Mimpi Kagak baik Pemetik Buah Stroberi asal Indonesia di Inggris

Mimpi Buruk Pemetik Buah Stroberi asal Indonesia di Inggris
Ilustrasi.(Dok Al-Jazeera)

PEKERJA Migran Indonesia (PMI) yang memetik buah di Inggris mengaku terjerat utang setelah dipecat karena tidak memenuhi target kerja. Pasalnya, mereka membayar ribuan dolar AS untuk pergi ke Inggris dan kini terancam pulang ke tanah air tanpa uang sepersen pun.

Seorang PMI, Abdul, mengatakan bahwa ia berangkat ke Inggris bersama sembilan warga Indonesia lain di bawah skema pekerja musiman. Skema ini memberikan visa enam bulan kepada pekerja asing untuk bekerja di pertanian Inggris.

Mereka dipekerjakan oleh perekrut Inggris, Agri-HR. Abdul dikirim ke Haygrove atau perkebunan di Hereford, sekitar 215 km barat daya London pada Mei lalu.

Baca juga : Inggris, dari Kekaisaran hingga Monarki Konstitusional dan Sains

“Seorang teman saya yang pernah berkunjung ke Inggris memberi tahu saya tentang peluang ini. Dia bilang saya bisa menghasilkan US$65 per hari dengan memetik buah,” Abdul yang meminta untuk menggunakan nama samaran kepada Al Jazeera.

Sebelumnya, Abdul ialah penjual es krim keliling di Jawa Timur dengan penghasilan sekitar US$130 per bulan. Dia pun menerima tawaran temannya tersebut. Dengan modal sekitar US$4.000 yang ia pinjam dari keluarga, ia mengurus keberangkatannya ke Inggris.

Dia membayar biaya kepada dua organisasi pihak ketiga di Indonesia atau agen perekrutan. Masing-masing ialah PT Mardel Anugerah International dan pusat pekerja bernama Forkom.

Baca juga : Ini Silsilah Keluarga Kerajaan Inggris

Abdul menambahkan para pekerja di Haygrove diharapkan memetik 20 kg ceri dan stroberi per jam. Tetapi, tugas itu menjadi mustahil karena kurangnya buah yang tumbuh. Kondisi ini semakin memburuk seiring dengan berlalunya musim panen.

“Kami (pekerja Indonesia) selalu ditempatkan di pinggir perkebunan yang buahnya sedikit. Beberapa kali kami diberikan pohon yang kondisinya tidak bagus. Kami memetik semua buah yang ada, tetapi kami tidak bisa berbuat lebih dari itu,” ujarnya.

Abdul mengatakan dia dan empat pemetik buah asal Indonesia lain menerima tiga peringatan tertulis sebelum mereka dipecat dalam waktu lima hingga enam minggu setelah tiba di perkebunan. Dia juga menuding pekerja lain yang belum memenuhi target tidak diberhentikan.

Baca juga : 87 Negara Terbaik Dunia pada 2023, Indonesia Nomor Berapa

Cek Artikel:  Ubah Aturan Ibadah di Masjid Al-Aqsa, Netanyahu Tegur Keras Menteri Ben-Gvir

“Demi mereka melepaskan kami, Haygrove hanya berkata, ‘Ampun, kami juga tidak menginginkan ini,’ dan memberikan kami surat resmi yang menyatakan kami telah dipecat dan tiket kami kembali ke Indonesia berangkat keesokan hari,” ujarnya.

Haygrove menjawab

Dalam pernyataan yang diberikan kepada Al Jazeera, Haygrove mengatakan para pekerja tersebut dipecat karena kinerja yang buruk dan pihaknya berkomitmen terhadap praktik ketenagakerjaan yang adil dan kesejahteraan semua pekerja mereka.

“Pada 24 Juni 2024, lima pekerja Indonesia diberhentikan setelah menjalani proses disipliner yang menyeluruh dan adil karena kinerja yang terus-menerus buruk. Pemecatan ini dilakukan sesuai dengan prosedur manajemen kinerja terstruktur kami yang mencakup beberapa tahap umpan balik, pelatihan, dan dukungan,” kata pihak peternakan.

Baca juga : 25 Negara dengan Populasi Terbanyak pada 2023

Gangmasters and Labor Arangse Authority (GLAA), badan utama Inggris untuk menyelidiki eksploitasi tenaga kerja, awal tahun ini membuka penyelidikan atas kasus tersebut. “Pemegang lisensi tidak boleh mengenakan biaya kepada pekerja untuk layanan pencarian kerja apa pun. Tetapi, biaya lain seperti perjalanan dan pemeriksaan kesehatan mungkin dikenakan selama bersifat sukarela,” tulis aturan perizinan GLAA. “Barang atau jasa tambahan harus bersifat opsional dan tidak dapat didiskriminasi jika tidak digunakan,” sebut peraturan tersebut.

Dalam pernyataan yang diberikan kepada Al Jazeera, GLAA mengatakan pihaknya sedang menyelidiki keluhan para pekerja. “Kami saat ini sedang menyelidiki proses perekrutan sejumlah pekerja Indonesia di Inggris dan berupaya untuk mengetahui keadaan sebenarnya. Demi ini, kami tidak bisa berkomentar lebih jauh saat penyelidikan sedang berlangsung,” katanya.

Haygrove mengatakan pihaknya menanggapi tuduhan pelanggaran dengan sangat serius dan sepenuhnya bekerja sama dengan penyelidikan GLAA. “Kami tidak mengetahui biaya perekrutan ilegal sampai kekhawatiran disampaikan oleh pihak ketiga dan kemudian dilaporkan ke GLAA oleh Agri-HR. Haygrove memiliki kebijakan yang tidak menoleransi praktik semacam itu dan secara aktif mendukung penyelidikan GLAA,” kata pihak peternakan.

“Kami menekankan bahwa tidak ada permasalahan yang diangkat langsung oleh para pekerja Indonesia mengenai perekrutan, akomodasi, atau kondisi kerja mereka di Haygrove,” tambahnya. 

Cek Artikel:  Spanyol: Tekanan Buat Gencatan Senjata Harus Ditingkatkan

Setelah pemecatan mereka oleh Haygrove, Abdul dan dua pekerja lainnya memutuskan untuk tetap tinggal di Inggris. Abdul kini telah mendapatkan pekerjaan di pertanian lain dengan memetik selada, meskipun visa enam bulannya akan habis pada November. Setelah itu, ia harus kembali ke Indonesia.

PT Mardel mengatakan kepada Al Jazeera bahwa warga Indonesia yang ingin memanfaatkan skema pekerja musiman Inggris harus mampu menanggung biaya visa, pemeriksaan kesehatan, tiket pesawat pulang pergi dan asuransi, serta biaya pemrosesan lain sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pihak Indonesia, Kementerian Tenaga Kerja.

“Perkiraan biaya yang dibutuhkan maksimal Rp33 juta (US$2.123),” kata juru bicara perusahaan. “Para pekerja yang kami tempatkan di Inggris sangat senang bisa bekerja di sana dengan gaji yang sangat bagus. Peternakan juga menaruh perhatian besar terhadap kesejahteraan mereka,” kata juru bicara tersebut.

PT Mardel juga mengatakan tidak ada hubungan dengan Forkom. Forkom juga tidak menanggapi permintaan konfirmasi atas kasus ini.

Pekerja lain

Beberapa pekerja lain yang menunggu keberangkatan ke Inggris mengatakan kepada Al Jazeera bahwa mereka juga dibebani utang. Ali, seorang pelamar pekerja musiman dari Provinsi Jawa Tengah, mengatakan dia masih menunggu untuk berangkat ke Inggris setelah Forkom memberi tahunya bahwa dia bisa berangkat pada Agustus tahun lalu.

“Mereka mengatakan jika saya pergi ke Inggris, saya akan mendapat US$65 per hari dengan memetik stroberi. Saya harus berhenti bekerja di Indonesia agar saya bisa fokus mengumpulkan semua dokumen, tetapi kemudian saya tidak bisa pergi,” Ali, yang meminta untuk menggunakan nama samaran, mengatakan kepada Al Jazeera.

Ali mengatakan dia sekarang punya utang sekitar US$1.300 kepada keluarganya. “Saya telah menghabiskan semua uang saya. Sebelumnya, saya biasa membeli barang bekas dan menjualnya di pinggir jalan. Saya telah melakukan itu selama 25 tahun dan itu cukup bagi saya untuk menafkahi keluarga saya,” katanya.

“Sekalian informasi tentang skema tersebut dikirim melalui Forkom dan mereka memberikan janji yang tidak ditepati. PT Mardel juga mengatakan bahwa kami perlu mentransfer uang kepada mereka untuk menjamin pekerjaan kami di Inggris,” sebutnya. 

Cek Artikel:  Paus Fransiskus Harap Negoisasi Gencatan Senjata di Gaza Segera Temukan Titik Temu

“Istri dan anak-anak saya menderita karena semua uang kami habis,” kata Ali. “Saya tidak mampu membayar biaya sekolah anak-anak saya dan uang saku mereka. Akibat terbesar terjadi kepada keluarga saya. Saya selalu bertengkar dengan istri saya sekarang karena kami tidak punya uang,” lanjutnya.

Dalam pernyataan yang dikirim ke Al Jazeera, KBRI London menyatakan pihaknya mengetahui laporan eksploitasi pemetik buah Indonesia di Inggris. “KBRI London mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk memastikan penempatan pekerja migran Indonesia musiman ke Inggris sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku di kedua negara,” kata KBRI London.

Kedutaan menyatakan mengetahui bahwa 136 pekerja musiman tiba di Inggris dan ditempatkan di tujuh tempat kerja di Inggris pada 22 Juli 2024. “Penempatan pekerja musiman tersebut telah sesuai dengan rekomendasi Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia serta verifikasi dan konsultasi dengan otoritas terkait di Inggris,” ujarnya.

Menanggapi tuduhan ada pungutan liar selama proses perekrutan, kedutaan mengatakan pihaknya mendukung penyelidikan dan penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak berwenang di Indonesia dan Inggris, termasuk mendorong penyelidikan oleh GLAA.

Seorang aktivis hak-hak buruh yang mendukung pekerja Indonesia, Andy Hall, mengatakan perusahaan-perusahaan Inggris semakin banyak yang beralih ke pekerja migran karena Brexit. “Maksudnya mereka sekarang merekrut tenaga kerja dari tempat yang jauh, tetapi mereka tidak mau membayar biayanya. Apabila ada yang tidak beres, ini situasi yang sangat berisiko karena para pekerja mengira mereka akan mendapat banyak uang,” kata Hall kepada Al Jazeera.

“Ini kesalahan pihak Inggris. Sistemnya rusak dan para pelakunya rusak. Mereka lemah dan naif. Mereka telah membuat skema bahwa pekerja harus membayar biayanya sendiri. Apabila mereka melaksanakannya dengan benar, semua akan baik-baik saja,” tambahnya.

Hall mengungkapkan supermarket di Inggris ialah bagian utama dari masalah ini karena mereka ingin membeli produk dengan harga termurah, sehingga perusahaan pertanian tidak mau membayar biaya perekrutan pekerja yang lebih layak. “Supermarket bertanggung jawab atas semua kekacauan ini. Mereka punya uang untuk melakukan ini dengan benar. Itu semua hanyalah tekanan pada harga,” pungkasnya. (Z-2)

Mungkin Anda Menyukai