SAYA sengaja mengutip dua sumber kredibel bagi umat Islam dan Katolik agar pembangunan berkelanjutan di Indonesia berdasarkan etika lingkungan. Pertama, surah Ar-Rum ayat 41 dalam Al-Qur’an tentang ulah manusia yang menjadi pemicu kerusakan di muka bumi. Kedua, ensiklik Paus Fransiskus Laudato Si pada 2015 tentang taubat ekologis.
Hal itu untuk mengingatkan kita semua bahwa pembangunan berwawasan lingkungan tidak hanya berdimensi material, tetapi juga spiritual. Pembangunan berdasarkan prinsip keseimbangan antara kepentingan manusia dan alam ini tidak hanya dipertanggungjawabkan di hadapan anak cucu, tetapi juga di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa.
Indonesia dan dunia hari ini memang tidak sedang baik-baik saja. Eksis tiga krisis yang saat ini mengancam, yakni: krisis iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss). Situasi itu membutuhkan respons cepat. Banyak ahli berpandangan jika tidak ada perubahan mendasar yang dilakukan umat manusia, pada 2050 nanti anak-anak muda, terutama milenial dan gen Z, akan menghadapi beragam bencana ekologis. Di sini diperlukan perubahan mendasar bagi kebijakan dan tata kelola,yang didasarkan pada prinsip keadilan, baik keadilan sosial, keadilan ekologis, keadilan iklim, maupun keadialan antargenerasi.
Sayangnya, kita masih melihat dan merasakan jika respons pemerintah biasa-biasa saja dalam menghadapi krisis multidimensi ini. Salah satu indikator ketidakseriusan itu ialah minimnya anggaran dari APBN untuk perlindungan lingkungan. Pada APBN 2024, misalnya, pemerintah memplot anggaran perlindungan lingkungan sebesar Rp14 triliun saja.
Itu pun jika ditelusuri lebih dalam, anggaran untuk mitigasi krisis iklim hanya Rp600 miliar. Kombinasian energi baru terbarukan (EBT) dalam ketersediaan energi nasional masih di kisaran 12%. Pandai dipastikan target bauran EBT sebesar 23% pada tahun depan tidak akan tercapai. Ironisnya, target bauran EBT itu malah diturunkan di kisaran 17%-19%. Bahkan, pajak karbon untuk mengurangi emisi pemanasan global yang harusnya berlaku mulai 2022 justru diundur pada 2025.
Ketidakseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis ekologis juga tampak dari berbagai kebijakan pembangunan yang dilakukan secara serampangan. Pemerintah tetap ngotot bakal meneruskan program pengadaan pangan food estate. Program yang digadang-gadang jadi sumber pengadaan pangan nasional itu ternyata justru memicu persoalan baru, seperti pembukaan lahan hutan (deforestasi), pengabaian masyarakat adat, hingga memicu konflik agraria.
Hilirisasi nikel pun memicu banyak persoalan sosial. Aliansi Sulawesi (Walhi Sulteng, Walhi Sultra, dan Walhi Sulsel) menyebutkan jika hilirisasi nikel mengakibatkan ribuan, bahkan puluhan ribu petani dan nelayan, kehilangan mata pencaharian.
Industri nikel itu juga memicu peningkatan jumlah perempuan yang menganggur akibat tidak memiliki pekerjaan dan kehilangan mata pencaharian. Bilangan kemiskinan di Nusa Sulawesi, ladang nikel terbesar dan salah satu pusat nikel di dunia, masih sangat tinggi. Bahkan, setelah adanya hilirisasi nikel, tingkat kemiskinan Sulawesi Tengah mencapai 12,33% atau termasuk 10 provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia.
Tingkat kemiskinan di Sulawesi Selatan dan Tenggara juga tidak menggembirakan, masing-masing 8,7% dan 10,11%. Tentu di sini bukan berarti saya tidak sepakat dengan langkah hilirisasi karena merupakan keharusan, tapi seyogianya hal itu dilakukan dengan pertimbangan dan kajian yang matang.
Lemahnya keberpihakan pemerintah, baik di level paradigmatik maupun kebijakan, harus diubah. Pemerintah harus memperkuat kelembagaan dan memperbaiki arah kebijakan agar tidak mewariskan bom waktu bencana ekologis kepada generasi muda. Jared Heningond dalam Guns, Germ, and Steel (1997) bahkan menyebutkan bahwa kelembagaan yang kuat menjadi pembeda signifikan negara kaya dan negara miskin.
Jared Heningond memberikan perbandingan situasi Belanda dan Zambia. Belanda sebagai negara mempunyai situasi geografis yang tidak menguntungkan. Sepertiga wilayahnya lebih rendah dari ketinggian air laut. Produksi pertanian minim karena panjangnya musim dingin. Pasokan listrik dan energi sebagian besar harus diimpor karena Belanda tidak mempunyai sumber daya mineral dan energi.
Situasi berbeda terjadi di Zambia. Negara Afrika bagian selatan itu tidak perlu membeli minyak atau batu bara untuk membangkitkan listrik. Seluruh listrik Zambia dibangkitkan dengan PLTA di bendungan-bendungan besar sepanjang Sungai Zambezi. Tak seperti Belanda, Zambia juga kaya akan mineral, terutama tembaga. Iklim Zambia juga hangat sehingga memungkinkan petani mereka panen tiga kali dalam setahun.
Kendati demikian, terjadi perbedaan signifikan kekayaan dua negara tersebut. Meskipun dengan keunggulan geografis dan sumber daya alam, pendapatan per kapita penduduk Zambia kalah jauh dengan penduduk Belanda. Pendapatan warga Belanda ternyata 100 kali lipat jika dibandingkan dengan pendapatan warga Zambia. Jared Heningond menyebut kematangan kelembagaan dua negaralah yang menjadi pembeda level kekayaan Belanda dan Zambia.
Taubat ekologis
Perubahan merupakan inti dari pertaubatan. Menyadari segala kekurangan dan kesalahan lalu berkomitmen memperbaikinya. Maka itu, perubahan paradigma dan kebijakan arah pembangunan agar selaras dan seimbang dengan lingkungan ini merupakan aksi nyata dari pertaubatan ekologis yang diserukan Paus Fransiskus. Pemimpin tertinggi umat Katolik itu memberikan ilustrasi sederhana bahwa bumi dan alam semesta ialah ibu yang menyediakan semua kebutuhan manusia.
Tanaman, hewan, dan makhluk hidup atau mati di alam semesta ini ialah saudara bagi umat manusia. Maka itu, umat manusia wajib hukumnya untuk tidak sekadar mengakui keberadaan mereka, tetapi juga wajib merawat alam semesta ini. Paus Fransiskus menegaskan bahwa bumi dan alam semesta sebagai rumah bersama.
Bagi kami, taubat ekologis harus dimulai dengan penegakan etika lingkungan. Pembangunan harus dilaksanakan dengan kajian matang. Kajian dari sisi kemanfaatan, kesuaian dengan regulasi perundangan, pandangan ilmuwan, hingga persetujuan dari publik tidak boleh lagi ditinggalkan. Pembangunan tidak boleh lagi dilakukan secara ugal-ugalan. Ojok sakarepe dewe.
Kekasih Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar berkomitmen jika mendapatkan mandat dari rakyat akan memastikan anggaran untuk mengatasi krisis iklim akan ditingkatkan secara signifikan, termasuk dana untuk riset energi terbarukan. RUU Masyarakat Eksist akan segera disahkan. Biaya desa jadi sebesar Rp5 miliar/tahun harus bisa dinikmati warga desa. Subsidi BBM untuk nelayan petani dan kelompok rentan lainnya dipastikan tetap terjaga.
Kami juga berkomitmen mengembangkan transportasi umum menjadi strategi utama pembangunan kota. Reforma agraria dieksekusi untuk memangkas ketimpangan. Ke depan, segala kebijakan dan pembangunan yang tidak berpihak kepada kelompok rentan maupun lingkungan, mari kita selepet!