Membangun Dialektika Kemerdekaan

Membangun Dialektika Kemerdekaan
Ilustrasi MI(MI/DUTA)

KEMERDEKAAN adalah idiom yang luas. Bagi seorang liberal atau libertarian, kemerdekaan adalah terbebasnya mereka dari dominasi non-individu; entah itu negara, kelompok sosial, doktrin agama, dan sebagainya. Bagi komunisme, kemerdekaan adalah terbebasnya manusia dari penindasan pemilik modal dan terbangunnya masyarakat tanpa kelas.

Bagi para seniman atau budayawan, kemerdekaan adalah kebebasan berimajinasi dan berkreasi. Bagi kaum spiritual, kemerdekaan adalah terbebasnya manusia dari segala bentuk nafsu atau keinginan duniawi. Sementara bagi para pendiri Republik, kemerdekaan adalah terbebasnya segala bangsa dari setiap bentuk penjajahan di atas muka bumi ini, tak terkecuali bangsa Indonesia.

Apa yang disebut penjajahan sendiri telah banyak mengalami bentuk dan derivasinya. Penjajahan bukan lagi hanya kolonialisme sebagaimana Belanda menjajah Nusantara dulu. Apa yang disebut penjajahan juga disebut dengan istilah imperialisme; istilah yang menjelaskan tentang penguasaan politik atau pemerintahan negara lain untuk memiliki pengaruh terhadap negara tersebut.

Baca juga : NasDem tanpa Syarat Dukung Anies di Pilgub Jakarta

Eksis lagi neokolonialisme. Istilah yang pertama kali diungkapkan oleh Kwame Nkrumah, presiden pertama Ghana, ini disebut sebagai bentuk penjajahan model baru. Ia merupakan bentuk penguasaan satu negara atas negara lain secara tidak langsung atau menggunakan soft approach. Modalisme adalah instrumen utamanya. Menduniaisasi adalah ruang besar kehidupannya. Dimensi operasinya mulai dari ekonomi, politik, hingga kebudayaan. Tujuan utamanya ialah kontrol atas suatu negara sehingga terpenuhi segala kebutuhan sumber daya.

 

Dialektika kemerdekaan

Baca juga : NasDem Soal Kaesang Maju Pilgub : Tak Masalah

Diproklamasikannya kemerdekaan 1945 oleh dwitunggal Soekarno-Hatta, yang secara heroik diperjuangkan oleh kaum pergerakan kala itu, merupakan manifestasi dari kesadaran melawan segala bentuk penjajahan tersebut. Lima tahun lamanya kemerdekaan itu dipertahankan oleh para patriot bangsa dari gugatan serta rongrongan Sekutu dan Belanda, baik itu lewat agresi militer maupun jalan diplomasi.

Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang melahirkan Republik Indonesia Perkumpulan (RIS) masih dipandang sebagai skema dan upaya Belanda mempertahankan cengkeramannya atas Tanah Air Indonesia. Kembali ke bentuk negara kesatuan sebagaimana diserukan oleh beberapa tokoh politik kala itu dipandang merupakan perwujudan dari semangat kemerdekaan yang lebih definitif.

Cek Artikel:  Mengapa Nama Ibu Tak Tertulis di Ijazah

Presiden keempat Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid, atau akrab disapa Gus Dur, pernah menelurkan tujuh butir makna kemerdekaan di Lembaga Demokrasi (Fordem) pada 8 Agustus 1991 silam, saat memperingati HUT ke-46 Republik Indonesia. Butir-butir yang memuat renungan filosofis sekaligus gugatan itu memuat uraian yang kiranya cukup relevan hingga kini.

Baca juga : NasDem Optimis Ikuti Jejak Kemenangan Pileg Pada Pilkada Sulsel

Butir pertama menyebutkan, kemerdekaan lebih merupakan proses perjuangan menentukan nasib sendiri daripada keadaan yang bebas dari segala soal, kesulitan, dan hambatan. Kedua, kemerdekaan adalah hak. Hak yang mendasar bagi setiap manusia. Karena itu, harus dijamin dalam hidup kemasyarakatan, terutama dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Ketiga, musuh kemerdekaan bukanlah kekuasaan masyarakat dan negara, melainkan kesewenang-wenangan (license) dalam menggunakan kekuasaan itu. Tergantung susunan dan penggunaannya, kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan bisa mempersempit dan memperbesar peluang bagi kemerdekaan.

Keempat, kemerdekaan mensyaratkan susunan serta penggunaan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan tertentu. Semakin terpusat kuasa itu di satu tangan, semakin tak berfungsi kemerdekaan sebagai kaidah hidup kemasyarakatan.

Baca juga : Ini Beberapa Nama yang Mungkin Diusung NasDem di Pilkada Jawa Barat

Kelima, kemerdekaan sulit bertahan bahkan dalam susunan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan yang terpusat di beberapa tangan. Beberapa tahun belakangan ini, kurang berfungsinya kemerdekaan makin disadari sebagai biang keladi berbagai kesulitan, seperti lambatnya laju produktivitas, mutu produk yang kurang memadai, daya cipta masyarakat dan daya kerja aparat kekuasaan yang rendah.

Keenam, kemerdekaan semakin berfungsi dalam susunan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan yang tersebar dengan maksimal. Karena itu, risiko ancaman kesewenang-wenangan memang sangat tinggi. Tapi ini mungkin bisa dicegah oleh jaminan persamaan hak bagi semua. Seluruh ini bukan barang jadi. Tetapi harus diramu, dipelihara, dan dikembangkan secara tekun terus-menerus.

Ketujuh, kemerdekaan paling mungkin berfungsi dalam suatu pengelolaan hidup masyarakat dan negara yang secara seimbang menghubungkannya dengan perasaan senasib sepenanggungan dan persamaan hak. Upaya yang tak habis-habis dalam memelihara keseimbangan ini bisa disebut demokrasi. Mencapai keseimbangan ini adalah tugas masyarakat dan bangsa Indonesia sejak sekarang.

Cek Artikel:  Meretas Kemiskinan NTT

Apa yang disampaikan Gus Dur di atas memuat refleksi atas relasi-relasi yang dipandang tidak selaras dengan spirit kemerdekaan. Cerminannya merentang dari masa Orde Baru di mana dirinya bersama Fordem tengah mencoba menjadi antitesis atas rezim represif di bawah kendali militer, hingga kekuasaan di masa Demokrasi Terpimpin dan masa kolonialisme Belanda. Maka tidak mengherankan jika pemaknaannya beraras pada kritik terhadap sentralisme dan kesewenang-wenangan kekuasaan. Inilah dialektika dari aspirasi mewujudkan kemerdekaan di masa Gus Dur dkk. Aspirasi yang bukan sekadar terbebas dari belenggu atau menentukan nasib sendiri, melainkan perjuangan membangun relasi antidominasi.

 

Antidominasi

Kemerdekaan bisa disebut sebagai antitesis dari adanya dominasi dalam sebuah relasi sosial. Bentuk dominasi itu bisa berada dalam wilayah politik, ekonomi, atau kebudayaan. Karena itu, narasi yang mengiringi kemerdekaan ialah keterbebasan atas dominasi tersebut sehingga lahir rasa aman, damai, serta hilangnya tekanan dan rasa takut dalam diri seseorang atau pihak tertentu.

Kolonialisme merupakan relasi yang menempatkan kaum pribumi sebagai subordinasi kaum penjajah, yang oleh karena itu digugat oleh kaum pergerakan. Di masa Demokrasi Terpimpin, lahir berbagai gugatan atas dominasi negara akibat sentralisme kekuasaan Presiden Soekarno. Di masa Orde Baru, marak perlawanan atas dominasi dan hegemoni kekuasaan otoriter di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Reformasi 1998 lahir dengan spirit perlawanan atas dominasi ini. Karena itu, gugatan utama dalam gerakan yang dipelopori oleh mahasiswa ini ialah suksesi kepemimpinan nasional. Seluruh hal di atas merupakan dialektika dalam sebuah relasi yang spiritnya ialah kemerdekaan.

Pascakolonialisme, sebagai bangsa, kita bisa menentukan nasib diri sendiri. Pascareformasi, sebagai warga, kita bisa menikmati alam kebebasan. Apabila menggunakan parameter yang disampaikan Gus Dur di atas, kini kekuasaan sudah tidak terpusat lagi. Kekuasaan telah terbagi ke beberapa segi yang diatur konstitusi. Pemisahan kekuasaan ala Montesquieu telah relatif terjalani. Pemilu langsung menjadi ruang sekaligus saluran bagi rakyat dalam menerjemahkan diri sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Penduduk negara sebagai subjek politik diberi kanal-kanal kebebasan dalam menyampaikan aspirasi.

Cek Artikel:  Mungkinkah BPJS Gratis

Meskipun demikian, kemerdekaan bukan sekadar kebebasan. Seperti disebut di atas, kemerdekaan adalah ruang di mana terbangun relasi sosial bercorak antidominasi yang puncak aspirasinya ialah terwujudnya kehidupan yang penuh keadilan. Di dalam proses perjuangannya selalu ada aspirasi kesetaraan di antara semua pihak, penghormatan satu sama lain, serta persamaan hak dan kewajiban di ruang yang sama.

Tujuh puluh sembilan tahun setelah Proklamasi 1945 dibacakan, 26 tahun setelah otoriterisme Orde Baru tumbang, sejumlah aspirasi kemerdekaan masih harus terus dikumandangkan. Diskriminasi masih kerap terjadi, baik di level mikro maupun makro kehidupan bernegara. Hukum masih tebang pilih. Politik lebih dekat dengan aspirasi mengamankan sumber pendapatan ketimbang membangun kebajikan bersama.

Ekonomi kita lebih semarak dengan narasi pertumbuhan sembari mengonsolidasi sumber kekayaan di segelintir orang, daripada membangun skema kesejahteraan bersama yang memberdayakan. Sementara itu, kekuasaan justru lebih sering menjadi alat dominasi dengan sekian derivasinya: opresi, persekusi, diskriminasi, intimidasi, kesewenang-wenangan, hingga korupsi, kolusi, dan kartelisasi demokrasi.

Karena itu, kemerdekaan harus menjadi aspirasi tiada henti. Sebagaimana para Pejuang ‘45 mempertahankan kemerdekaan dengan sekuat tenaga lewat pertempuran dan diplomasi; sebagaimana Bilangantan 66 menggugat sentralisme kekuasaan rezim Demokrasi Terpimpin yang penuh agitasi; dan sebagaimana Bilangantan 98 meruntuhkan hegemoni narasi dari rezim Pembangunan yang penuh manipulasi.

Toh, seperti disebut Dewa 19 dalam lagunya, ‘Hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti’, maka dibutuhkan kesadaran pada diri anak bangsa hari ini untuk membangun kembali dialektika kehidupan bernegara dengan spirit kemerdekaan. Kesadaran yang biasanya bersemayam dalam diri seorang aktivis pergerakan untuk terus membangun dunia yang beradab dan berkeadilan.

Karena, kemerdekaan bukan sekadar upacara apalagi perayaan yang berisi lomba-lomba. Karena, kemerdekaan butuh disangga dengan perjuangan dan dialektika. Karena, Herbert Marcuse pernah berujar, “Sejak kapan sejarah dibuat sesuai dengan standar etika?”

 

Mungkin Anda Menyukai