Menuju Kualitas Demokrasi yang Lebih Tinggi

Menuju Kualitas Demokrasi yang Lebih Tinggi
Ilustrasi MI(MI/Tiyok)

TAHUN depan Indonesia telah memasuki 25 tahun reformasi, sudah hampir seperempat abad bangsa kita telah keluar dari zaman ketertutupan politik, dari kepengapan rezim Soeharto dan menjalani jembatan demokrasi. Banyak capaian politik kelembagaan yang telah diraih, tetapi juga tidak sedikit persoalan politik yang masih kita hadapi.

Demokrasi sendiri, seperti yang banyak diuraikan sarjana politik, ialah jalan yang tidak memberikan kepastian akan masa depan. Di dalamnya ada dua arah jalan yang bermuara pada ketentuan yang berseberangan. Apabila bangunan demokrasi disusun batu bata politik kewargaan yang kukuh dan direkatkan etika politik beradab, demokrasi akan menghasilkan tatanan sosial beradab yang melapangkan jalan menuju kebahagiaan hidup warganya.

Sebaliknya, pada jalan yang kedua, saat demokrasi hanya menjadi alat untuk mempertahankan kemakmuran segelintir elite dengan mengakumulasi kekuasaan tanpa etika yang beradab dan politik kewargaan serta meruncingkan perbedaan sampai pada taraf ekstrem, demokrasi menghasilkan ratap tangis dan kebencian bagi warganya.

Hikmah kehidupan kerap kali lahir dari hal-hal yang kita anggap sepele. Literasi politik kadang bisa lahir dari hasil-hasil kebudayaan populer seperti film science fiction. Dalam film Spider-Man kreasi Marvel ada dialog cerdas yang diutarakan Om Ben kepada Peter Parker sang Spider-Man, ketika diketahui bahwa sang keponakan dapat menjelma menjadi manusia berkekuatan super, Om Ben menasihatinya dengan kalimat pendek, ”With great power comes great responsibility (Dengan kekuatan yang besar, muncul tanggung jawab yang besar).”

Kalimat itu sebetulnya bersumber dari ujaran pujangga Romawi Marcus Tulius Cicero, yang terkenal dengan nama panggilan Cicero, saat menjelaskan etika politik kepada kalangan elite bahwa kekuasaan tidak dapat dengan mudah dinikmati hanya semata-mata karena keistimewaan yang hadir darinya, tetapi bagi kalangan elite politik kekuasaan adalah ujian kebajikan (virtue) yang tumbuh dari kesadaran pertanggungjawaban etis saat menggunakannya. Dengan itu, para elite akan menjalani takdir mereka, baik dalam kemuliaan saat menggenggam kekuasaan maupun saat mereka jatuh.

 

Masyarakat madani

Kesadaran di kalangan politikus akan pertanggungjawaban etis saat menggenggam bara api kekuasaan tentu bukan proses instan yang mudah. Kesadaran bahwa semakin tinggi kekuasaan maka semakin tinggi pula pertanggungjawaban etis politik ialah proses panjang dari edukasi politik berkeadaban. Mendiang intelektual Islam Nurcholish Madjid pada awal reformasi tidak bosan mengingatkan kepada kita bahwa demokrasi Indonesia harus dibangun dengan orientasi tujuan membangun masyarakat madani.

Masyarakat demikian di dalamnya berjalan kontestasi politik demokrasi dan pergiliran kekuasaan, yang direkatkan budaya tinggi, budaya yang menghormati supremasi hukum, kontrol dan keseimbangan kekuasaan, serta semangat inklusivitas bahwa perbedaan ialah rahmat, dengan kesadaran membangun harmoni tetap harus hadir dalam momen politik pertandingan.

Krusialnya etika politik yang tinggi dan kebudayaan beradab yang muncul dari kualitas masyarakat madani sepertinya saat ini perlu kita renungkan kembali menuju tahun penentuan politik, 2024, ketika rakyat memilih presiden Indonesia pada 2024. Keadaban masyarakat madani dalam demokrasi kita menjadi lebih relevan dihadirkan kembali saat ini, daripada saat Cak Nur mengungkapkan pertama kalinya pada 1999, di awal gemuruh euforia reformasi.

Cek Artikel:  Mengapa Harus Publisher Rights

Mengapa pandangan tersebut menjadi relevan ditegaskan kembali saat ini? Seperti diutarakan Ketua Lazim Partai NasDem Surya Paloh dalam puncak perayaan ulang tahun ke-11 partai tersebut pada Jumat (11/11), beliau menyatakan keresahan atas dinamika politik akhir-akhir ini. Ketika bangsa ini membutuhkan kebersamaan kewargaan, tetapi dalam realitasnya momen pertandingan politik sedikit membuat lupa para elite dalam masyarakat politik kita tentang pentingnya harmoni dalam kontestasi.

Berbagai sebutan dalam membingkai yang berbeda dengan kita, seperti istilah cebong, kampret, dan kadal gurun yang terus bertahan lebih dari lima tahun, dan dirawat kelompok-kelompok yang saling berkontes ialah indikasi dari hal tersebut. Kalau kita berpikir secara jernih, semua hal itu ialah efek dari terawatnya antagonisme politik identitas dalam rumah politik kebangsaan kita.

 

Antagonisme identitas

Problem politik Indonesia akhir-akhir ini dilihat dari sudut pandang etika politik bukanlah semata-mata hadirnya politik identitas, tapi yang perlu diberi garis bawah secara terang ialah corak antagonisme dalam politik identitas. Mahluk hidup dalam ranah sosial, hadir dengan keanekaragaman identitas dalam dirinya. Mahluk hadir dengan identitas agama, identitas etnik, identitas gender, identitas ras, identitas orientasi seksual, identitas keminatan pada olahraga, musik, dan lain sebagainya. Politik identitas hadir dalam konteks terkait dengan kesadaran dari tiap-tiap orang dalam komunitas mereka yang melihat pada dimensi mana identitas mereka perlu diperjuangkan secara politik, yang akan berbuah pada kebijakan.

Demi orang-orang kulit hitam di Amerika merasa mendapatkan perlakuan rasial dalam masyarakat Amerika Perkumpulan, misalnya, berbagai artikulasi identitas masuk perjuangan politik memperjuangkan hak-hak mereka. Kalangan kulit hitam Kristen di Amerika Perkumpulan membela perjuangan melawan rasialisme di bawah pimpinan Pendeta Martin Luther King Jr, sementara kalangan muslim kulit hitam Amerika Perkumpulan membela diskriminasi sosial atas ras mereka di bawah pimpinan Malcolm X. Keduanya mengartikulasikan pembelaan politik identitas, tetapi kedua perjuangan tersebut menyandarkan perjuangannya dalam semangat demokrasi keadaban dan ikatan kewargaan.

Demikian pula gerakan perempuan di Indonesia saat para pejuang kesetaraan gender memperjuangkan politik affirmative action, kuota perempuan 30%, sebenarnya hal itu ialah artikulasi politik identitas. Seperti halnya, ketika kalangan minoritas agama memperjuangkan pengakuan sosial dalam kerangka kebinekaan, secara kajian ilmu politik, hal tersebut ialah bagian dari ekspresi politik identitas. Politik identitas menjadi bagian dari patologi demokrasi, ketika yang tumbuh ialah corak politik antagonistis. Corak politik antagonistis ialah ekspresi politik yang biasanya tumbuh dalam suasana politik yang diorkestrasi hadirnya politik fasisme.

Politik antagonisme fasis muncul dalam ekspresi ketika suatu pertandingan politik menghasilkan pembingkaian politik bahwa pihak yang berbeda dengan kita bukan hanya rival sesama anak bangsa, melainkan musuh yang mengancam keberadaan kita. Politik antagonisme fasis menghasilkan pemahaman bahwa semua yang berbeda dengan kita ialah musuh yang harus dimusnahkan eksistensinya. Oleh karena itu, dalam atmosfer antagonisme politik, yang lain dianggap sebagai subhuman (di bawah manusia), dari situlah muncul dalam artikulasi melihat yang berbeda sebagai binatang (cebong, kampret, kadal gurun, unta Yaman).

Cek Artikel:  Pikiran-Pikiran Pengecekan Faktual

Ketika tumbuh emosi politik yang bersandar pada otak reptilian manusia, bahwa yang berbeda dari kita diberi sebutan dalam istilah hewan, semakin melemah pula kesadaran bahwa rival kita sebenarnya ialah manusia dan warga negara Indonesia. Dari meluapnya emosi tersebut, hilang kesadaran pengakuan untuk menghormati hak kemanusiaan dari pihak-pihak yang berbeda pilihan politik dari kita, itulah hakikat utama dari fasisme!

Eksis salah satu peristiwa menarik yang dapat menjadi bahan pelajaran, dengan kita dapat menarik hikmah di dalamnya. Pada saat Pemilihan Presiden Amerika Perkumpulan 2008, ketika itu terjadi pertandingan Barack Obama dari kandidat Partai Demokrat melawan John McCain dari Partai Republik. Hasil Pemilihan Presiden Amerika Perkumpulan saat itu seperti telah menjadi ketentuan sejarah memenangkan Barack Obama dengan perolehan besar 365 electoral votes, melawan perolehan John McCain yang hanya berhasil meraih 173 electoral votes.

Obama saat itu menang besar, yang berhasil mengantarkannya menjadi presiden. Tetapi, di sisi lain, John McCain, meskipun kalah dalam kontestasi, turun gelanggang sebagai politikus terhormat yang dikenang dalam sejarah politik elektoral di Amerika Perkumpulan. Apa sebab John McCain menjadi politikus terhormat meskipun kalah dalam pertandingan Pilpres Amerika Perkumpulan?

Pada saat kampanye pilpres saat itu mulai tumbuh racun fitnah, antagonisme identitas yang muncul dalam bentuk islamofobia, dan arabfobia di Amerika Perkumpulan. Barack Obama oleh para pendukung John McCain-Sarah Palin dibingkai dalam kampanye hitam sebagai imigran, muslim, dan orang Arab yang akan mengancam keutuhan negara Amerika Perkumpulan. Pada saat kampanye politik berlangsung, John McCain mendengar langsung dari salah seorang konstituennya hinaan Obama sebagai Arab-muslim yang menjadi ancaman Amerika Perkumpulan. Setelah mendengar hal tersebut, John McCain dengan tanggung jawab moralnya yang tinggi menepis ujaran pengikutnya dengan menyampaikan bahwa Obama ialah juga warga negara Amerika Perkumpulan, yang kebetulan saja menjadi rival politiknya, dengan orientasi visi dan misi politik yang berbeda.

 

Fobia identitas

Bukan saja antagonisme politik identitas alih-alih politik identitas yang menjadi potensi pembelahan bangsa dalam Pilpres 2024. Bahkan, fobia terhadap identitas juga berpotensi menjadi masalah kebangsaan kita. Apabila kita membuka lembaran sejarah politik dunia, kita mengingat bahwa bangkitnya fasisme politik di Jerman semenjak 1920-an, selain dipicu krisis ekonomi akibat kekalahan dalam Perang Dunia Pertama, didorong emosi politik fobia terhadap identitas Yahudi yang diembuskan Nazi dipimpin Adolf Hitler.

Cek Artikel:  Optimisme Ekonomi di Periode II Pemerintahan Jokowi

Sementara itu, pada Pilpres Amerika Perkumpulan 2016, kemenangan dari Presiden Amerika Perkumpulan Donald Trump dibayar dengan politik murahan, yang menghantam kesatuan bangsa Amerika Perkumpulan, yaitu dengan sebaran fobia terhadap identitas Islam dan kaum imigran. Fobia identitas dan antagonisme politik identitas ialah dua dimensi anak panah beracun yang menghancurkan tubuh kebangsaan dan jangan sampai pula menghancurkan keindonesiaan kita.

Demi ini, ketika politik kontemporer memasuki ranah politik digital potensi peruncingan perbedaan yang menghantam kesatuan bangsa akan semakin besar terjadi saat makin mendekati Pilpres 2024. Berbeda dengan harapan awal pada fajar kemunculan panggung politik digital, yang dipandang dapat memperluas demokratisasi dan mendekatkan komunikasi yang bebas dan beradab, yang terjadi ialah sebaliknya. Watak kontestasi politik yang terjadi dalam jagat ruang publik digital, semakin memperkuat dinamika politik yang hadir dalam sentrum emosi. Narasi politik yang berpijak pada basis rasionalitas politik tidak mengedepan. Jejak langkah dari kandidat politik tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam mengelola politik masa depan, dikalahkan kebencian dan kemarahan.

 

Lari dari kebebasan

Kebencian dan kemarahan yang tumbuh dan menjadi ledakan antagonisme politik identitas muncul bersamaan sebetulnya bukan semata-mata kesalahan dari panggung politik digital. Tetapi, politik digital hanyalah merefleksikan suasana yang sedang berlangsung di bangsa ini. Ketika kebersamaan politik sebagai anak bangsa tidak hadir dalam panggung politik demokrasi, setiap kelompok merasa dirinya harus memenangkan kaum mereka.

Sesuatu yang muncul dari suasana politik yang minim silaturahim dan dialog yang akrab pada hakikatnya memunculkan keterasingan dan perasaan bahwa diri mereka tidak signifikan dan diakui. Itulah akar psikologis yang juga menjadi persoalan bangsa, sebagai akibat dari embusan masif politik saling menarik garis yang antagonistis.

Psikolog kritis dari mazhab Franfurt bernama Erich Fromm pada 1941 menulis buku, judulnya Escape from Freedom (Melarikan Diri dari Kebebasan). Fromm menelaah sebab-sebab negerinya, Jerman, dikuasai kuasa gelap fasisme. Menurut Fromm, fasisme di Jerman tumbuh ketika masyarakat dan aktor-aktor politik berlari dari kebebasan. Situasi sosial yang salah satunya akibat proses demokrasi di Jerman yang tengah dilanda krisis tidak menumbuhkan hadirnya etos politik yang bertanggung jawab.

Kebencian dan kemarahan sosial dieksploitasi untuk meraih dukungan dari rakyat banyak yang mengalami disorientasi sosial sehingga memunculkan penghambaan terhadap pemimpin yang bersanding dengan kebencian terhadap yang berbeda. Ketidakmampuan merefleksikan kebebasan politik sebagai kemerdekaan dengan pertanggungjawaban etika politik yang beradab menyeret Jerman menuju fasisme yang berdiri dari kehancuran puing-puing demokrasi. Bangsa kita Indonesia masih jauh tentunya dari fase politik menakutkan seperti itu. Tetapi, upaya untuk berpaling darinya dan membangun demokrasi yang berkeadaban dengan kualitas yang lebih tinggi harus diawali saat ini, sebelum semuanya terlambat!

Mungkin Anda Menyukai