KESERUAN debat pertama calon presiden (capres) pada Pemilu 2024, Selasa (12/12) lalu, menyisakan cela karena ulah calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka. Gibran yang duduk di bangku pendukung kandidat idak mampu menahan emosi saat mendengarkan perdebatan antara Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
Ia berdiri lalu memprovokasi para pendukung pasangan calon nomor urut 2 dengan mengayun-ayunkan tangannya berulang kali. Ia mengajak hadirin untuk bersorak guna mendukung capresnya, sembari riuh memberikan tekanan psikologis pada lawan debat capres.
Gibran mungkin lupa atau pura-pura lupa kalau panggung debat bukanlah lapangan bola yang penontonnya bisa seenaknya berteriak, mengompori kawan atau lawannya dari pinggir lapangan. Ia mungkin tidak paham atau berlagak tidak paham bila pertandingan di arena debat sejatinya ialah pertandingan intelektual, bukan emosional. Pertarungan gagasan, bukan adu pacu gas-gasan.
Sesungguhnya, dalam sebuah perdebatan atau adu argumen, terbawa emosi merupakan hal yang wajar. Boleh saja emosi, sepanjang dia mampu mengontrol dan mengelolanya. Pengelolaan emosi itulah yang menjadi salah satu ukuran kematangan seseorang.
Dengan tindakannya itu, Gibran seperti sedang mengonfirmasi pandangan sinis sebagian masyarakat yang menyebut dia belum matang dan terlalu dipaksakan untuk maju menjadi salah satu kontestan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Kalaupun secara kecerdasan intelektual dia dianggap (diklaim) sudah siap, tidak begitu dengan kecerdasan emosionalnya. Malam itu, nyata-nyata terlihat Gibran belum siap secara emosi. Dia mungkin tidak sadar perilakunya tidak saja menyepelekan kewibawaan debat, tapi juga sejatinya merusak wibawanya sendiri sebagai cawapres.
Lantas, apakah lantaran dia masih muda, aksi provokatif itu bisa dimaklumi? Mestinya tidak. Konkretnya, banyak di luar sana anak-anak milenial yang mungkin usianya lebih muda daripada Gibran, lebih mampu mengontrol dan mengelola emosi saat berdebat.
Karena itu, kiranya sudah tepat KPU memberikan peringatan atau teguran kepada Gibran atas perilakunya di pinggir panggung debat itu. Peringatan bukan hanya penting sebagai evaluasi agar dalam pelaksanaan debat-debat berikutnya pelanggaran semacam itu bisa dinihilkan. Lebih dari itu, peringatan mesti diberikan untuk memberi pelajaran kepada siapa pun yang melakukan aksi tidak terpuji di forum debat.
Debat capres-cawapres merupakan forum terhormat yang mesti dijaga kewibawaannya karena di forum itulah publik bisa menguji dan menilai integritas, kapabilitas, kualitas, baik intelektual maupun emosional, calon-calon pemimpinnya. Jangan sampai publik malah jadi skeptis memandang debat gara-gara ulah salah satu kandidat yang mengedepankan emosi sesaat.