Petaka Meremehkan Etika

PELANGGARAN etika yang terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Oktober lalu mestinya menjadi pelajaran mahal bagi bangsa ini. Pelanggaran yang terbukti dilakukan oleh Ketua MK pada saat itu, Anwar Usman, tidak semata mencoreng integritas lembaga, tetapi juga mewariskan kegamangan konstitusi.

Tetapi, ironisnya, pelajaran itu tidak dianggap genting oleh sejumlah kalangan. Dalam Rakernas Partai Gerindra yang berlangsung Jumat, 15 Desember 2023, Prabowo menyinggung pertanyaan terkait pelanggaraan etik MK, yang diajukan calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan pada debat capres, 12 Desember lalu. Dalam rakernas, Prabowo mengumpat pertanyaan itu dalam bahasa Jawa.

Meski berdalih candaan di tengah ‘keluarga besar’ Gerindra, sikap Prabowo sangat mengkhawatirkan. Ini bukan sekadar tentang kesantunan bahasa ataupun sikap melecehkan calon presiden lain. Paling krusial ialah tentang prinsip soal penegakan etika oleh lembaga dan pejabat negara.

Cek Artikel:  Terobosan agar Lenggang Ikat Pinggang

Argumen Prabowo bahwa hukum ialah yang terpenting, ialah tanda bahwa ia tidak menganggap setara antara hukum dan etika. Padahal, kebijaksanaan seorang pemimpin justru hanya bisa lahir jika menjunjung sama tinggi antara hukum dan etika. Meremehkan salah satunya akan melahirkan pemimpin permisif, koruptif, atau bahkan lebih buruk lagi menjadi diktator.

Maka tidak heran jika banyak yang mengingatkan agar para calon pemimpin tidak meremehkan soal etika. Mereka menekankan kedua hal itu, yakni hukum dan etika, sama penting agar menjadi pemimpin yang objektif.

Sesungguhnya, posisi hukum dan etika yang sama penting bukanlah pemahaman sulit. Orang memang telah mengenal etika sejak kecil, baik dari nilai-nilai agama maupun nilai budaya.

Cek Artikel:  Jalan Panjang Beleid Bedinde

Para guru besar, baik ilmu hukum maupun filsafat, menyatakan bahwa etika ialah sistem yang pertama-tama menghasilkan keteraturan, sebelum adanya hukum. Sejarah pun menulis bahwa etika yang kemudian dikaji secara ilmiah dan dirumuskan itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya hukum, kode etik, dan berbagai bentuk aturan lainnya.

Bahkan begitu pentingnya konsep etika, pada 1996 lalu, Sidang Standar PBB merekomendasikan agar semua negara anggota membangun kode etik dan lembaga penegak kode etik di setiap lembaga publik mereka. Tak heran pula jika di negara-negara maju, komisi-komisi etik menjadi bagian tidak terpisahkan dari lembaga-lembaga publik dan profesi. Alasan, kode etiklah yang pertama-tama menjadi rambu ketika ketentuan hukum yang spesifik belum ada.

Cek Artikel:  Silaturahim tanpa Bagi-Bagi Kekuasaan

Pelanggaran etik yang memang sudah jelas terbukti dan diputus oleh Mahkamah Kehormatan MK, harus dipandang serius. Perbaikan MK dan, lebih jauh lagi, perbaikan terhadap penegakan konstitusi hanya bisa terjadi jika semua pihak menjunjung tinggi hukum dan etika.

Masyarakat pun mestinya menuntut keseriusan para calon pemimpin di Republik ini dalam menjunjung tinggi hukum dan etika. Kita memang tidak naif jika ada pihak yang diuntungkan atas putusan yang melanggar etik. Tetapi, tidak sepantasnya menjadikan produk pelanggaran etik itu sebagai hal biasa, tidak apa-apa, bahkan menjadikannya di bawah ketiak hukum dan tujuan politik kekuasaan.

Mungkin Anda Menyukai