Trias Koruptika yang Menggila

KORUPSI dan penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau golongan masih menjadi bagian dari perjalanan Republik ini. Di usia yang sudah 78 tahun, praktik lancung itu bukannya menipis, justru seakan kian mendarah-daging di negeri ini.

Dalam pesan Natal pada Senin (25/12) lalu, Uskup Keuskupan Mulia Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo Harjoatmojo tidak kuasa menahan kesedihannya lantaran Indonesia kini semakin jauh dari kata ideal.

Pejabat legislatif, eksekutif, hingga yudikatif yang ditangkap karena korupsi sudah kadung jadi pemandangan lazim di masyarakat. Semakin parah ketika masyarakat yang muak dengan situasi itu malah memilih sikap masa bodoh atau golput pada pemilu nanti.

Tujuan bernegara sebagai mana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 pun telah tergantikan oleh syahwat korup dan pelanggengan kekuasaan. Mau dibawa ke mana negara ini? Demikian Kardinal Suharyo menggugat.

Cek Artikel:  Langkah Mundur Pembentukan Watak

Salah satu tujuan kehidupan bernegara ialah memajukan kesejahteraan umum. Tetapi, dalam praktiknya saat ini, kesejahteraan kelompok yang berkuasa menjadi tujuan. Lembaga DPR yang mestinya mengawasi lurusnya jalan pemerintahan justru kerap terjebak di kelompok penguasa yang mencari kesejahteraan tersebut.

Istilah pembagian kekuasaan bernegara dalam trias politika kini dipelesetkan menjadi trias koruptika, alias pembagian ladang korupsi. “Mengerikan sekali, lelucon, tapi menusuk hati. Itulah realitas kita,” ucap Kardinal Suharyo.

Rapor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia faktanya memang makin jeblok. Sekor IPK Indonesia pada 2022 yang dirilis Transparency International Indonesia di awal tahun ini menunjukkan poin amat merosot, dari 38 ke 34 dalam skala 0 hingga 100. Poin itu kembali ke posisi awal saat Presiden Joko Widodo menjabat pada 2014.

Mengagetkan memang, tapi cukup dapat diterima akal sehat jika melihat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan yang banyak bersinggungan dengan kepentingan sekelompok orang. Disadari atau tidak, di sini terjadi korupsi melalui peran negara.

Cek Artikel:  Menjadikan KPK Siuman Kembali

IPK selama ini digunakan untuk menjadi indikator pengukuran persepsi korupsi sektor publik sebuah negara. Indeks itu diukur melalui perilaku pejabat dan politisi, dimulai dari skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih).

Penurunan paling tajam IPK Indonesia terjadi pada korupsi sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku suap, serta suap izin ekspor-impor. Ini selaras dengan data-data jumlah koruptor politik dan jabatan publik yang terus menanjak dari tahun ke tahun.

Merujuk pada data Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2004-2022, pelaku korupsi dari lingkup politik, baik legislatif (DPR dan DPRD) maupun kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota), menempati posisi puncak dengan total 521 orang.

Cek Artikel:  Memerdekakan Rakyat dari Kemiskinan

Selama delapan tahun Joko Widodo menjadi presiden (2014-2022), koruptor dari lingkup politik mencapai 381 orang, lebih tinggi daripada delapan tahun awal Susilo Bambang Yudhoyono jadi presiden (2004-2012) yang mencapai 101 orang. Lampau mau sampai kapan korupsi terus menjadi watak dalam bernegara di Republik ini?

Di sini kita mesti mendukung pesan Natal yang disampaikan Kardinal Suharyo, pentingnya masyarakat ikut mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam pesannya, warga negara yang baik ialah warga yang punya rasa tanggung jawab, yakni dengan menggunakan hak pilihnya pada pemilu nanti, dan kemudian aktif mengawasi jalannya pemerintahan agar sejalan dengan tujuan bernegara.

Tanpa adanya kepedulian terhadap kehidupan bernegara itu, masyarakat justru akan membiarkan pencoleng, dari kelas teri sampai kelas kakap, terus menggarong kekayaan bangsa ini. Tentunya kita tidak mau itu terus terjadi.

Mungkin Anda Menyukai