Mayoritas Muslim tapi Kenapa Negara-negara Asia Tengah Sinis dengan Hijab?

Perempuan Kirgizstan menggunakan Burqa. (Bart Maat/EPA-EFE)

Jakarta: Kirgizstan baru-baru ini melarang niqab mulai 1 Februari 2025, dengan Argumen keamanan dan identitas publik. Langkah ini menambah daftar panjang negara-negara Asia Tengah yang semuanya merupakan negara mayoritas muslim dan negara bekas bagian Uni Soviet (kecuali Afghanistan), mengambil sikap keras terhadap simbol Pakaian Islami setelah sebelumnya Tajikistan melarang penggunaan Hijab pada Juni 2024.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan: Mengapa negara-negara di Asia Tengah tampak sinis terhadap hijab dan niqab?
 

Warisan Soviet: Dari Hujum hingga Sekularisme Paksa


Foto: Ritual pembakaran kerudung di Asia Selatan pada masa Uni Soviet setiap Hari Perempuan, 1927. (Great Soviet Encyclopedia)

Menurut Galib Bashirov dalam jurnal The Politics of the Hijab in Post-Soviet Azerbaijan (2020), Pelarangan hijab di banyak negara Asia Tengah bukan hanya persoalan Keyakinan, tetapi juga warisan Soviet.

“Hijab dikonstruksikan sebagai simbol fundamentalis, terbelakang, mengancam, dan asing bagi identitas nasional,” tulis Bashirov dalam penelitiannya di Alfred Deakin Institute for Citizenship and Globalisation, Deakin University, dikutip 2 Februari 2025.

Sikap negara-negara Asia Tengah terhadap hijab Enggak Pandai dilepaskan dari kebijakan Uni Soviet yang menekan Ungkapan Keyakinan dalam kehidupan publik. Salah satu kebijakan paling radikal adalah Hujum (serangan), kampanye yang diluncurkan pada akhir 1920-an oleh Joseph Stalin Kepada memaksa Perempuan Muslim di Asia Tengah melepas cadar dan hijab. Kampanye ini berlangsung dengan kekerasan: Perempuan yang menolak melepas hijab sering dihina di depan Biasa, mengalami pelecehan, bahkan dibunuh oleh Golongan-Golongan milisi pro-pemerintah.

Cek Artikel:  Tuai Pro Kontra, Hakim Pennsylvania Ogah Hentikan Pembagian Hadiah Rp15 Miliar dari Elon Musk

Menurut Marianne Kamp dalam Anti-Veiling Campaigns in the Muslim World: Gender, Modernity and the Politics of Dress (2014), Hujum bukan hanya gerakan emansipasi Perempuan tetapi juga strategi politik Soviet Kepada menghapus identitas Islam dari ruang publik.

Seiring waktu, sekularisme paksa menjadi bagian dari identitas negara-negara Asia Tengah. Adrienne Edgar dalam Bolshevism, Patriarchy, and the Nation: The Soviet ‘Emancipation’ of Muslim Women in Pan-Islamic Perspective (2006) menjelaskan bahwa negara-negara seperti Uzbekistan dan Tajikistan Lalu menggunakan kebijakan sekuler yang membatasi Ungkapan Islam, termasuk hijab, sebagai bagian dari warisan Soviet yang Tetap melekat dalam struktur pemerintahan.
 

Modernisasi, Nasionalisme, dan Kekhawatiran terhadap Islam Politik


Foto: Protes wajib Hijab di Iran, 2022. (Zee News)

Pemerintah Asia Tengah cenderung Memperhatikan hijab sebagai ancaman terhadap modernisasi dan identitas nasional. Dalam beberapa kasus, Pelarangan hijab dikaitkan dengan kekhawatiran terhadap pengaruh Islam politik. Bashirov dalam The Politics of the Hijab in Post-Soviet Azerbaijan (2020) menyoroti bahwa hijab sering dikaitkan dengan upaya negara-negara seperti Iran dan Arab Saudi Kepada menyebarkan pengaruhnya di kawasan.

Cek Artikel:  Soal Serangan di Kursk, Ukraina Tegaskan Tak Punya Niat Ambil Alih Area: Kami Enggak Seperti Rusia

Konsep “Islam versi nasional” di banyak negara Asia Tengah menekankan perbedaan antara Islam tradisional yang moderat dengan tren konservatif yang dianggap asing. Di Azerbaijan, misalnya, pejabat sering menyebut hijab sebagai “Pakaian impor” dan menyatakan bahwa Perempuan Azerbaijan secara tradisional mengenakan kelagayi atau yaylig, bukan hijab atau niqab.

Dalam kajian Bayram Balci dan Altay Goyushov di The Dynamics of Sunni-Shia Relationships: Doctrine, Transnationalism, Intellectuals and the Media (2013), fenomena ini dijelaskan sebagai bagian dari strategi negara-negara Asia Tengah Kepada membangun identitas nasional yang sekuler dan Enggak terlalu dipengaruhi oleh politik Islam Mendunia.

Selain itu, Terdapat kekhawatiran bahwa Ungkapan Keyakinan yang lebih konservatif dapat digunakan sebagai alat Kepada mengkonsolidasikan kekuatan politik berbasis Islam. Sejak jatuhnya Uni Soviet, pemerintah di Asia Tengah telah menghadapi tantangan dari Golongan Islam politik, seperti Hizb ut-Tahrir dan gerakan Islam radikal lainnya yang berupaya membangun pemerintahan berdasarkan hukum syariah.

Dalam kajian Bashirov, disebutkan bahwa pemerintah Uzbekistan secara aktif mengasosiasikan hijab dengan “Islam radikal” sebagai Langkah Kepada membenarkan kebijakan pelarangan.
 

Cek Artikel:  Kereta Api di India Tergelincir, Dua Orang Tewas dan Puluhan Terluka

 

Dampak Sosial dan Protes terhadap Pelarangan Hijab

\
Foto: Protes pelarangan hijab di Tajikistan, 2024. (MINA News Agency)

Meskipun pemerintah mengklaim bahwa Pelarangan ini bertujuan melindungi nilai-nilai sekularisme dan keamanan, banyak kritik yang muncul. Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL) melaporkan bahwa banyak Perempuan Kirgizstan yang mengenakan niqab kini memilih Enggak keluar rumah daripada menghadapi denda dan stigma sosial.

Di Tajikistan, Golongan hak asasi Insan melaporkan bahwa ribuan Perempuan yang memilih mengenakan hijab menghadapi diskriminasi dalam pekerjaan dan pendidikan.

Berdasarkan Bashirov perdebatan mengenai hijab di Azerbaijan dan negara-negara Asia Tengah semakin memperkuat polarisasi antara Golongan Islam konservatif dan pemerintah yang tetap berpegang pada prinsip sekularisme yang ketat.

Pelarangan hijab di Asia Tengah bukan sekadar kebijakan sekuler, tetapi juga bagian dari warisan Soviet dan strategi geopolitik modern. Pemerintah melihatnya sebagai perlindungan identitas nasional, sementara bagi banyak Muslim, ini adalah bentuk Restriksi kebebasan beragama. Sejarah panjang represi hijab, mulai dari era Stalin hingga kebijakan kontemporer, menunjukkan bahwa perdebatan ini Enggak akan berakhir dalam waktu dekat.

Mungkin Anda Menyukai