Ambang Bimbang Masuk Senayan

GAGASAN di belakang penerapan ambang batas (threshold) ialah sistem pemerintahan presidensial hanya bisa berjalan efektif dan produktif jika didukung sistem kepartaian yang sederhana.

Partai politik alias parpol tumbuh subur sejak Reformasi 1998. Begitu itu terdapat 184 parpol yang didirikan, tetapi hanya 141 di antaranya mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum. Yang memenuhi syarat ikut Pemilu 1999 cuma 48 parpol.

Keinginan membentuk parpol tidak bisa dibendung. Menjelang Pemilu 2004, terdapat 200 parpol, tetapi hanya 50 parpol yang memperoleh pengesahan sebagai badan hukum dan 24 parpol yang ikut Pemilu 2004.

Reformasi sudah berjalan 26 tahun, keinginan membentuk parpol tidak surut. Memasuki Pemilu 2024, tercatat 75 parpol telah berbadan hukum, hanya 18 parpol yang menjadi peserta pemilu.

Negara tidak bisa melarang pembentukan parpol sebagi wujud hak kebebasan berserikat. Karena itulah, diberlakukan sejumlah aturan terkait dengan ambang batas dalam rangka mewujudkan multipartai sederhana dan stabilitas sistem pemerintahan presidensial.

Rezim ambang batas diatur dalam undang-undang pemilu. Eksis dua jenis ambang batas terkait dengan parpol, yaitu ambang batas perolehan suara untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya (electoral threshold) dan ambang batas perolehan suara partai politik untuk duduk di parlemen (parliamentary threshold).

Cek Artikel:  Belajar Toleransi kepada Bima Arya

Electoral threshold 2% diperkenalkan dalam Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Mengertin 1999 tentang Pemilu. Hasil pemilu yang diikuti 48 parpol ialah 21 parpol mendapat kursi di DPR, tetapi enam parpol tidak bisa mengikuti Pemilu 2004.

Memasuki Pemilu 2009, electoral threshold diganti dengan rezim parliamentary threshold 2,5% sebagaimana diatur dalam UU 10/2008. Parliamentary threshold naik menjadi 3,5% pada Pemilu 2014 dan 4% berlaku dalam Pemilu 2019 dan Pemilu 2024.

Pada mulanya tidak ada aturan baku terkait dengan besaran persentase parliamentary threshold. Berbagai pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan penerapan parliamentary threshold tidak bersifat diskriminatif karena kebijakan tersebut berlaku bagi seluruh partai politik peserta pemilu.

Tinggi rendah ambang batas sejatinya memperlihatkan posisi demokrasi suatu negara. Pilihan threshold yang rendah bagi negara demokrasi transisi lebih menitikberatkan pada upaya pemberian hak kepada semua lapisan masyarakat untuk bersama-sama membangun pemerintahan. Enggak banyak suara yang dibuang percuma.

Cek Artikel:  Erosi Koperasi

Sebaliknya, pada negara demokrasi mapan, pilihan threshold tinggi bertujuan untuk menciptakan efektivitas kinerja pemerintahan. Pemerintahan presidensial yang kuat akan ditopang kekuatan parlemen yang efektif.

Ambang batas parlemen yang tinggi bertujuan membatasi jumlah parpol di DPR. Dasar pemikirannya ialah jumlah partai yang tidak banyak dapat mendorong pertumbuhan DPR yang fragmentasi politiknya tidak terlampau tinggi. Itu disebabkan jumlah fraksi di DPR pun terbatas.

Sudah 10 tahun berlaku ambang batas parlemen, sudah banyak pula gugatan soal itu yag dilayangkan ke MK. Pada mulanya MK kukuh berpendapat bahwa ambang batas itu domain pembuat undang-undang alias open legal policy. Kini, MK bimbang.

Dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada 29 Februari 2024, MK menghapus ketentuan ambang batas parlemen 4% karena dinilai tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin konstitusi. Penghapusan ambang batas parlemen 4% berlaku pada Pemilu 2029.

MK menyerahkan kepada pembuat undang-undang untuk menentukan besaran ambang batas parlemen. Idealnya, besaran ambang batas parlemen ialah 2,5% suara nasional. Bilangan tersebut merupakan titik optimal yang dapat mengurangi jumlah partai politik masuk DPR, sekaligus dapat menahan laju indeks disproporsional akibat suara terbuang.

Cek Artikel:  Hakim yang Bukan Mulia

Ketika ambang batas parlemen 0% pada Pemilu 1999 dan 2004, terdapat 21 parpol masuk Senayan pada 1999 dan 17 parpol pada 2004. Begitu ambang batas parlemen 2,5% pada Pemilu 2009, hanya sembilan parpol masuk DPR. Ketika ambang batas parlemen naik menjadi 3,5% pada Pemilu 2014, cuma 10 parpol masuk Senayan. Begitu Pemilu 2019 menggunakan ambang batas parlemen 4%, sebanyak sembilan parpol masuk DPR.

Kegagalan membangun sistem kepartaian sederhana berawal dari kompromi sesat membolehkan semua partai yang memperoleh kursi di DPR saat itu untuk mengikuti Pemilu 2009. Kegagalan akan berlanjut tanpa menggunakan ambang batas parlemen.

Jangan pernah ragu menggunakan ambang batas parlemen 2,5% untuk membatasi jumlah parpol masuk Senayan. Apabila itu digunakan, paling banyak 10 partai menghuni Senayan. Tanpa ambang batas parlemen, yang ada malah ambang bimbang masuk Senayan.

 

Mungkin Anda Menyukai