DEBAT calon presiden dan calon wakil presiden mestinya diperkaya dengan gagasan. Dengan demikian, rakyat sebagai pemilih bisa memahami solusi yang ditawarkan capres atau cawapres untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara.
Dengan begitu, debat bukanlah ajang saling menjatuhkan untuk perkara yang tidak substantif, seperti penguasaan istilah atau singkatan. Debat dengan begitu harus mengelaborasi dan merasionalisasi program-program yang ditawarkan oleh pasangan calon. Pasalnya, acapkali pernyataan capres/cawapres dalam masa kampanye atau saat debat tidak rasional, bahkan menyesatkan.
Fakta itu terungkap dalam debat kedua para cawapres yang bertema ekonomi (baik ekonomi kerakyatan, ekonomi digital), keuangan, investasi, pajak, perdagangan, pengelolaan APBN-APBD, Infrastruktur, dan perkotaan. Debat menghadirkan cawapres dari paslon 01 Muhaimin Iskandar, cawapres 02 Gibran Rakabuming Raka, dan paslon 03 Mahfud MD.
Gibran menjadikan debat sebagai ajang pamer penguasaan istilah atau singkatan. Misalnya, putra Presiden Joko Widodo yang menjabat Wali Kota Surakarta ini menanyakan ke Mahfud MD soal bagaimana membuat regulasi carbon capture and storage. Gibran juga menanyakan ke Muhaimin soal bagaimana meningkatkan rating SGIE.
Mahfud tidak menjelaskan perihal carbon capture and storageĀ dan hanya memaparkan prinsip-prinsip membuat sebuah regulasi. Sementara itu, Muhaimin mengaku terus terang tidak mengetahui kepanjangan dari SGIE. Gibran dengan nada mengejek Muhaimin kemudian menyampaikan bahwa kepanjangan dari SGIE adalah State of the Mendunia Islamic Economy.
Muhaimin pun kemudian bisa menjelaskan upaya-upaya untuk mendongkrak ekonomi syariah Indonesia yang kini bertengger pada rangking nomor 4 di tingkat dunia.
Kita mengapresiasi Mahfud MD dan Muhaimin tidak membalas Gibran dengan berbagai singkatan atau istilah teknis kepada Gibran. Jangankan membalas, kedua cawapres ini pun tidak menyiapkan pertanyaan terkait singkatan atau istilah yang tak lazim kepada Gibran. Dari sini kita bisa menilai kedua cawapres (Mahfud dan Muhaimin) tidak memiliki niat busuk untuk menjebak atau mempermalukan lawan debat pada forum terhormat yang digelar Komisi Pemilihan Lazim tersebut.
Apa jadinya bila forum debat tersebut menjadi ajang balas membalas singkatan atau istilah? Tentu tidak elok, kekanak-kanakan, bahkan merugikan masyarakat yang seharusnya disuguhi paparan berkualitas dari para sosok calon pemimpin bangsa.
Debat capres/cawapres juga seharusnya menawarkan rasionalisasi yang masuk akal. Misalnya, Cawapres Gibran ingin menaikkan rasio pajak 23% untuk membiayai berbagai program kerja, seperti pendidikan dan kesehatan. Padahal, dalam sembilan tahun terakhir, rasio perpajakan kita tidak pernah menyenyuh 11% dari PDB. Tentu, mendongkraknya menjadi 23% jelas utopia yang amat sangat mengawang-awang.
Gagasan boleh saja selangit, namun tetap harus berpijak di bumi. Lembaga debat bukan untuk gagah-gagahan, mempermalukan lawan debat, melainkan menguji rasionalitas calon pemimpin bangsa agar rakyat tetap terjaga akal sehatnya.