Timbunan Kegelisahan

GELISAH jiwa, bagai prahara

Orang muda, orang tua

Penuh amarah, membabi buta

Resah hidup

penjara dunia

Padang gelisah, panas membara

Hutan gelisah, memagar hidup

Resah langit, muntahkan badai’

 

Penggalan lirik lagu Resah dari grup Kantata Takwa itu kiranya bisa menggambarkan suasana batin sebagian orang di negeri ini. Orang tua, orang muda, para cerdik pandai, mahasiswa, aktivis sosial, kelas menengah, juga para jelata dikepung pagar hidup bernama gelisah. Dunia serasa penjara bagi jiwa-jiwa gelisah itu.

Eksis yang gelisah karena merasa demokrasi diinjak mati. Sebagian gelisah karena bejana etika dan moral kosong melompong. Beberapa gelisah karena akal sehat  sekadar gentong bolong. Banyak yang gelisah karena janji-janji sudah menjelma omong kosong.

Eksis yang berteriak lantang menggugat, “Drama prank apalagi yang akan disajikan? Kagak cukupkah kalian memain-mainkan nurani kami? Kagak cukupkah tumpukan janji yang sempat kami percayai bakal ditunaikan, tapi kalian ingkari?”

Cek Artikel:  Asam Sulfat, Dinasti DIY, lalu Ampun

Timbunan kegelisahan itu kian menggunung seiring dengan makin menggunungnya utang pemerintah hingga lebih dari Rp8.200 triliun. Onggokan kegelisahan itu terus melangit mengikuti tingginya harga beras, telur, cabai, dan daging ayam yang membuat banyak periuk rakyat terguling.

Padang gelisah membuat situasi panas membara. Hutan gelisah menjelma menjadi pagar yang mengepung kehidupan. Resah akan harga yang melangit bisa memuntahkan badai kemarahan, mungkin juga kefrustrasian.

Hari-hari ini, ketika sebagian orang yang terus terimpit merasa bahwa hidup seperti menunda kekalahan, kekuasaan masih suka bersilat lidah. Pernyataan mereka seperti hendak mengelabui keadaan. Ketika para pewarta menanyakan ihwal bagaimana mengatasi harga beras yang membubung tinggi, jawabnya, “Cek Pasar Cipinang, cek Pasar Johar.”

Wahai, apakah beras itu bisa secepat kilat berjalan sendiri ke rak-rak toko di dekat rumah warga? Apakah ia tidak perlu ongkos tambahan lagi hingga ke rak-rak itu? Konkretnya, beras Cipinang dan Johar itu tidak bisa jalan sendiri. Ia butuh dipanggul, dinaikkan ke truk-truk pengangkut, dibawa ke gudang-gudang distributor, diangkut lagi menuju retail-retail dan warung-warung pedagang.

Cek Artikel:  Cak Thoriq Vs Ambu Anne

Rakyat yang gelisah hendak dihibur pernyataan yang seolah meyakinkan, padahal sesungguhnya tak ubahnya memanipulasi kenyataan. Rakyat yang gelisah butuh kanal. Jiwa-jiwa yang gelisah perlu pembelaan. Seperti yang terjadi pada saat Socrates menyusun Apologia sebagai pembelaan diri (pleidoi) di persidangan.

Soceates yang gelisah dituduh ‘menghasut dan merusak pikiran’ generasi muda Yunani agar menolak mitos dewa-dewa versi negara dan mengajak mereka berpikir kritis. Pleidoi Socrates, meskipun berjudul Apologia, bukanlah ‘permintaan maaf atas kesalahan’ karena ia tidak bersalah dan ia orang baik. Ia cuma mengajak kaum muda untuk berani berpikir kritis.

Dunia menghormati Socrates sebagai pemikir besar yang mengubah perspektif manusia. Ia cuma hidup di era yang salah, ketika mayoritas manusia berada dalam kungkungan zaman jahiliah. Ia tetap dinyatakan bersalah, dihukum untuk minum racun. Tetapi, kegelisahan Socrates dicatat dengan tinta emas. Perjuangannya tidak sia-sia.

Cek Artikel:  Pagar Makan Orang

Kita memang tidak harus mencari martir yang sanggup meminum racun demi menegaskan terjadinya kepongahan kekuasaan. Tetapi, kekuasaan yang gelap mata mestinya didobrak keberanian yang menyala-nyala dan keteguhan sikap laiknya Socrates. Setidak-tidaknya tetaplah berteriak. Jangan simpan gelisah. Orkestrasikan kegelisahan menjadi pengingat mereka yang lupa.

Boleh juga sembari menyanyikan atau menyerukan bait-bait lagu Resah milik Kantata Takwa:

‘Pada kelelawar ia mengadu

Pada lampu-lampu jalan sandarkan angan

Pada nada-nada lontarkan marah

Pada alam raya ia berterus terang

Saya gelisah

Saya gelisah

Saya gelisah…’.

Mungkin Anda Menyukai