PENDIDIKAN merupakan sektor yang sangat penting dalam menata masa depan bangsa sehingga dibutuhkan keseriusan Prabowo dan Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih periode 2024-2029, untuk menata dan menuntaskan berbagai tantangan dan persoalan di bidang pendidikan.
Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim menjelaskan janji politik dari Prabowo Gibran terkait dengan bidang pendidikan yang tertuang dalam dokumen visi, misi dan program kerjanya, terbilang cukup progresif khususnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan guru melalui sistem pengupahan hingga kompetensi.
“Salah satu janji yang paling populis yaitu akan memberikan tambahan penghasilan bagi guru sebesar Rp2 juta per bulan, dan itu akan diberlakukan mulai satu bulan setelah mereka dilantik. Nantinya janji politik tersebut harus ditagih bersama,” katanya pada diskusi bertajuk “Meninjau Realisasi Janji Kampanye Pendidikan dan Guru di masa Pemerintahan Prabowo-Gibran” di Jakarta pada Senin (16/9).
Baca juga : Kemendikbud-Ristek Sebut 774 Ribu Guru PPPK Dapat Penempatan
Pada dokumen misi Asta Cita dari Prabowo-Gibran, dijelaskan bahwa para guru Non-ASN juga akan mendapatkan kejelasan biaya minimum upah per bulan.
“Penetapan upah guru non-ASN dengan standar minimum juga penting untuk dikawal bersama ke depannya, karena masih itu menjadi kendala kesejahteraan guru selama lima tahun terakhir,” jelas Satriwan.
Satriwan juga menekankan persoalan rekrutmen guru yang sangat serampangan dan tidak sesuai prosedur sehingga menimbulkan kekacauan sistem. Dikatakan bahwa perekrutan guru melalui sistem PPPK adalah solusi jangka pendek yang diharapkan tidak menjadi satu-satunya alternatif untuk merekrut guru pada pemerintahan ke depan.
Baca juga : Kemendikbud-Ristek Susun Rekomendasi Susunan ASN PPPK Guru
“Lima tahun terakhir di masa pemerintahan Joko Widodo, rekrut guru-guru honorer menjadi guru-guru ASN PPPK ini memiliki persoalan yang sangat kompleks dan rumit. Saya menilai PPPK bukan solusi jangka panjang terhadap persoalan tata kelola guru secara nasional, melainkan hanya solusi jangka pendek,” jelasnya.
Menurut Satriwan, pemberlakuan sistem kontrak pada PPPK yang berdurasi 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun hingga 5 tahun seolah memperlihatkan bahwa negara seperti lepas tangan dalam mensejahterakan guru. Menurutnya, Sistem rekrutmen guru melalui CPNS harus kembali diberlakukan pada masa Prabowo-Gibran.
“Sistem CPNS guru dengn status guru PNS harus diberlakukan kembali. Asal Mula PPK itu tidak ada jaminan hari tua, kontrak sangat variatif sehingga memunculkan konflik di antara guru secara horizontal dan menimbulkan penempatan guru yang juga bermasalah,” katanya.
Baca juga : Kebijakan Cleansing Guru Honorer Bukti Gagalnya Koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah
Satriwan mendorong agar pemerintahan Prabowo Gibran segera membuat grand design mengenai tata kelola guru yang bukan hanya mencakup persoalan pengupahan melainkan juga peningkatan kompetensi. Dikatakan bahwa kesejahteraan gaji dan kompetensi merupakan dua hal yang sangat berkaitan seperti dua mata uang.
“Apabila dulu meningkatkan kompetensi guru dilakukan melalui platform digital PMM, tapi ternyata setelah kami lakukan survei kepada guru-guru di 26 provinsi, justru guru merasakan sistem PMM ini menjadi beban digital. Kehadiran PMM justru tidak memberikan efisiensi di dalam pendidikan, melainkan hanya menambah beban administrasi, jam kerja guru bertambah sehingga mengganggu proses mengajar,” jelasnya.
Menurut Satriwan, penting bagi pemerintah mengadopsi sistem pengajaran dan pelatihan berbasis teknologi digital namun jangan menjadikan algoritma sebagai basis utama pembelajaran sehingga meniadakan keterlibatan sistem pelatihan dari tenaga manusia. Selain itu pihaknya juga berharap akan ada perubahan kurikulum yang dilakukan Prabowo Gibran.
Baca juga : Potongan Tapera Buat Cemas Para Guru Honorer
“Kami temukan juga bagaimana implementasi kurikulum Merdeka di sekolah banyak yang mengalami distorsi dan miskonsepsi karena metode pelatihan melalui PMM bukan memberikan solusi melainkan menjadi beban digital yang baru, pada akhirnya guru terperangkap di dalam platform merdeka belajar tanpa melihat realita di lapangan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Satriwan memaparkan bahwa selain permasalahan kesejahteraan guru dan kompetensi guru, pemerintahan Prabowo Gibran juga harus menyelesaikan distribusi guru dan perlindungan guru yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia.
“Apakah benar Indonesia itu kekurangan guru? rasio antara jumlah sekolah dan jumlah guru di Indonesia itu sebenarnya cukup. Bahwa jumlah guru di Indonesia ada 3,3 juta, sementara jumlah siswa ada sekitar 58 juta sehingga secara komposisi 1: 15 artinya satu guru mengajar 15 murid, ini ideal,” jelasnya.
Kendati demikian, hal itu menjadi tidak ideal karena distribusi guru belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Dijelaskan bahwa hingga saat ini, guru masih terkonsentrasi di pulau Jawa.
“Kenapa kita menjadi seolah-olah kekurangan guru sampai membuat program 1,3 juta tambahan? Karena guru-guru tersebut tersentralisasi dan terkonsentrasi di daerah perkotaan sehingga distribusinya menjadi masalah,” tuturnya.
Satriwan juga menekankan pentingnya bagi pemerintahan ke depan untuk meningkatkan perlindungan bagi para guru sesuai amanat UU Guru dan Dosen, yang terdiri dari perlindungan profesi, perlindungan hukum, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, serta jaminan hak atas kekayaan intelektual. (H-2)