Pemilu Minus Eksisb

SOAL pengalaman menghelat pemilihan umum, Republik ini boleh dibilang sudah cukup matang. Sudah belasan kali pesta demokrasi itu digelar sehingga semestinya dari edisi ke edisi menjadi lebih baik, lebih berkualitas, lebih beradab. Bukankah nenek moyang kita membuat pepatah pengalaman adalah guru terbaik?

Dalam sejarahnya, pemilu di negeri ini telah berlangsung 12 kali dengan beda situasi dan kondisi, lain suasana dan semangatnya. Di era Orde Pelan, yakni Pemilu 1955, suasana demokratis kental terasa.

Hajatan elektoral pertama sejak Indonesia merdeka itu bahkan disebut sebagai pemilu paling demokratis. Sebanyak 36 partai politik, organisasi masyarakat, dan perorangan menjadi partisipan untuk memperebutkan 257 kursi DPR dan 514 kursi konstituante. Yang menarik dari Pemilu 1955 ialah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Ia berlangsung bebas, jujur, tanpa tekanan, apalagi paksaan.

Setelah cuma satu episode berjalan, pemilu sebagai perwujudan demokrasi memburuk pada zaman Orde Baru. Awalnya, sih, Pemilu 1971 masih terbilang demokratis dengan diikuti 10 partai politik dan ormas.

Setelah itu, masa kelam menjelang. Partai politik diperas hanya menjadi tiga, yakni Golkar, PDI, dan PPP. Faktanya, dari 1971 hingga 1997, pemilu tak lebih sekadar formalitas untuk mengukuhkan kekuasaan. Asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, alias luber jurdil, cuma manis di bibir. Di lapangan rakyat jauh dari kebebasan dalam menjatuhkan pilihan.

Cek Artikel:  Rekanan Politik Hakim Konstitusi

Episode pun berganti di Orde Reformasi. Di era ini, di Pemilu 1999 hingga 2019, asas luber jurdil mendapatkan tempat lebih terhormat. Memang masih ada kelemahan, tetapi daulat rakyat lebih dimuliakan. Di era reformasi pula, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dilakukan.

Dengan segudang pengalaman itu, pemilu kali ini semestinya berlangsung lebih baik. Akan tetapi, tanda-tanda kebalikan justru amat terlihat. Eksis kekhawatiran luar biasa, Pemilu 2024 justru lebih buruk, lebih tidak bermutu. Kekhawatiran dan keyakinan yang sah-sah saja karena tanda-tandanya kian terasa, semakin nyata.

Pemilu yang baik, yang beradab, pasti berlangsung menyenangkan. Di setiap pesta, termasuk pesta demokrasi tentu saja, yang ada suasana riang gembira, penuh sukacita. Sebaliknya, pemilu yang buruk, yang tidak beradab, bergulir dalam situasi mencekam, waswas, sarat dengan tebaran ketakutan. Kalau itu terjadi, berarti ada yang salah dalam sistem dan demokrasi.

Sayang, kiranya memang ada yang keliru di pemilu kali ini. Pemilu dikatakan beradab jika semua tahapan dari hulu sampai hilir, dari awal hingga akhir, berlangsung di atas rel keadaban, bertopang prinsip keelokan, berfondasikan aturan.

Cek Artikel:  Menyehatkan Jantung Demokrasi

Pemilu disebut berkualitas jika semua pihak baik peserta, penyelenggara, maupun pemerintah meninggikan etika dan mematuhi semua regulasi yang ada. Faktanya, keadaban dan etika justru direndahkan. Realitasnya, ia malah dirusak, diacak-acak, oleh mereka yang didukung penguasa.

Putusan Mahkamah Konstitusi membuat norma baru ihwal syarat usia capres-cawapres minimal 40 tahun dengan menambah kata-kata atau yang sudah berpengalaman sebagai kepala daerah ialah fakta telanjang aturan seenaknya dipermaikan, etika dimatikan. Anak kecil saja tahu, putusan itu ialah karpet merah buat Gibran, anak Presiden Jokowi untuk maju.

Tak ada yang kebetulan dalam putusan MK itu. Vonis Dewan Kehormatan MK bahwa paman Gibran, Anwar Usman, melanggar etika berat lalu diberhentikan dari jabatan Ketua MK ialah bukti sahih. Itulah cacat sejarah demokrasi negeri ini sampai kapan pun.

Pemilik akal sehat kiranya juga paham, putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu bahwa komisioner KPU melakukan pelanggaran ihwal penerimaan pendaftaran Gibran sebagai cawapres selepas putusan MK kian menebalkan kecurangan dan pelanggaran. Pencawapresan Gibran semakin pekat dengan noda perusakan etika.

Belum lagi beragam kecurangan dan pelanggaran lainnya. Personifikasi dan politisasi bansos, cawe-cawe penguasa yang semestinya pantang cawe-cawe, ketidaknetralan aparat yang seharusnya netral, dan intimidasi aparat yang selayaknya mengayomi membuat kebrutalan pemilu makin menjadi.

Cek Artikel:  Harga Kejujuran

Wajar Wapres Ke-10 dan Ke-12 RI Jusuf Kalla menyebut Pemilu 2024 yang terburuk. Wajar Romo Magnis merasa ada kemungkinan masa demokrasi, masa reformasi, akan berakhir. Juga wajar para guru besar dan sivitas akademika lainnya bergerak. Saya hakulyakin mereka melawan karena tanggung jawab moral, bukan sebab elektoral, bukan lantaran partisan seperti yang dituduhkan para penikmat kekuasaan.

Ketika di Orde Baru pemilu buruk, nirkualitas, kita bisa bilang hal itu salah tapi lumrah karena terselenggara di zaman otoritarian. Tetapi, ketika pemilu buruk, bermutu rendah, minus adab itu terjadi di masa reformasi, di era kebebasan, sial betul kiranya bangsa ini.

Pemilu seharusnya menjadi instrumen terbaik untuk distribusi jabatan, sirkulasi kekuasaan. Kata Gus Dur, ”Tak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian.”

Celakanya, di Pemilu 2024, ada nafsu besar, syahwat berlipat, untuk mengabadikan jabatan dan kekuasaan. Haruskah rakyat diam? Harus tegas dikatakan, tidak. Langkahnya? Sederhana, cerdaslah memilih di bilik suara.

Mungkin Anda Menyukai