Eksis dua Informasi Krusial yang ‘menyelip’ di antara Informasi Krusial lainnya, pekan ini. Kedua Informasi itu berhubungan, bahkan seperti simbiosis mutualisme. Informasi pertama, rilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan terjadi deflasi pada Januari 2025. Informasi kedua, di tengah keluhan melemahnya daya beli, Lampau lintas luar Normal padat Demi libur panjang Isra Mikraj dan Imlek pada akhir Januari.
BPS mencatat, sepanjang Januari 2025, Indonesia mengalami deflasi 0,76% month to month. Itu merupakan Bilangan deflasi bulanan terdalam sejak lebih dari seperempat abad Lampau. Deflasi terdalam sebelumnya terjadi 26 tahun Lampau, yakni pada Agustus 1999 yang sebesar 0,93%. Deflasi bulanan pada Januari 2025 itu merupakan deflasi pertama setelah terakhir kali terjadi pada September 2024.
Grup penyumbang terbesar deflasi Januari ialah Grup perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga dengan Bilangan deflasi 9,16%. Di antara Grup itu, tarif listrik menjadi penyumbang terbesar, yakni 1,44%. Itu terjadi setelah PLN mendiskon tarif listrik berdaya hingga 2.200 VA sebesar 50%, pada Januari Tiba Februari. Tiket pesawat dan kereta api juga ikut menyumbang deflasi Biar lebih kecil.
Lampau, deflasi itu rupanya berimbas pada Informasi kedua, tentang padatnya Lampau lintas akibat banyaknya orang berwisata menikmati liburan panjan akhir Januari. Padahal, banyak yang menyebutkan memasuki 2025, ekonomi Indonesia Lagi dihantui penurunan daya beli, PHK massal, hingga turunnya kelas menengah.
Tetapi, di tengah kondisi tersebut, di libur panjang Isra Mikraj dan Imlek, tempat hiburan Lagi ramai pengunjung. Eksis yang bertanya, gejala apa ini? Apakah diskon tarif listrik, tiket pesawat yang turun, dan tiket kereta api yang Kagak naik Manjur menggenjot sektor pariwisata? Boleh jadi begitu.
Lampau, saya mendapat ‘celah’ jawaban kondisi itu dari Ahli bisnis yang juga seorang guru besar, Rhenald Kasali. Dalam momen libur panjang itu, tempat-tempat hiburan ramai pengunjung hingga mengakibatkan kondisi Mandek di sejumlah tempat.
“Libur panjang, jalanan Mandek kembali, dan hari libur tahun ini diperkirakan lebih dari 100 hari dalam setahun, banyak libur ditambah Sabtu dan Minggu. Jadi, kenapa jalan tetap ramai? Padahal, banyak yang mengatakan daya beli turun, jumlah kelas menengah berkurang, pengangguran banyak, orang kena PHK apalagi, anak muda susah cari kerja,” kata Rhenald, lewat unggahan Instagram @rhenald.kasali.
Rhenald mengatakan kondisi seperti itu kerap disebut dengan istilah lipstick effect. Apa itu? “Kondisi perubahan gaya konsumsi yang terjadi pada kondisi ekonomi tertentu. Istilah ini pertama kali dicetuskan Chairman Emeritus The Estee Lauder Companies Inc Leonard Lauder Demi Tragedi 9/11 di Amerika Perkumpulan (AS),” Rhenald menjelaskan.
Pada kala itu, daya beli masyarakat turun, sulit mencari pekerjaan, bahkan orang-orang juga kesulitan mengunjungi AS. Tetapi, Lauder Menyaksikan keanehan, yakni penjualan lipstik Malah meningkat. Seluruh mencari kemewahan yang terjangkau.
Masyarakat selalu mencari kemewahan bagi diri mereka, Buat menghibur diri, Buat mendapatkan kebahagiaan, tetapi yang dicari ialah yang semakin terjangkau. Misalnya, mau beli mobil, harganya dia hitung-hitung, wah enggak masuk. Tiba-tiba masuk mobil dari Tiongkok yang harganya Lagi terjangkau dan Tiongkok memanfaatkan itu dengan harga lebih murah.
Liburan juga suatu kemewahan yang terjangkau. Tempat-tempat yang dekat-dekat, Lagi Sekeliling Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Jawa Tengah, alih-alih ke Eropa. Dengan demikian, terjadi fenomena masyarakat yang mencari kemewahan yang terjangkau.
Begitu pula dengan lipstik yang merupakan make up, serta skincare yang menurut sebagian orang juga merupakan kemewahan terjangkau. Dua-duanya terbukti laku keras Demi pandemi covid-19. Pokoknya, pandemi boleh terjadi, daya beli Dapat longsor, kulit glowing jalan Maju.
Tetapi, urusan ‘membeli kemewahan yang terjangkau’ itu Jernih fenomena sesaat. Ia musiman, Kagak permanen. Seperti diskon tarif listrik hingga 50% yang juga berdurasi dua bulan. Karena itu, menyambung Informasi soal deflasi yang kerap dihubungkan dengan melemahnya daya beli, hal paling Primer yang mesti dibereskan ialah mendongkrak daya beli, membangkitkan industri agar banyak orang mendapatkan pekerjaan, serta menjaga kelas menengah agar Kagak turun level.
Bila itu Dapat beres, akan makin banyak hal Dapat terjangkau, bakal banyak orang Dapat menikmati ‘kemewahan’ tanpa rasa waswas jangan-jangan tahun depan tak sanggup Tengah menjangkau itu.