Menanti Bukti Kemandirian Pangan

KITA sudah kerap diingatkan akan kata-kata bijak untuk tidak melakukan aksi buruk muka cermin dibelah. Ketimbang harus bertanggung jawab atas kelalaian diri sendiri, salahkan saja pihak lain. Begitulah kira-kira maknanya. Apalagi, kalau pihak lain itu tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.

Perang yang terjadi di sisi lain dunia dan kondisi alam El Nino, misalnya, kerap dijadikan sebagai biang kerok melonjaknya harga bahan pokok sepanjang 2023. Memang, agresi Rusia terhadap Ukraina dan panas berkepanjangan berpengaruh pada kondisi dalam negeri. Terlebih lagi, sejumlah kebutuhan bahan pokok di Tanah Air bergantung pada pasokan dari negara luar. Ditambah, kekeringan yang melanda Indonesia, jelas akan mengurangi suplai bahan pokok.

Akan tetapi, rakyat Indonesia tidak bisa meminta pertanggungjawaban dari Rusia maupun yang menciptakan El Nino atas meroketnya harga bahan pokok. Rakyat yang menjadi korban jelas hanya bisa meminta pertanggungjawaban pengelola negara.

Persoalan harga-harga bahan pokok sebenarnya dapat terselesaikan antara lain bila bangsa ini memiliki kemandirian pangan. Kemandirian secara otomatis mengurangi ketergantungan terhadap pihak atau negara lain. Dengan kemandirian pangan, negeri ini tidak terlalu terpengaruh oleh suplai luar negeri yang berkurang ataupun nilai tukar mata uang yang bergejolak.

Cek Artikel:  Kejaksaan di Puncak Kepercayaan

Sayangnya, soal kemandirian pangan ini hanya riuh di musim politik. Ia renyah dijanjikan, tapi sangat alot dalam pelaksanaan. Dari jejak digital kita menemukan fakta Presiden Jokowi pernah berjanji untuk mewujudkan kemandirian pangan di negeri ini.

Sejak masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Jokowi sudah mendengungkan kemandirian alias swasembada pangan. Dia pun menargetkan kemandirian padi, jagung, dan kedelai dalam tiga tahun masa jabatan periode pertamanya. Makanya, pada periode pertama, Presiden Jokowi menargetkan perbaikan irigasi dan lahan persawahan di jutaan hektare lahan.

Janji dan realitas seakan menjadi dua sisi koin yang bertolak belakang. Di satu sisi, Presiden Jokowi kembali menebar janji dan optimisme swasembada beras pada 2022 setelah meleset dari target tiga tahun pertama pemerintahannya, tapi di sisi lain, janji itu kini jelas tinggal janji. Apalagi dalam tiga tahun terakhir, sebelum 2023 ini, keran impor pangan sudah hampir tutup.

Cek Artikel:  Adu Gagasan, Bukan Adu Singkatan

Tetapi, faktanya, sepanjang 2023 ini Presiden justru terus membuka keran impor untuk komoditas beras, jagung, dan gula. Badan Pusat Stagnantik (BPS) juga mengungkapkan ada kenaikan impor sepanjang Januari-Agustus 2023, khususnya untuk komoditas jagung, gandum, dan meslin.

Dengan begitu, meski memiliki lahan subur dan luas, indeks ketahanan pangan Indonesia menurut Dunia Food Security Index (GFSI) masih kalah ketimbang negara jiran yang memiliki lahan jauh lebih kecil seperti Singapura.

Indeks tersebut menunjukkan Singapura yang memiliki luas sedikit lebih besar daripada DKI Jakarta justru mampu menyediakan pangan dari sisi keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kualitas dan keamanan gizi, serta keberlanjutan dan adaptasi.

Dan, yang lebih ironis, indeks kelaparan masyarakat Indonesia berdasarkan Dunia Hunger Index (GHI) pada 2022 merupakan yang tertinggi nomor tiga di Asia Tenggara. Indonesia beruntung masih berada di titik moderat. Sedikit lebih baik daripada Timor Leste dan Laos.

Fakta juga menunjukkan harga sejumlah bahan pokok, terutama beras, sudah kian menjulang. Harga beras medium yang ditarget paling tinggi Rp10 ribuan per kilogram, nyatanya sudah jauh melampaui harga eceran tertinggi itu, menjadi Rp13 ribu rupiah. Beras premium yang HET-nya dipatok Rp13 ribu, di lapangan sudah Rp15 ribu lebih. Belum lagi harga telur, daging, dan minyak goreng yang sangat fluktuatif.

Cek Artikel:  Industri Tekstil Menjemput Tewas

Jadi, tidak mengherankan bila survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) memperlihatkan 58,2% atau sebagian besar responden mengaku tidak puas terhadap kinerja pemerintah dalam menjaga stabilitas harga bahan pokok.

Selain itu, sebanyak 21,4% responden menyatakan permasalahan yang mereka hadapi ialah harga sembako yang semakin tidak terkendali.

Pemerintah boleh-boleh saja mendorong optimisme, berupaya meyakinkan kalau harga-harga stabil, dan sibuk bersafari dengan tajuk blusukan. Akan tetapi, masyarakat tidak membutuhkan itu. Publik menuntut bukti, bukan janji. Rakyat memerlukan pekerjaan dan harga bahan pokok yang terjangkau dan tercukupi.

Rakyat sudah kenyang dengan janji yang tidak kunjung terealisasi. Rakyat butuh lebih kenyang karena bisa membeli kebutuhan pokok sehari-hari.

Mungkin Anda Menyukai