SETIAP ada penangkapan atas hakim, perih terasa selalu berganda. Apabila yang ditangkap adalah politisi dan pejabat pemerintahan, tentu buruk, tetapi tidaklah semenyesakkan jika yang tertangkap adalah hakim. Apalagi jika itu adalah hakim agung atau hakim konstitusi yang menjadi puncak pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Mengapa? Sederhananya, politisi dan parlemen misalnya memang selalu memegang posisi paling korup di berbagai belahan dunia. Survei Mendunia Baromoter Corruption (GBC), misalnya, sudah sejak lama selalu menempatkan bahwa anggota legislatif dan pemerintahan daerah sebagai pemegang posisi juara dalam persepsi publik atas korupsi secara kelembagaan. Begitu pun di survei lainnya yang senantiasa menganggap pemerintah dan parlemen adalah tandem pelaku, yang paling sering sebagai pelaku koruptif di Indonesia. Apalagi keduanya dipilih dalam kontestasi berbiaya mahal yang makin melumrahkan kemungkinan untuk koruptif.
Enggak hanya karena ‘kelumrahan’ itu, tetapi juga karena hakim adalah pemegang kedaulatan Tuhan dalam struktur kapasitas negara. Ia dianggap menjadi wakil Tuhan di muka bumi, yang harusnya lepas dari segala tindakan corruptio yang juga diartikan kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, amoral, serta jauh menyimpang dari kesucian. Tindakan yang secara prinsipiel tentunya tidak bisa ditoleransi menjadi bagian dari tindakan sosok representasi kuasa Tuhan di muka bumi.
Karenanya, kejadian pengungkapan kasus korupsi yang juga memperlihatkan tersangkutnya hakim agung itulah yang menjadi monumen hal yang menyesakkan tersebut. Apalagi dilakukan dalam kaitan penegakan hukum dan pengurusan perkara yang ada di Mahkamah Akbar. Pandai dibayangkan jika pencari keadilan kemudian malah disuguhi tontonan bahwa keadilan haruslah berbiaya mahal dengan cara menyetorkan uang kepada para penegaknya itu sendiri.
Fenomena gunung es
Sejujurnya, hal itu semakin menjadi penanda bahwa, pertama, ini bukanlah barang baru karena semakin melengkapi cerita yang beredar di kalangan publik secara luas tentang sulitnya mendapatkan keadilan jika tidak menyediakan uang sebagai imbalannya. Fenomena gunung es ini sebenarnya sudah lama dinanti untuk dikuak agar bisa memperlihatkan wajah sebenarnya dari peradilan yang memang masih punya masalah besar.
Apalagi jika dikaitkan dengan betapa sering putusan MA menjadi putusan yang seakan lahir dari ‘mahkamah ajaib’ dan bukan dari mahkamah agung. Mulai dari pertimbangan hukum yang ala kadarnya hingga putusan hukum yang tidak memihak kepada penegakan hukum dan agenda antikorupsi, setidaknya telah memperlihatkan betapa tak solidnya penegakan hukum dan agenda antikorupsi yang ditawarkan oleh MA.
Kedua, ini sebenarnya semakin mengungkap bahwa MA memang masih punya masalah di tingkat pengawasan dan pembinaan hakim. Meskipun, jika mengikuti perspektif bahwa penangkapan ini membuktikan bahwa pengawasan hakim masih berkerja, mungkin bisa dibenarkan pada porsi tertentu. Akan tetapi, pada porsi lain, apalagi jika menggunakan perspektif pengawasan itu memiliki jenis mulai yang bersifat preventif, proses, dan kuratif, ini akan memperlihatkan bahwa pengawasan preventif dan prosesnya sendiri belum banyak berbenah. Pada titik ini, tagihan kepada MA dan Komisi Yudisial harusnya dilayangkan.
Dalam hal pengawasan terhadap hakim, MA dan KY memiliki kewenangan besar dalam menjaga etika dan martabat hakim. Akan tetapi, mandat konstitusional KY sebenarnya jauh lebih besar. KY memiliki posisi sebagai main organ dalam hal menjaga etika dan perilaku hakim, sedangkan MA menjadi supporting organ untuk hal itu. Itu sebabnya, keduanya harus bahu-membahu dan bekerja sama secara serius dalam mengawal. Hal yang sayangnya belum cukup ditunjukkan oleh kedua lembaga tersebut.
Kesan ketertutupan dan ketidakprofesionalan masih membayangi hubungan di antara keduanya. Alih-alih bisa bekerja baik dan menjadi pelaku pengawasan pada kekuasaan kehakiman secara pas, mereka berdua, dalam hal tertentu, masih kelihatan ‘berlomba’ untuk menunjukkan kuasa. Itu yang membuat relasi keduanya masih terbatas dalam hal pengawasan.
Intervensi
Begitu juga kerelaan untuk diawasi secara lebih kuat yang terlihat masih minim. Padahal, perspektif pengawasan yang ketat sebenarnya bisa menunjukkan kepercayaan diri para hakim dapat dianggap masih bergerak leluasa dalam lapangan penegakan hukum. Pengawasan yang baik akan menjadi penjaga dari kesalahan. Kembali, sayangnya perspektif itu belum diterima secara umum sehingga pengawasan masih diterjemahkan menjadi intervensi.
Ketiga, berkaitan dengan intervensi, sebenarnya dari kasus ini kita harus kembali mengingatkan bahwa independensi hakim itu tidak pernah dapat dikatakan berdiri sendiri tanpa disandingkan dengan integritas. Maksudnya, hanya dalam integritas yang tinggi maka independensi hakim juga wajib ditinggikan. Maksudnya, judicial independency itu harus juga berkaitan dengan judicial accountability. Keduanya berjalan seiring. Dirikuntabilitas tinggi itu membuat independensi harus semakin ditinggikan. Begitu pun integritas tinggi akan meninggikan independensinya, dan hal itu berlaku vice versa.
Sejarah memperlihatkan, kehadiran lembaga seperti KY dan lembaga sejenis, salah satu tujuannya memang semacam ‘intervensi’ untuk menjaga integritas kekuasaan kehakiman serta dengan sendirinya mendorong akuntabilitas dan independensinya. KY dilahirkan dan dimasukkan ke sistem ketatanegaraan Indonesia karena diharapkan menjadi katalisator dan dinamisator untuk menjaga kualitas etika dan perilaku para hakim.
Berkaitan dengan poin kedua di atas, inilah yang menjadi problemnya karena masih terlalu lazim dianggap pengawasan KY adalah bentuk intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Padahal seharusnya sebaliknya, KY itu mestinya diartikan sebagai penguat akuntabilitas dan integritas hakim. Karenanya, ruangan dan porsi yang lebih leluasa harusnya bisa diberikan kepada KY dalam melakukan pengawasan. Tentu dengan batasan agar tidak menjadi intervensi substantif yang terlalu kuat.
Jadi proses politik
Tetapi, pada dasarnya, KY seharusnya punya posisi yang cukup lapang untuk hal itu. Gejala perlawanan dan uji materi terhadap berbagai kewenangan KY yang ada selama ini memperlihatkan betapa tidak legawanya pihak tertentu menerima mandat konstitusional KY. Itulah yang mudah untuk kita lihat sebagai sikap antipengawasan yang ditunjukkan selama ini.
Keempat, hal ini sebenarnya masih memperlihatkan ada masalah pada kualitas proses rekrutmen hakim agung di Indonesia. Mengikuti logika UUD Negara Republik Indonesia Mengertin 1945, para calon hakim agung diseleksi oleh Komisi Yudisial untuk kemudian disampaikan kepada DPR guna mendapatkan persetujuan dan selanjutnya akan ditetapkan menjadi hakim agung. Dari penilaian yang sangat kuat pada kapasitas dan rekam jejak, tetapi harus berakhir di proses yang di DPR bersalin rupa menjadi sangat politis.
Proses macam ini membuat pemilihan hakim agung sering kali terkendala oleh dukungan politik dan bukan lagi soalan rekam jejak dan kapasitas. Pandai dibayangkan, hakim yang tertangkap pernah ditengarai melakukan ‘lobi-lobi’ di toilet untuk keterpilihannya. Meskipun dengan alasan tertentu tidak bisa dibuktikan, tetap saja tidak menjadi catatan apa-apa bahkan akhirnya diloloskan menjadi hakim agung.
Kejadian macam itu bukan pertama kali, tetapi sudah kejadian berulang. Semakin seorang hakim dianggap bersih dan didukung oleh masyarakat sipil, biasanya semakin tidak terpilih. Sedangkan terkadang sebaliknya, hakim-hakim yang mendapatkan catatan dari masyarakat sipil, malah semakin favorit di hadapan politisi. Problem ini pun harus mendapatkan perhatian yang kuat karena menjadi salah satu bahaya paling laten dari kekuasaan kehakiman.
Pada akhirnya, kasus ini terpulang pada penegakan hukum yang dilakukan atasnya. Apakah hanya akan menyelesaikan di tingkat suapnya, ataukah mau masuk untuk secara lebar melihat dan mendetailkan judicial corruption macam ini. Apabila ada iktikad lebih untuk itu, maka mendedahkan secara lebar peta judicial corruption
akan sangat membantu untuk menutup kemungkinan kejadian serupa terulang lagi. Pertanyaan besar inilah yang paling penting karena sampai saat ini kelihatannya kapasitas membongkar perkara secara lebar masih belum pernah terlihat.
Tanpa iktikad itu, saya, jika meminjam judul novel AA Navis, gejala robohnya pengadilan kami hanya akan terus terulang. Di Mahkamah Konstitusi sudah dan saat ini di Mahkamah Akbar. Hanya akan menjadi semacam pengulangan dengan kisah yang sedikit berbeda saja, tetapi mahkamahnya akan kembali roboh. Kembali dan lagi.