Narasi Bengkok Penghapusan Bansos

DALAM melakukan perburuan elektoral, siapa pun mestinya pantang menghalalkan segala cara, termasuk menyebarkan informasi yang sesat dan menyesatkan. Aturan main seperti itulah yang harus dipegang teguh ketika para calon yang bersaing di Pilpres maupun Pemilu Legislatif 2024 hendak meraih sebanyak-banyaknya suara rakyat. Apalagi, kalau objek yang berusaha disesatkan ialah informasi soal bantuan sosial (bansos), maka semua pihak mestinya taat azas.

Wajib diingat bansos bukanlah monopoli salah satu calon maupun penguasa yang diidentikkan di kubu paslon tertentu. Sejatinya bansos ialah mekanisme negara yang jelas diatur dalam undang undang. Pada akhirnya, siapa pun calon yang memimpin nanti, tidak berkonsekuensi pada ada atau tidaknya bansos. Sebagai amanat undang-undang, siapa pun pemenang pilpres harus tunduk dan patuh untuk tetap menyalurkan bansos, khususnya dalam situasi darurat.

Cek Artikel:  Sidang Etik Bangunkan KPK

Bila merujuk pada dasar aturannya, bansos diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Mengertin 2009 tentang Pelayanan Publik. Landasan hukum lainnya ialah Undang-Undang Nomor 13 Mengertin 2011 tentang 
Penanganan Fakir Miskin.  Terdapat juga UU Nomor 14 Mengertin 2019 tentang Pekerja Sosial. Menurut undang-undang tersebut, bantuan sosial merupakan bantuan berupa uang, barang, atau jasa kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat miskin, tidak mampu, dan/atau rentan terhadap risiko sosial. 

Dengan demikian, aneh kiranya kalau ada pihak-pihak yang merasa bansos ialah hasil karya mereka sendiri. Apalagi, sampai menakut-nakuti bila paslon tertentu dan parpol pendukung paslon itu menang, maka bansos menjadi hilang. Sebaliknya, bila paslon mereka dan partai mereka yang menang, bansos jalan terus. Sungguh sebuah cara yang tidak elok, jauh dari kesan elegan, apalagi disebarkan dengan sadar. 

Cek Artikel:  Wafatkan Judi Online

Bagi pihak-pihak yang menyebarkan kebohongan soal penghapusan bansos justru patut dipertanyakan. Tetap relevankah menggunakan kampanye hitam untuk mengalahkan lawan? Harus kita katakan bahwa cara-cara kotor seperti itu hanya merugikan proses demokrasi dan kepercayaan masyarakat. Publik akan menjadi apatis untuk berpartisipasi dalam proses pemilu. 

Padahal, publik sejatinya subjek dalam demokrasi yang harus diedukasi sekaligus diperjuangkan hak-hak mereka, bukan malah ditakut-takuti. Ketika publik apatis, yang terancam ialah kelangsungan demokrasi. Maka apa yang kini bengkok haruslah diluruskan dan disuarakan, yakni bansos tidak akan dihapuskan, selama masih ada kaum miskin dan kelompok rentan yang terkena dampak bencana, perubahan iklim, atau inflasi yang amat tinggi.

Cek Artikel:  Berebut Bunyi Kaum Nahdiyin

Publik juga mesti berani menyuarakan kritik atas masih banyak kekurangan pelaksanaan bansos. Agar manfaat bansos kian maksimal dan tepat sasaran, publik mesti berani menyuarakan ketidakberesan di lapangan. Bila muncul narasi bengkok soal bansos, rakyat mestinya tidak ragu-ragu untuk melawannya. Bansos mestinya menjadi alat distribusi keadilan ekonomi, bukan instrumen pendulang elektoral.

Mungkin Anda Menyukai