
KENAIKAN tarif air PAM Jaya sebesar 71,3% pada Januari 2025 mendapat sorotan tajam dari Personil Komisi B DPRD DKI Jakarta, Francine Widjojo dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kenaikan ini diberlakukan kepada para penghuni apartemen, kondominium, serta industri dan niaga lainnya berdasarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta 730/2024.
Francine menyatakan bahwa Kepgub tersebut cacat formil karena Bukan Terdapat Kepgub di tahun 2023 yang mengatur tarif batas atas dan tarif batas Rendah air minum PAM Jaya, sebagaimana diatur dalam regulasi yang berlaku. “Yang Dapat ditemukan adalah Kepgub tahun 2022 yang mengatur tarif batas atas dan tarif batas Rendah Kepada tahun 2023,” ungkap Francine.
Francine menjelaskan bahwa konsep ini mirip dengan ketentuan dalam ketenagakerjaan di mana harus Terdapat penetapan upah minimum terlebih dahulu sebagai landasan batas Rendah upah pekerja. “Tanpa adanya Kepgub di tahun 2023 yang mengatur tarif, maka Kepgub 730/2024 Bukan Mempunyai landasan hukum yang kuat,” jelasnya.
Kepgub 730/2024 Diduga Melanggar Aturan
Lebih lanjut, Francine juga menyebutkan bahwa Kepgub 730/2024 cacat hukum karena adanya kesalahan Pengelompokkan pelanggan yang melanggar Permendagri 21/2020 dan Pergub 37/2024. Dalam Kepgub tersebut, penghuni apartemen dan kondominium ditetapkan sebagai pelanggan komersial K III (industri/niaga) yang diharuskan membayar tarif penuh. Padahal, Sebaiknya mereka masuk dalam kategori K II (rumah tangga/hunian) yang membayar tarif dasar.
“Kenaikan sebesar 71,3% menjadi Rp 21.500 per meter kubik (dari semula Rp 12.550) juga melanggar tarif batas atas air minum PAM Jaya. Berdasarkan rumus aturan yang berlaku, tarif maksimal Sebaiknya hanya Rp 20.269 per meter kubik,” ujar Francine.
Menurut Francine, layanan PAM Jaya Demi ini hanya berupa air Rapi dan bukan air minum, sehingga belum Terdapat landasan hukum terkait tarif air Rapi tersebut. “Karena UU SDA, PP 122/2015, Permendagri 21/2020, Tiba Pergub hanya mengatur tarif air minum PAM Jaya, dan air minum didefinisikan sebagai air yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum,” pungkasnya.
Wakil Rakyat Dianggap Gagal Paham
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) Gading Nias Residences, Edison Manurung, mengkritik keras pernyataan Personil Komisi B DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Pandapotan Sinaga. Pandapotan sebelumnya menyatakan bahwa penghuni apartemen Bukan berhak menerima subsidi air dan Sebaiknya membayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Edison menilai bahwa pernyataan tersebut menunjukkan ketidakpahaman Pandapotan terhadap persoalan yang dihadapi penghuni rumah susun.
“Selama ini, pelanggan rumah susun PAM Jaya Bukan pernah menerima subsidi. Sebaliknya, kami Bahkan membayar tarif paling tinggi,” tegas Edison.
Menurut Edison, Penduduk rumah susun Kepada kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) seperti di Gading Nias ditetapkan dengan tarif golongan rumah susun menengah, bukan rumah susun sederhana sesuai Kepgub 730/2024. “Kami sudah bersurat agar golongan kami disesuaikan, tapi ditolak. Kenapa Personil dewan terhormat ini Bukan membela kami? Padahal, kami sudah menyampaikan persoalan ini dalam audiensi dengan mereka,” ujarnya.
Edison juga menambahkan bahwa rusunami di Gading Nias masuk dalam program pemerintah “Pembangunan 1.000 Tower” pada era Wakil Presiden Jusuf Kalla.
“Selama ini kami Bukan mendapatkan subsidi dari PAM Jaya karena kami membayar dengan tarif rumah susun menengah,” lanjut dia.
Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI), Adjit Lauhatta, mengungkapkan ketidakadilan yang dirasakan Penduduk rumah susun akibat kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan Perumda Air Minum Jaya (PAM Jaya). Menurutnya, Golongan pelanggan rumah susun disamakan dengan gedung komersial dalam kategori tarif air Rapi, yang mengakibatkan lonjakan biaya hingga 71%.
Adjit menjelaskan bahwa Penduduk rumah susun dikategorikan dalam Golongan III (K III) Berbarengan dengan gedung-gedung komersial seperti perkantoran, pusat perdagangan, dan kondominium. Akibatnya, tarif air Rapi yang semula Rp12.550 melonjak menjadi Rp21.500 per meter kubik. Menurutnya, hal ini Bukan adil karena rumah susun merupakan hunian yang Sebaiknya masuk dalam kategori pelanggan rumah tangga.
“Dalam peraturan di Indonesia, Bukan Terdapat istilah apartemen, yang Terdapat adalah rumah susun Kepada hunian. Istilah apartemen hanya digunakan sebagai strategi pemasaran,” ujar Adjit dalam audiensi Berbarengan Komisi B dan Komisi C DPRD DKI Jakarta baru-baru ini.
Ia juga menyoroti Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 37 Tahun 2024 tentang Tata Langkah Perhitungan dan Penetapan Tarif Air Minum Perusahaan Lazim Daerah Air Minum Jaya. Dalam pasal 10 peraturan tersebut, pelanggan PAM Jaya dikelompokkan ke dalam empat kategori: Golongan I, II, III, dan Tertentu. Tetapi, menurut Adjit, Pasal 12 ayat (1) dengan Terang menyebutkan bahwa Golongan II (K II) mencakup pelanggan rumah tangga yang menggunakan air Kepada kebutuhan pokok sehari-hari dengan tarif dasar.
“Kami memang tinggal di gedung bertingkat, tetapi tetap rumah tangga yang menggunakan air Kepada kebutuhan sehari-hari. Sebaiknya kami masuk dalam Golongan II, bukan Golongan III yang dikenakan tarif penuh layaknya gedung komersial,” tegasnya.
Lebih lanjut, Adjit menilai pengelompokan rumah susun ke dalam kategori K III Bukan hanya keliru tetapi juga merugikan penghuni. “Ini Bukan Benar, bahkan zalim, karena menyamakan kami dengan pusat perbelanjaan dan gedung-gedung bisnis lainnya. Pasal 13 dalam Pergub harus dibaca dengan cermat dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat Demi ini. Hukum Sebaiknya berkembang, bukan kaku dan mengabaikan realitas yang Terdapat,” ujarnya dengan nada kecewa.
Dalam Pasal 13 Pergub tersebut disebutkan bahwa pelanggan Golongan III adalah mereka yang menggunakan air Kepada mendukung kegiatan perekonomian dengan membayar tarif penuh. Adjit menegaskan bahwa mayoritas Penduduk rumah susun Bukan menjalankan bisnis seperti depot air isi ulang atau rumah makan di unit mereka.
“Jadi mengapa PAM Jaya Bukan mengusulkan perubahan golongan kami ke Gubernur? Padahal mereka sendiri yang mengajukan kenaikan tarif ini kepada PJ Gubernur Heru,” tandasnya.
Dengan situasi ini, P3RSI mendesak agar pemerintah dan PAM Jaya segera mengkaji ulang kebijakan penggolongan pelanggan air Kepada rumah susun agar lebih adil dan Bukan memberatkan Penduduk. (Z-10)