Labirin Penghapusan Miskin Ekstrem

MASYARAKAT miskin ekstrem lagi-lagi harus bersabar dan mengelus dada. Sudah hidup serbasusah, mereka juga masih kerap menelan janji panjang nyaris tidak bertepi.

Tekad Presiden Joko Widodo untuk menghapuskan kemiskinan ekstrem tahun depan, di akhir pemerintahannya, kembali terancam gagal. Tekad yang diungkapkan pada 4 Maret 2020 itu berpotensi menjadi janji yang tinggal janji karena ruwetnya penanganan kemiskinan, termasuk belum beresnya data dan ukuran kemiskinan.

Presiden Jokowi telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Mengertin 2022 dalam upaya penghapusan kemiskinan ekstrem itu. Inpres yang diteken pada 8 Juni 2022 dan berlaku sampai 31 Desember 2024 tersebut melibatkan lebih dari separuh anggota Kabinet Indonesia Maju dan seluruh kepala daerah. Sasaran itu lebih cepat enam tahun daripada target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Di atas kertas, upaya tersebut telah membuahkan hasil. Berdasarkan data BPS, jumlah kemiskinan ekstrem di Indonesia mencapai 1,12% atau 3,1 juta orang per Maret 2023. Nomor itu turun jika dibandingkan dengan kondisi pada Maret 2022, yang mencapai 2,04% atau 5,59 juta orang.

Cek Artikel:  Jalan Konstitusional Bongkar Kecurangan

Sementara itu, secara nasional jumlah kemiskinan per Maret 2023 masih di angka 9,36%. Padahal, jumlah orang miskin ditargetkan menjadi tinggal 6,5% dari populasi, atau paling apes 7,5% sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Itu artinya, tenggat tinggal satu tahun.

Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Suprayoga Hadi memperkirakan, kemiskinan ekstrem pada 2024 akan menjadi antara 0,5% untuk perhitungan optimistis dan 0,7% yang realistis. Suprayoga menyebutkan, untuk mencapai angka 0% tahun depan, jelas mustahil. Kalaupun target dari pemerintah tercapai, masyarakat yang hidup dalam kemiskinan ekstrem akan tetap ada di negeri ini.

Suprayoga pun mengungkapkan persoalan ketiadaan data tunggal untuk program penanganan kemiskinan menjadi sebabnya. Akibatnya, program bantuan sosial alias bansos yang digulirkan pemerintah sering kali tidak tepat sasaran. Itu sebabnya, Komisi Pemberantasan Korupsi masih saja mendapati temuan korupsi di sejumlah pemberian bansos.

Belum lagi perbedaan ukuran kemiskinan antara yang digunakan pemerintah dan Bank Dunia. Pemerintah menerjemahkan kemiskinan ekstrem masih dengan angka lama, yakni mereka yang hidup di bawah ukuran kemampuan daya beli (purchasing power parity/PPP) sebesar US$1,9 atau Rp29.461 per hari. Padahal, Bank Dunia telah mengubah ambang batas tersebut menjadi US$2,15 atau Rp32 ribu per hari. Dengan ambang batas itu, jumlah warga miskin ekstrem akan kembali membengkak di kisaran 2%.

Cek Artikel:  Aroma Cawe-Cawe di Balik Percepatan Pilkada

Apalagi kalau mengacu pada standar PPP dari Bank Dunia sebelumnya, yakni US$3 atau sekitar Rp46 ribu per hari. Bila menggunakan standar tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat mengungkapkan, 40% masyarakat di Indonesia akan masuk kategori miskin ekstrem.

Pemerintah boleh merasa beruntung karena ketentuan ambang batas itu bukan acuan tunggal. Makanya pemerintah masih berkukuh menggunakan standar lama itu.

Akan tetapi, tidak ada sama sekali keuntungan yang diraih masyarakat yang hidup miskin ekstrem. Masyarakat, lagi-lagi, sekadar menjadi objek dari janji pemimpin.

Penghapusan kemiskinan ekstrem seakan sekadar menjadi program pencitraan agar pemerintah saat ini memiliki legasi positif. Warisan itu ialah klaim bahwa rezim ini telah berhasil menihilkan kemiskinan ekstrem bahkan mendekati 0%. Padahal, capaian tersebut sebenarnya menggunakan standar minimalis juga yang tidak sesuai dengan Bank Dunia.

Cek Artikel:  Gusur Paksa di Ibu Kota Nusantara

Pernyataan seorang pemimpin adalah sebuah harapan bagi publik. Bukan kali ini saja, pernyataan atau janji Jokowi meleset. Janji pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% dalam kurun waktu 10 tahun pemerintahannya, misalnya, pasti jauh panggang dari api. Berjanji 7%, tapi hanya terealisasi 5%.

Janji memangkas ketimpangan melalui indeks rasio Gini di angka 0,30 pada 2019 juga meleset. Bahkan hingga kini rasio Gini kita masih di angka 0,388. Dengan kian susahnya menghilangkan kemiskinan ekstrem yang diibaratkan keraknya kemiskinan, kian bertambahlah jurus lempar handuk dalam melunasi janji-janji.

Bukan perkara mudah menghapuskan kemiskinan ekstrem di Republik ini. Tetapi, bila masalah utamanya itu-itu saja, yakni tidak ada patokan dan data tunggal yang jelas, maka ia serupa siput yang bergerak amat pelan di dalam labirin. Padahal, rakyat miskin ekstrem tidak bisa lagi menunggu. Mereka tidak sanggup lagi mengganjal perut dengan makanan janji-janji.

Mungkin Anda Menyukai