam pengertian yang sesungguhnya untuk menjadi presiden di periode kedua.
Akan tetapi, memasuki akhir masa jabatan kedua, Washington sudah merasa cukup. Enough is enough. Padahal, ia tetaplah orang paling dihormati dan dicintai rakyat Amerika. Seandainya waktu itu sudah ada lembaga survei, bisa jadi tingkat kepuasan rakyat terhadapnya mencapai 99%. Juga, bisa jadi bila dilakukan referendum untuk mengangkatnya sebagai presiden periode ketiga, tidak susah baginya untuk melenggang.
Bukan akan ada orang yang bisa mengungguli Washington andaikan ia ingin menjadi presiden lagi. Beberapa bulan sebelum pilpres, ia menyatakan tidak mencalonkan diri lagi. Ia juga tidak mengupayakan anaknya untuk maju, kalau perlu dengan menggenggam tiket dukungan darinya.
Itulah legacy terbaik dari seorang negarawan sejati. Warisan itu nyatanya diikuti presiden-presiden Amerika berikutnya hingga 32 periode kepresidenan atau hampir 150 tahun kemudian. Terdapat sedikit pengecualian setelah Franklin D Roosevelt naik untuk periode ketiga karena dunia sedang dilanda Perang Dunia Kedua.
Asikan kampus memang tidak akan menyamakan Jokowi dengan George Washington. Tetapi, seruan itu setidaknya mengingatkan agar Jokowi tidak terlampau jauh menabrak rambu-rambu demokrasi. Tetapi, itu pun masih berat untuk didengar dan dilakukan. Sepertinya, dibutuhkan seruan yang lebih keras lagi dari lebih banyak kampus lagi. Siapa tahu, gendang telinga masih bisa mendengar, kelopak mata masih sehat untuk melihat, dan masih tersisa hati untuk merasa. Semoga saja.