Kesiapan Partai Politik

Kesiapan Partai Politik
Ilustrasi MI(MI/Seno)

TAHUN ini partai politik sibuk menyiapkan keikutsertaan mereka dalam gelaran Pemilihan Standar (Pemilu) 2024. Seperti biasa, saat musim tahun politik tiba, kehadiran partai politik bak cendawan pada musim hujan. Ibarat pepatah hilang satu tumbuh seribu, kehadiran partai-partai baru mewarnai masa pendaftaran partai politik yang dibuka Komisi Pemilihan Standar (KPU) sejak Senin (1/8) hingga Minggu (14/8).

Terdapat 43 partai pemegang akun Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) KPU RI. Tetapi, yang mendaftar secara resmi sebagai calon peserta Pemilu 2024 ada 40 partai. Tiga partai, yakni Partai Rakyat, Partai Mahasiswa, dan Partai Damai Sejahtera Pembaharuan urung mendaftar hingga hari terakhir masa penutupan. Agenda berikutnya, partai harus berjibaku menghadapi verifikasi administrasi dan verifikasi faktual.

 

Ujian keseriusan

Partai politik ialah entitas publik yang harus serius memerankan diri dan memperjuangkan agenda-agenda publik melalui beragam kanal. Salah satunya ialah melalui mekanisme pemilu. Seluruh tahapan pemilu menjadi ujian awal bagi keseriusan partai politik untuk terlibat dalam kontestasi lima tahunan ini. Segala tahapan dan jadwal mengenai penyelenggaraan Pemilu 2024 telah tercantum pada Peraturan Komisi Pemilihan Standar (PKPU) Nomor 3 Mengertin 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2024. Partai politik tidak hanya harus berbenah, tetapi juga harus siap mengikuti prosedur dalam proses elektoral yang kompleks.

Sejatinya, semua orang bisa mendirikan partai politik. Hak berkumpul dan berserikat memang tak boleh dilarang karena dilindungi konstitusi. Oleh karenanya, saat sebagian warga negara mengikatkan diri dan mendirikan partai politik, hal tersebut sangatlah wajar dalam praktik demokrasi. Tentu tak semua partai yang berdiri siap dan memiliki daya tahan menghadapi ujian. Mereka harus ditempa melalui mekanisme pemilihan umum, apakah partainya layak atau tidak mengisi rumah rakyat dan melampaui ambang batas minimum perolehan suara untuk duduk di DPR RI (parliamentary threshold).

Dari 40 partai politik yang mendaftarkan diri, baru ada 24 parpol yang dokumennya dinyatakan lengkap untuk lanjut ke tahapan verifikasi administratif. Sementara itu, ada 16 partai lainnya yang masih harus berjibaku melengkapi berkas-berkas pendaftaran. Sebagaimana kita ketahui, UU No 7 Mengertin 2017 yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu 2024 menyebutkan syarat partai politik sebagai peserta pemilu.

Selain berbadan hukum sesuai ketentuan undang-undang, juga harus memiliki kepengurusan di seluruh daerah provinsi, 75% jumlah daerah kabupaten/kota, 50% jumlah kecamatan, menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat, dan memperhatikan 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Partai politik juga harus memiliki anggota paling sedikit 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk.

Cek Artikel:  Paguyuban Presiden RI

Tak mudah memang. Merujuk Pasal 2 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 4 Mengertin 2022 tentang Pendaftaran, Pengecekan, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu, partai politik yang mendaftar sebagai peserta pemilu harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan peraturan perundang-undangan. Setelah mendaftar dan dinyatakan lengkap, ada dua tahapan ujian keseriusan partai politik, yakni verifikasi administratif (2 Agustus-11 September 2022) dan verifikasi faktual (15 Oktober-4 November 2022).

Partai yang pada Pemilu 2019 sudah lulus parliamentary threshold (PT) hanya diverifikasi administratif, tidak lagi diverifikasi faktual. Sementara itu, untuk partai yang tidak lolos PT dan partai baru, mereka wajib mengikuti keduanya. Setelah mereka dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilu 2024, mereka harus mendaftarkan calon anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam rentang waktu 24 April 2023-25 November 2023.

Selain itu, partai-partai yang sudah memiliki kursi di DPR RI harus bersiap mengusung pasangan capres/cawapres mereka untuk didaftarkan secara resmi pada 19 Oktober 2023-25 November 2023. Tak mudah! Demi mengisi formasi daftar caleg sementara (DCS) lantas menjadi daftar caleg tetap (DCT), dan pengusungan capres/cawapres, membutuhkan koordinasi, komunikasi persuasi, negosiasi, bahkan manajamen isu dan manajemen konflik yang harus ditangani dengan sangat baik.

 

Penguatan peran

Partai politik di Indonesia yang multipartai ekstrem memang memerlukan banyak perbaikan mendasar. Terdapat beberapa catatan penting bagi penguatan peran partai saat ini dan ke depan. Pertama, partai harus memodernisasi pola hubungan di internal mereka. Terdapat peta jalan (road map) jelas dalam penguatan sistem organisasi. Faktanya, persoalan serius banyak partai di Indonesia sangat bergantung pada figur utama. PDI Perjuangan dengan Megawati Soekarnoputri, Gerindra dengan Prabowo Subianto, Demokrat dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pun demikian terjadi di hampir banyak partai politik.

Kritik Thomas Carothers, dalam tulisannya pada Jurnal Carnegie Endowment in International Peace (2006), Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies, mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai organisasi yang sangat leader centric dan didominasi suatu lingkaran kecil elite politisi. Begitu elite utama pragmatis dalam ‘mendagangkan’ partai jelang perhelatan kontestasi elektoral, partai akan mengalami deinstitusionalisasi. Itulah mengapa parpol kerap mengalami perpecahan dan gembos luar biasa setelah perhelatan pemilu usai digelar. Terutama partai-partai yang tidak terakomodasi ke dalam rezim kekuasaan.

Cek Artikel:  Memperebutkan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Situasi yang sangat bergantung pada figur itu menyebabkan konsekuensi rapuhnya tatanan organisasi. Begitu kuatnya posisi figur melampaui sistem organisasi dan mandeknya proses regenerasi kepimpinan sehingga bisa kita temukan ada partai yang dari satu pemilu ke pemilu berikutnya menyodorkan nama calon presiden yang itu-itu saja karena begitu bergantungnya partai bersangkutan pada pengaruh pancapresan si sosok utama pada perolehan suara partai pada pemilu legislatif. Dalam jangka panjang, ini juga menumpulkan perimbangan kekuasaan di internal partai tersebut sebagai dampak tidak terwadahinya para pemimpin kritis yang turut mengontrol jalannya organisasi.

Kedua, partai harus menguatkan jaringan atau interaksi diferensial (differential interaction). Partai politik saat ini dituntut memiliki kepiawaian dalam membangun interaksi dengan pihak lain. Misalnya, bagaimana membangun komunikasi persuasif dengan basis-basis konstituen. Ingat, saat ini kanal-kanal komunikasi warga begitu berlimpah dan saling terhubung secara digital. Definisinya, informasi terkait partai politik yang memapar warga akan semakin mudah dibagi, viral, dan berpola acak, many-to-many communication. Pengelolaan citra sesaat saja tak lagi memadai, harus relevan dengan kerja nyata berbasis data, terkelola dengan baik dan tepat guna sehingga bisa berdampak pada penguatan reputasi politiknya.

Ketiga, partai wajib hadir menyerap, mengartikulasikan, memperjuangkan, sekaligus mengadvokasi isu dan permasalahan-permasalahan pro publik. Jangan selalu elitis, baru turun di musim kampanye pemilu yang waktunya terbatas. Kerja partai ialah sepanjang hayat. Kiprah produktif yang ditunjang dengan cara berkomunikasi yang tepat akan membantu partai membangun kepercayaan publik (trust building).

 

Tindakan afirmasi

Demi menguatkan mekanisme keorganisasian partai modern, diperlukan sistem tata kelola kepartaian yang lebih serius. Meminjam istilah Anthony Giddens sebagaimana dikutip oleh West dan Turner dalam Introducing Communication Theory (2008), partai membutuhkan penstrukturan adaptif. Secara konseptual, penstrukturan adaptif ialah bagaimana institusi sosial seperti organisasi diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan yang akan berfungsi sebagai perilaku para anggotanya.

Dengan demikian, struktur diciptakan dan dipertahankan sekaligus juga dapat diubah dengan mengadaptasi atau menciptakan aturan baru. Definisinya, partai politik harusnya memperkuat sistem organisasi yang ditaati semua warga partai, bukan sebaliknya menyuburkan feodalisasi, politik patron-client yang menyebabkan organisasi di bawah subordinasi satu atau beberapa orang saja.

Salah satu cara penguatan tata kelola partai politik ialah kejelasan dalam kepengurusan, sistem rekrutmen keanggotaan, kepastian dalam pencalegan, serta keterbukaan dalam proses kandidasi, baik pada pemilu presiden maupun pemilihan kepala daerah. Seluruh partai perlu mempertimbangkan langkah afirmasi politik, terutama bagi posisi politik kaum muda dan kelompok perempuan. Yang ideal, dalam kepengurusan tecermin minimal 30% pengurus ialah perempuan dan kaum muda. Ini untuk mengantisipasi proses regenerasi kepemimpinan internal partai politik saat ini dan di masa mendatang.

Cek Artikel:  Sikap para Capres terhadap Palestina dan Israel

Isu tindakan afirmatif mulai populer di Indonesia seiring dengan disahkannya Undang-Undang No 10 Mengertin 2008 tentang Pemilu Member DPR, DPD, dan DPRD serta UU No 2 Mengertin 2008 tentang Partai Politik. Tindakan afirmatif ini merupakan cara yang banyak dipilih sebagai jawaban terhadap kondisi sosial yang diskriminatif akibat ketidaksetaraan dan marginalisasi di segala bidang kehidupan karena struktur patriarki di level publik dan privat.

Pada Pemilu 2024, bukan hanya di parlemen, KPU juga telah menetapkan 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik sebagai syarat pendaftaran untuk ikut serta dalam Pemilu 2024. Pengumuman KPU Nomor 7/PL.01.1-Pu/05/2022 tentang Pendaftaran Partai Politik Calon Peserta Pemilu Mengertin 2024, poin A2-e, mengharuskan parpol menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat dan memperhatikan 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Realitasnya, mekanisme tindakan afirmartif tersebut masih baru sekadar pemenuhan aspek formil administratif, belum benar-benar substantif. Calon anggota legislatif perempuan banyak yang asal comot, tidak melalui sebuah penyiapan yang benar-benar serius. Hal itu menjadi jawaban mengapa kehadiran perempuan di perlemen hingga sekarang belum memenuhi harapan sebagaimana gagasan awal tindakan afirmatif ini. Misalnya, pada Pemilu 2014, perempuan yang terpilih sebagai anggota legislatif sebanyak 97 orang (17,32%) dan pada Pemilu 2019 sebanyak 118 orang (20,53%). Sementara itu, untuk keterwakilan perempuan di DPD telah mencapai target, yaitu sebesar 30,99% pada Pemilu 2019 meningkat dari pemilu 2014 yang baru di angka 25,80%.

Grup perempuan dan kaum muda yang populasinya banyak harus benar-benar menjadi agenda utama penguatan parpol. Mereka bukan hanya banyak dari sisi jumlah angka sebagai warga negara, melainkan juga harus lebih berdaya. Bukan semata menjadi objek penderita, melainkan menjadi subjek perubahan di internal partai maupun di tengah masyarakat. Tindakan afirmasi bagi kelompok muda meski tidak dipayungi undang-undang, idealnya menjadi agenda penting partai politik.

Mungkin Anda Menyukai