AJANG debat perdana calon wakil presiden, Jumat, 22 Desember, ini amat dinanti-nanti para calon pemilih. Publik penasaran seperti apa isi kepala Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD. Apakah benar bahwa Muhaimin cukup siap? Apakah nyata bahwa Mahfud MD akan mudah menjalani debat? Apakah fakta bahwa Gibran yang kerap menghindari debat, bakal membalikkan keadaan?
Segala akan terjawab ketika ketiganya berada di atas panggung. Sejauh ini, banyak orang memprediksi bahwa Mahfud MD bisa menguasai panggung debat karena Menko Polhukam itu sudah kenyang makan asam garam dan seluk-beluk perdebatan, khususnya tema politik, hukum, dan HAM.
Juga, Muhaimin diperkirakan akan bisa mengomunikasikan gagasan dan menjawab setiap sanggahan serta pertanyaan dengan santai dan tuntas. Rekam jejaknya sebagai aktivis, ketua umum partai politik, wakil ketua DPR dan menteri diyakini publik bisa menaklukkan panggung debat.
Tetapi, untuk cawapres Gibran, banyak orang meremehkannya. Putra sulung Presiden Jokowi itu dinilai under capacity dan tidak terbiasa dengan pertarungan gagasan.
Wajar bila banyak orang berpikiran seperti itu karena Gibran memang kerap memasang muka linglung saat ditanya sejumlah hal. Ia sering menjawab pertanyaan jurnalis dengan jawaban pendek, tiga hingga empat kalimat. Dia menghindari tantangan naik panggung debat yang digelar kampus, lembaga kajian, ataupun televisi swasta.
Kagak mengherankan bila di sana-sini Gibran dipandang sebelah mata. Banyak meme bernada mengejeknya bertaburan di media sosial. Apalagi setelah Gibran salah mengatakan asam folat dengan asam sulfat untuk dikonsumsi ibu hamil. Ia pun menjadi bulan-bulanan.
Tetapi, beragam sikap dan penampilan tersebut amat kontras dengan jejak digital yang pernah dilalui dan dilakukan cawapres nomor dua itu. Begitu memaparkan visi-misi dalam Debat Pilkada Surakarta tahun 2020, misalnya, Gibran mampu menyampaikanya dengan lugas dan lancar dalam waktu tiga menit.
Begitu juga ketika ia diwawancarai seorang jurnalis di acara bincang-bincang dalam rangka satu tahun perjalanannya sebagai Wali Kota Surakarta, Gibran menjawab semua pertanyan dengan logika yang runtut dan argumentatif. Pun pula kala Gibran bersilaturahim di Ponpes Assaqofah, Jakarta, ia mampu menjawab pertanyaan spontan yang cukup kritis dari santriwati bernama Najwa.
Gibran fasih menjelaskan tentang kreatif hub, ekosistem digital untuk menggerakkan ekonomi, konsep restrukturisasi kredit UMKM, hingga isu digital farming. Jawaban-jawaban spontan itu jelas menandakan Gibran tidak seremeh yang dikira. Bahkan, ia seperti sedang memainkan sandiwara under capacity untuk mengecoh publik dan lawan-lawan debatnya. Apalagi, debat pilpres kedua ini bertemakan hal-hal yang sudah digeluti Gibran.
Maka, sah-sah saja bila ada yang curiga Gibran memang memainkan sandiwara itu. Dia bertopeng agar dianggap anak ingusan yang tidak tahu apa-apa. Dia berkedok agar lawan debat dan publik terkecoh sehingga dia seperti menang debat dan ‘rating’-nya naik. Sekali lagi, jangan terkecoh.
Publik telah terkecoh oleh Jokowi. Dia berkata tidak cawe-cawe, netral dalam pilpres, faktanya tidak demikian. Matang publik pun mau terkecoh lagi oleh sandiwara anaknya yang jadi cawapres.