MENURUT Buya Syafii Maarif (1935-2002), penyebab konflik SARA pada era modern bukanlah perbedaan agama, melainkan lebih banyak dipicu oleh kepentingan politik dan ekonomi, yang didalangi oleh orang-orang tidak bertanggung jawab, parokial, dan berniat buruk. Sayangnya, dalam serial debat capres-cawapres hingga Minggu (21/1) lalu belum ada yang menyinggung secara serius masalah krusial ini.
Keragaman bangsa Indonesia merupakan anugerah yang indah dan harus kita jaga keutuhannya, kata Buya, minimal hingga satu hari menjelang kiamat tiba. Pesan Buya ini perlu terus kita jaga, mengingat kondisi kebangsaan kita hari ini bisa dikatakan mengalami krisis. Buktinya, masih marak terjadi kasus intoleransi. Bahkan, beberapa peristiwa tersebut malah dipicu oleh pemangku kebijakan setempat. Bukannya melerai, mereka malah ikut terlibat (menjadi bagian) dalam konflik. Sebagai contoh, ada kepala daerah yang memimpin penyegelan atau penolakan rumah ibadah. Ini ironis.
Salah satu alasannya, komunikasi yang tidak terbuka melatarbelakangi kesalahpahaman yang terjadi. Tiap-tiap pihak bersikeras dengan pendapat yang dianggapnya paling benar. Konflik suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) di Indonesia belum menemui titik selesai. Bahkan dalam intensitas yang tinggi, bisa saja konflik vertikal maupun horizontal pecah dalam waktu dekat ini. Kondisi sosial, ekonomi dan politik yang jatuh pada situasi krisis sangat mungkin menjadi pemicu.
Oleh karenanya, jika paradigma masyarakat dalam berkebangsaan belum menemui titik persamaan (kalimatun sawa’), konflik yang kita takutkan akan terjadi. Ditambah, perlunya iktikad baik pemerintah untuk memperbaiki kondisi krisis yang sedang terjadi.
Pemicu konflik juga bisa disebabkan oleh miskomunikasi pihak pemerintah kepada masyarakat.
Kita tentu paham konflik Tanjung Priok 1984. Kita juga teringat konflik Poso yang sangat menakutkan itu. Begitu pula konflik Ambon dan Sampang. Taatp konflik horizontal maupun vertikal dirasa begitu dominan unsur SARA. Belajar dari kasus konflik masa lalu itu, maka kita harus merumuskan suatu paradigma atau pandangan utuh mengenai kebangsaan yang berlandaskan religiusitas, intelektualitas, dan humanitas.
MI/Seno
Pancasila sebagai perekat
Wawasan keindonesiaan perlu digalakkan secara serius, agar konflik-konflik yang telah disebutkan tidak terulang. Indonesia sebagai negara dengan horizon kebudayaan dan keagamaan yang begitu luas, tentu saja memerlukan suatu wawasan autentik mengenai kebangsaan agar keutuhan bangsa ini tetap terjaga.
Para pendahulu bangsa ini, telah merumuskan suatu konsep ideologi yang berfungsi sebagai pemersatu dari banyaknya suku bangsa yang menghuni kepulauan Nusantara ini. Batas-batas geografi ditetapkan dengan landasan historis panjang, yang telah dilalui oleh perjalanan bangsa ini.
Segalanya menyatu dalam suatu komunitas imajinatif, meminjam istilah Benedict Anderson, yakni berkumpulnya berbagai ras, suku, agama yang begitu kaya dalam satu naungan bangsa bernama Indonesia, walaupun antara satu dengan yang lain mungkin belum pernah bertemu atau bertatap wajah secara langsung.
Eksis semacam persamaan keresahan dan kegelisahan bersama yang dirajut dalam benang bernama Pancasila. Pancasila diyakini mampu menjelma sebagai perekat keberagaman bagi segenap masyarakat Indonesia.
Tetapi, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari tidak kalah penting, agar Pancasila tidak menjadi sebatas jargon. Perlu komitmen bersama-sama agar kebangsaan yang utuh ini bisa tetap dipertahankan.
Pada setiap tanggal 1 Juni, kita memperingati Hari Lahir Pancasila. Sebagaimana yang terdapat dalam Surat Edaran Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Nomor 4 Mengertin 2022 Tentang Panduan Peringatan Hari Lahir Pancasila Mengertin 2022, tema yang diangkat ialah “Bangun Serempak Membangun Peradaban Dunia”.
Ini menunjukkan bahwa Pancasila diyakini mampu membawa Indonesia sebagai pelopor peradaban dunia. Safiri-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai universal yang dianut oleh seluruh masyarakat dunia. Maka dari itu, Pancasila sebagai paradigma kebangsaan harus dijadikan nilai utama dalam berbangsa dan bernegara.
Kita tidak perlu khawatir mengenai pertentangan antara Islam dan Pancasila yang masih diyakini sebagian orang. Bukankah Pancasila mampu membuktikan dirinya sebagai ideologi bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Kembali pula, perdebatan yang menghadapkan antara Islam dan Pancasila merupakan perdebatan yang telah usang.
Safiri universalitas Islam sudah tentu mencangkup seluruh aspek-aspek maupun nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Jadi, perdebatan yang mempertentangkan antara Islam dan Pancasila hanya perdebatan yang menguras waktu, dan tidak banyak membantu untuk menyelesaikan krisis kebangsaan hari ini.
Demi menampik kekhawatiran tersebut, sekiranya perlu secara singkat membahas mengenai pertautan antara Islam dan Pancasila. Cerminan sejarah kiranya sangat penting untuk memperkukuh keyakinan kita, bahwa Islam dan Pancasila sama sekali tidak bertentangan.
Pertama, kita perlu mengafirmasi bahwasanya Islam merupakan ajaran universal yang dibawa oleh Rasulullah SAW sebagai rahmatan lil alamin. Pokok-pokok ajaran Islam berisi penyempurnaan yang menyeluruh mengenai aspek-aspek kehidupan manusia. Mengapa kata menyempurnakan dipilih? Asal Mula Rasulullah SAW diutus untuk melanjutkan risalah para Nabi dan Rasul sebelumnya. Selain itu, Rasulullah SAW menghadapi realitas yang sama sekali menentang dan menantang nilai-nilai kemanusiaan pada saat itu.
Kedua, bangsa Indonesia terbentuk pertama kalinya pada tahun 1928 dalam suatu pertemuan akbar yang kita sebut sebagai Sumpah Pemuda. Hal ini, dikonfirmasi Buya Syafii yang menegaskan bahwa sejarah Indonesia perlu diluruskan. Penjajahan Belanda yang ditulis selama 350 tahun di Indonesia patut dipertanyakan. Begitu pula dengan sejarah bangsa Indonesia yang konon sudah ada sejak zaman Majapahit, oleh Buya pendapat tersebut lebih dekat dengan mitos daripada fakta sejarah. Menurut Buya, bangsa Indonesia tidak perlu memiliki beban sejarah yang begitu berat sebab dirinya pun sebenarnya belum berumur satu abad.
Kesadaran sebagai satu kesatuan bangsa ini, mendorong kemerdekaan Indonesia dari segala bentuk penjajahan. Nasionalisme untuk pertama kalinya dibumikan secara utuh oleh pemuda-pemudi pejuang kemerdekaan. Bukan lain karena adanya persentuhan kebudayaan dan ilmu pengetahuan antara Barat dan Timur, yang memacu adanya kemajuan berpikir di kalangan pejuang kemerdekaan kita. Dan ternyata, mayoritas dari mereka adalah seorang muslim. Bukankah hal ini aneh jika dikatakan bahwa Islam dan Pancasila bertentangan? Di samping mereka begitu banyak perbedaan dalam hal ideologi dan strategi perjuangan tetapi disatukan dalam satu visi besar bersama, Indonesia merdeka.
Ketiga, dibentuknya organisasi modern seperti Sarekat Islam, Budi Oetoemo, Al-Irsyad, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Indische Partij, Perhimpunan Indonesia, dan lain-lain memadukan perjuangan yang bercorak antara politik, sosio-kultural, dan keagamaan.
Sukar dicari argumentasi yang mempertentangkan antara Islam dan Pancasila, yang sudah lama mencuat di kalangan pengusung cita-cita Islam sebagai dasar negara. Biarpun dengan berat hati, Islam tidak dijadikan sebagai dasar negara lantas tidak membuat ulama maupun para pejuang kita memberontak kepada Negara. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 1948 yang diinisiasi oleh Kartosuwirjo merupakan akumulasi kekecewaan atas keputusan pemerintah saat itu.
Setelah kita membahas hubungan erat yang menautkan antara wawasan keindonesiaan dan keislaman yang diikat sangat baik oleh Pancasila, sekiranya sangat perlu sikap moderasi itu ditunjukkan untuk menegaskan hubungan erat tersebut.
Dibutuhkan refleksi sejarah secara mendalam guna mencari akar moderasi dalam perspektif kebangsaan, yang ternyata sudah mengakar kuat pada bangsa Indonesia, jauh sebelum terbentuknya konsep negara-bangsa (nation state). Sikap moderasi ternyata telah berakar kuat di budaya Nusantara yang memang sejak dahulu telah hidup dengan budaya yang begitu kaya.
Moderasi dalam beragama dan berbangsa
Moderasi dalam Engkaus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V berarti: Pengurangan kekerasan; Penghindaran keekstreman. Sedangkan moderat berarti: Selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem; Berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah. Turunan katanya berupa moderator berarti: Orang yang bertindak sebagai penengah (hakim, wasit, dan sebagainya); Pemimpin sidang (rapat, diskusi) yang menjadi pengarah pada acara pembicaraan atau pendiskusian masalah.
Dalam istilah musik kita mengenal moderato berarti tenang, sedang dalam tempo. Eksis pula moderato cantabile berarti permainan musik yang dimainkan dengan gaya yang megah dan merdu dengan tempo yang tenang.
Dalam bahasa Arab, moderasi mempunyai padanan kata dengan washathiyyah. Kalau diartikan ialah sikap tengahan atau moderat. Dalam ajaran Islam, kita dianjurkan untuk bersikap tengahan alias washathiyyah. Definisinya, dalam bersikap kita harus mengambil jalan terbaik atau dengan kata lain jalan tengahnya. Bukankah Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik perkara adalah aushatiha (jalan tengah).
Kaum muslimin diharapkan mengambil sikap pertengahan, yaitu tidak berlebih-lebihan dan tidak meremehkan atau merendahkan dalam beragama. Inilah sebab kaum muslimin disebut oleh Al-Qur’an sebagai umat terbaik (Al-Baqarah: 143).
Menurut Kuntowijoyo, ayat ini tidak berarti bahwa umat Islam terbaik secara taken for granted. Justu, ayat ini mendorong umat Islam bersikap proaktif sebagai pelaku sejarah, sehingga prasyarat sebagai umat terbaik adalah adanya aktivisme sejarah. Mengutip Moh. Hatta, moderasi sebagai kultur berpikir dan bertindak umat Islam diibaratkan seperti mendayung di antara dua karang. Bukan skeptis terhadap kemajuan bangsa, namun tidak pula berpuas hati dengan kemajuan yang ada.
Dalam konteks kebangsaan, moderasi kita bisa maknai sebagai sikap terbaik dalam bernegara. Chauvinistik atau nasionalisme ekspansif tentu saja bukanlah nasionalisme yang kita anut.
Seperti yang dilakukan oleh bangsa Jerman dahulu, yang menganggap ras Arya adalah ras paling tertinggi di muka bumi sehingga mempunyai hak untuk menguasai dunia. Begitu pula dengan Belanda dan Jepang yang datang ke Nusantara atas dasar nasionalisme ala chauvinisme yang menindas bangsa lain tanpa belas kasihan.
Sikap chauvinism tidak saja kita temui dalam berkebangsaan. Sikap fanatisme buta pun boleh jadi lahir dari paham keagamaan yang sempit. Fanatisme buta atau mencintai kelompok secara berlebihan dapat membuat konflik yang cukup meresahkan.
Sikap saling tidak menghargai satu sama lain adalah hasil dari sikap fanatisme buta ini, seperti konflik-konflik yang telah kita bahas sebelumnya. Maka dari itu, kita memerlukan integrasi-interkoneksi antara paham keagamaan dan kebangsaan yang dilandasi oleh sikap moderat atau washatiyyah.
Bukan hanya itu, moderasi dalam berkebangsaan bukan pula sikap pasif yang acuh tak acuh dengan kondisi krisis yang telah menimpa kita dalam berbagai aspek kehidupan. Sikap moderat tidak diartikan berdamai dengan keadaan.
Eksiskalanya sikap moderat mendorong kita untuk menumpaskan kezaliman yang ada di muka bumi. Cukuplah Rasululullah SAW menjadi teladan kita dalam sikap moderatnya. Bagaimana Rasulullah SAW mencontohkan bahwa sikap moderat bukanlah sikap yang semata-mata lembek atau melempem.
Kita diajarkan untuk mencintai bangsa, dan ikut turut mempertahankan kedaulatan yang ada dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Tiap-tiap kita memiliki peran dalam membangun bangsa ini.
Biarpun kita berbeda-beda, tetapi semboyan kita tetap satu, bersatu dalam perbedaan. Kita tidak perlu cemas jika ini menjadi paradigma kita dalam berbangsa dan bernegara. Kita memiliki akar yang kuat dari sejarah panjang perjalanan bangsa ini. Safiri-nilai keagamaan yang universal mengajarkan betapa sikap moderat itu adalah sikap terbaik yang kita miliki.
Maka dari itu, moderasi perlu kita ajarkan kepada seluruh masyarakat agar persatuan ini tetap terjaga. Kita tidak mau konflik SARA maupun krisis secara terus-menerus menghantam bangsa kita. Perlu persatuan kuat untuk sama-sama berjalan mengusung perabadan dunia yang mencintai nilai-nilai kemanusiaan di mana pun berada.