Republik Anomali

SEBUTAN anomali marak belakangan ini dalam dinamika Pemilu 2024. Dari lolosnya pencalonan nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka gara-gara akrobat hukum Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan karpet merah ke Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo, hingga berlabuhnya jenderal-jenderal yang mencopot Prabowo sebagai Pangkostrad karena kasus penculikan aktivis ke paslon 2.

Selain itu, tidak linearnya suara partai dengan suara paslon atau suara paslon ke partai pada hasil pemilu sementara, seperti perolehan suara pileg PDI Perjuangan nomor wahid, tetapi raihan suara paslon 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD nomor buncit.

Anomali yang tak kalah menggegerkan ialah ‘bersatunya’ Ketua Standar Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dengan tokoh yang disebut ‘pembegal’ Partai Demokrat Moeldoko di Kabinet Indonesia Maju pascapesta demokrasi 14 Februari. Bahkan, kedua tokoh itu kemarin sudah bersalaman dalam sidang kabinet. Fenomena yang tak lazim itu sering disebut anomali politik.

Dalam Andas Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi anomali adalah ketidaknormalan, penyimpangan dari normal, atau kelainan. Pengertian dalam konteks linguistik ialah kelainan yang dipandang dari sudut konvensi gramatikal atau semantis suatu bahasa. Sementara itu, dalam konteks teknik, anomali ialah penyimpangan dari keseragaman sifat fisik yang sering menjadi perhatian eksplorasi. Misalnyanya, anomali waktu-lintas, anomali magnetik.

Cek Artikel:  Ampun Enggan, Mundur tak Hendak

Kata anomali sering disebut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terhadap kondisi cuaca yang menyimpang dari keadaan normal. Misalnya, musim kemarau pada 2023 tiba-tiba suatu daerah diguyur hujan lebat.

Ketergantungan Indonesia pada komoditas impor bisa disebut anomali karena negeri yang disebut gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja itu importasinya tak terbendung. Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, baik di atas bumi maupun di perut bumi hingga lautan.

Terbukti bumi Nusantara sudah mengekspor hasil bumi dan hasil hutan yang dikenal dengan Jalur Rempah (Spice Routes) ke Tiongkok, India, Timur Tengah, hingga Eropa pada ribuan tahun silam. Jalur Rempah tak sekadar bermakna perdagangan, tetapi juga diplomasi kebudayaan Nusantara dengan dunia luar.

Tetapi, kisah Jalur Rempah tinggal kenangan. Setidaknya kini 15 komoditas impor masih membanjiri Indonesia, seperti beras, gula, tepung terigu, kedelai, garam, jagung, pupuk, gandum, dan tembakau. Belum lagi impor komoditas nonpangan tak kalah bejibunnya.

Cek Artikel:  Racun Demokrasi

Itu kisah Jalur Rempah yang mendahului Jalur Sutra Tiongkok. Kini, Indonesia babak belur dihantam krisis pangan yang dimulai dari melonjaknya harga beras, lalu diikuti harga komoditas lain yang merobek kantong.

Harga beras hingga kemarin masih di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) No 7/2023 sebesar Rp10.900-Rp11.800 per kg untuk beras medium dan Rp13.900-Rp14.800 per kg untuk beras premium.

Ketergantungan Indonesia pada pangan impor ditambah krisis pangan dunia akibat berkepanjangannya perang Rusia-Ukraina dan ketegangan geopolitik lainnya serta climate change membuat negeri ini limbung mengatasi krisis pangan.

Impor beras 3 juta ton pada 2024 mencetak rekor sejarah sejak Indonesia merdeka 78 tahun silam. Pemerintah menggelontorkan fulus Rp30 triliun untuk mendatangkan beras ke Tanah Air. Meski impor berlimpah, harga beras tetap tak bersahabat.

Sekalian anomali di atas harus diakhiri dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Tata kelola yang berbasiskan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Tata kelola pemerintahan bisa dilakukan jika pemerintahannya memiliki komitmen pada etika dan hukum.

Cek Artikel:  Kepala Daerah Acuh Sampah

Tata kelola di atas tak hanya untuk urusan pemerintahan, tetapi juga pengelolaan politik, termasuk berkontestasi dalam pemilu harus memiliki nilai-nilai yang memperkuat kedewasaan dalam berpolitik.

Pemilu harus menghargai proses. Jangan mentang-mentang tak ada hukum yang dilanggar atau lolos dari jerat hukum sementara secara etika, asas kepantasan dan kepatutan bermasalah, sang elite politik itu tidak memiliki rasa bersalah. Alhasil, pemilu hanya menjadi pesta pora kaum homo homini lupus. 

Kalau bangsa ini menghargai proses, bangsa ini akan dijauhkan dari watak licik yang gemar jalan pintas, memanipulasi proses untuk mencapai tujuan. Pembangunan karakter suatu bangsa dimulai dari kebiasaan bangsanya menghargai proses, termasuk proses berdemokrasi. Itulah jalan membangun peradaban. Proses hidup ialah seperti memahat batu, yakni setiap pukulan akan membentuk keindahan yang tak ternilai. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai