Sesak Napas karena Beras

DENGARLAH jeritan Sunarti, pedagang warung di Jalan Raya Kalisuren, Bogor. Ia mengeluhkan harga beras yang terus naik, bahkan hingga empat kali kenaikan dalam sebulan. Narti biasa membeli beras petruk yang sekarang harganya sudah Rp17.500 per kilogram. Tiga pekan lalu, harga beras yang ia beli masih Rp15.500 per kilogram.

Warung Sunarti membutuhkan 8 kilogram beras per hari. Ia pun mesti merogoh kocek Rp140 ribu untuk modal membeli beras. Tiga pekan sebelumnya, ia masih bisa mendapatkan 8 kg beras dengan merogoh kocek Rp124 ribu. Itu artinya, dalam sehari, keuntungan dagang di warung makannya tergerus Rp16 ribu akibat melonjaknya harga beras.

Jeritan serupa sudah menjadi orkestrasi di seantero negeri ini selama sepekan terakhir. Harga sejumlah bahan pangan pokok penting dan strategis, khususnya beras, masih terus memecahkan rekor dari hari ke hari. Banyak rakyat bertanya, ke mana para pengurus negeri ini?

Jawaban pemerintah sejauh ini belum menggembirakan. Rumus yang dipakai sekadar menyandarkan pada urusan jumlah pasokan dan permintaan. Pasokan berkurang, tapi permintaan tetap. Mengapa pasokan berkurang? Jawabannya juga bisa ditebak: karena produksi berkurang akibat musim kering ekstrem yang berujung pada panen yang terlambat.

Cek Artikel:  Despotisme Baru

Lewat muncul pertanyaan dan gugatan di sana-sini, seperti, ‘bukankah bansos beras terus menggerojok sejak sebelum hari pencoblosan pemilu? Ke mana dong, mengalirnya gerojokan itu?’. Terdapat lagi yang mempersoalkan impor beras besar-besaran dalam setahun ini hingga lebih dari 3,3 juta ton. Ke mana beras impor itu? Ditujukan untuk siapa? Menguntungkan siapa?

Pertanyaan-pertanyaan bertendensi kecurigaan seperti itu amat wajar muncul karena kenyataan di lapangan tidak bisa dikompromikan lagi. Pernyataan pemerintah berulang-ulang bahwa stok beras aman dan cukup terasa sekadar hendak ‘mendinginkan’ suasana. Tapi, nyatanya, harga beras tetap memanas. Publik tidak dingin, malah resah.

Padahal, selama ini ada keyakinan bahwa keresahan rakyat akibat naiknya harga pangan secara terus-menerus bakal memicu instabilitas. Kendali atas sumber-sumber pangan berarti pengendalian politik publik secara keseluruhan. Sejauh sebuah rezim mampu mengendalikan sumber-sumber itu, menjaganya dari ancaman kelangkaan dan ketidakterjangkauan harga di konstituen strategis, sejauh itu pula stabilitas politik akan mantap sekaligus meraih simpati luas.

Cek Artikel:  Duka Paskibraka

Sebaliknya, kekuatan politik akan terguncang bila gagal menjaga stabilitas harga pangan. Doktrin ini diyakini pemerintah di banyak negara berkembang dan miskin, termasuk Indonesia. Di negara-negara seperti itu, sebagian besar (60%) pendapatan warga terserap habis untuk membeli pangan.

Dalam masyarakat politik, masalah pangan bisa menjadi ancaman stabilitas politik yang bersifat laten dan setiap saat bisa meledak. Terdapat banyak penyebab jatuhnya Soekarno dan Soeharto, tetapi satu hal tak terbantahkan, ketidakmampuan rezim mengendalikan pangan membuat segala sendi rapuh lebih cepat. Inilah alasan mengapa hingga kini pemerintah masih memperlakukan beras sebagai komoditas politik.

Sejauh ini politik beras itu cenderung merugikan produsen dan konsumen. Melalui inpres perberasan yang direvisi setiap tahun, pemerintah menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras. HPP bukan bentuk perlindungan harga. Batu pijak HPP ialah kuantitas untuk memenuhi stok nasional dan raskin.

Karena sifatnya target kuantum, pengaruh pembelian pada tingkat harga di pasar jadi residual. Demi harga gabah anjlok atau harga beras tinggi, beleid HPP tak bisa jadi alat kendali harga. Akibatnya, dalam dua posisi itu, petani (produsen) dan konsumen merugi.

Cek Artikel:  Meleleh Haniyeh

Demi ini, misalnya. HPP gabah di tingkat petani cuma Rp5.000 per kilogram. Padahal, harga pasar gabah di tingkat petani sudah ada yang di atas Rp7.000 ribu per kilogram. Nomor-angka ini tentu tidak menarik bagi petani sebagai patokan jual beli.

Celakanya lagi, saat harga kian tinggi dan tidak terkendali, petani juga tidak bisa menikmati karena beras tidak lagi ada di lumbung mereka. Dalam situasi saat ini, para petani itu bukan lagi produsen, melainkan konsumen. Mereka berada dalam situasi sama tercekiknya dengan konsumen beras.

Respons pemerintah yang tidak memadai dalam menyikapi lonjakan harga beras bakal kian menggaungkan orkestrasi jeritan rakyat. Repotnya, jeritan itu bukan tanda riang gembira karena sudah keluar dari bilik suara, melainkan teriakan pilu karena harga beras naik bertalu-talu.

Sudah cukupkah dijawab dengan kalimat ‘Di mana-mana di dunia, beras sedang langka, maka harganya naik’? Sungguh terlalu.

Mungkin Anda Menyukai