Visi Pendidikan 2024-2029

Visi Pendidikan 2024-2029
(Dok. Pribadi)

PENDIDIKAN merupakan kunci kemajuan bangsa. Semakin tinggi kualitas pendidikan, semakin pesat kemajuan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan menjadi isu yang sangat relevan untuk diangkat dalam pemilihan umum presiden di Indonesia.

Dalam visi-misi para calon, beragam gagasan dan kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan ditawarkan. Tetapi, perlu dipastikan harus selaras dengan masalah pendidikan yang ada.

Berdasarkan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN, yang pada 2023 mencapai sekitar Rp600 triliun dari total APBN Rp3.000 triliun (Rp3.000 triliun dalam lima tahun). Kebijakan yang kurang tepat dapat merugikan kualitas pendidikan Indonesia, mengancam visi mencerdaskan bangsa sehingga bisa jauh panggang dari api.

Berdasarkan hal tersebut, Konsorsium Masyarakat Acuh Pendidikan Indonesia, yang terdiri dari 18 organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, seperti Unicef, South East Asian Ministers of Education Organization/Regional Centre for Early Childhood Care, Education and Parenting (SEAMEO CECCEP), Yayasan Artikel 33 Indonesia, Tanoto Foundation, Smeru, CSIS, CIPS, Penemuan, PSPK, Indonesia Mengajar, dan Filantropi Indonesia, pada kegiatan Policy Lembaga on Education (PFoE) pada Desember 2023, telah menyampaikan dokumen Komunike Kebijakan Pendidikan kepada tim pemenangan tiap paslon peserta Pemilu 2024. Langkah itu diambil untuk mengawal kebijakan dari pemenang pemilu agar sesuai dengan kebutuhan prioritas pendidikan Indonesia.

Komunike itu berfokus kepada tujuh hal: 1) inklusivitas pendidikan; 2) kompetensi guru dan dosen; 3) kurikulum dan metode mengajar-belajar; 4) ekosistem pembelajaran yang nyaman dan aman dari segala bentuk kekerasan; 5) digitalisasi pendidikan yang inovatif; 6) keterlibatan orangtua dan masyarakat umum; serta 7) peran perguruan tinggi dalam pembentukan kepemimpinan yang berdampak dan bermakna.

Cek Artikel:  Digitalisasi dan Reformasi Birokrasi

 

Pemetaan masalah

Dalam penanganan masalah pendidikan yang kompleks ini, skala prioritas harus dibuat, dimulai dari kebijakan perluasan akses pendidikan dasar.

Pengembangan dan pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan fondasi penting untuk keberhasilan pendidikan dasar dan kesuksesan anak pada masa depan karena mayoritas dari perkembangan dan pertumbuhan otak anak terjadi pada tiga tahun pertama (Tierney dan Nelson, 2008).

Dengan melihat hal tersebut, data Kemendikbud-Ristek 2022 menunjukkan angka partisipasi kasar (APK) PAUD di Indonesia baru mencapai 45,87% (Kemendikbud, 2023). Itu menunjukkan masih banyak anak Indonesia belum mendapat akses ke PAUD, padahal pendidikan usia dini yang berkualitas membantu anak-anak mengembangkan enam kemampuan fondasi: 1) nilai agama dan budi pekerti; 2) kematangan emosi yang cukup untuk berkegiatan di lingkungan belajar; 3) keterampilan sosial dan bahasa yang memadai untuk berinteraksi sehat; 4) pemaknaan terhadap belajar yang positif; 5) pengembangan keterampilan motorik dan perawatan diri; dan 6) kematangan kognitif.

Lampau, melihat tren partisipasi, angka bersekolah anak usia 7-12 tahun meningkat 69% pada 1973, 84% pada 1978, dan 92% pada 1987 (Esther Duflo, 2000). Tetapi, pada 2021 mengalami penurunan. Penyebabnya bisa berbagai macam, mulai capaian saat ini berkisar 90%, kurangnya biaya, tingkat kesadaran rendah, hingga bahkan infrastruktur yang kurang memadai padahal infrastruktur (bangunan serta jaringan jalan menuju sekolah) terbukti menjadi hal yang penting dalam peningkatan akses pendidikan.

Cek Artikel:  Perempuan di Garis Depan Revolusi Teknologi Informasi

Berlanjut ke kualitas pengajar. UU Nomor 14 Pahamn 2005 Pasal 9 mengamanatkan tiap guru wajib memperoleh kualifikasi akademik minimal S-1 dan sertifikat pendidik. Ketika ini 260 ribu guru belum S-1 dan 1,6 juta belum tesertifikasi (Puslapdik, 2022). Pemerintah menyikapinya dengan kembali membuka pendaftaran pendidikan profesi guru (PPG) dalam jabatan, dengan kuota mencapai 72 ribu lebih pada 2023 dan akan bertambah pada 2024. Tetapi, itu menunjukkan masih banyak guru yang kurang sejahtera karena tidak ada jaminan jika tidak menjadi ASN yang memiliki syarat S-1.

Kepada fokus berikutnya, kurikulum dan metode belajar-mengajar, ekosistem pembelajaran yang dinamis, dan digitalisasi pendidikan. Masalah hal tersebut ialah adaptasi terhadap kurikulum yang berubah ke guru, tenaga pendidik, dan siswa. Terlebih, perkembangan teknologi memaksa pendidik menyesuaikan ekosistem pembelajaran, merancang pembelajaran dengan teknologi, dan memiliki digital mindset yang masih terbatas.

Di pendidikan tinggi, kualitas lulusan yang tidak siap kerja dan tidak match dengan kebutuhan pasar menjadi fokus lainnya. Menurut BPS pada 2023, 12% pengangguran didominasi lulusan perguruan tinggi yang salah satunya disebabkan kurangnya soft skill dan kemampuan kepemimpinan. Pendidikan di kampus tidak serta-merta dapat digunakan di dunia kerja dan dibutuhkan pelatihan untuk melengkapi kualitas dan kesiapan para lulusan.

Cek Artikel:  Pilpres, Privat, dan Publik

 

Pemetaan peran

Dari pemetaan di atas, pemerintah dan masyarakat dapat berbagi peran. Pemerintah dapat melanjutkan fokus mengoptimalkan perann mereka sesuai dengan UU. Kepada layanan wajib belajar sembilan tahun dan peningkatan infrastruktur, masyarakat sipil bisa mengambil peran lain dan berkolaborasi. Misalnyanya, pengembangan soft skill. Hal itu sudah dilakukan banyak pihak di dalam masyarakat sipil secara mandiri dan berdaya oleh sektor swasta. Salah satunya Tanoto Foundation yang melengkapi program beasiswa jenjang S-1 dengan pelatihan kepemimpinan, pengembangan soft skill yang terstruktur.

Peran lain ialah kurikulum dan metode belajar-mengajar. Banyak inisiatif masyarakat yang menjalankan peran itu secara mandiri dan berdaya dengan kualitas yang cukup bisa dipertanggungjawabkan.

Konsorsium Masyarakat Acuh Pendidikan Indonesia pun mengambil peran dalam peningkatan kompetensi guru dan keterlibatan orangtua di dalam pembelajaran anak di sejumlah kabupaten, yang berhasil mengubah guru menjadi lebih interaktif dalam mengajar dan melek teknologi, serta orangtua yang lebih peduli untuk terlibat langsung mendukung pembelajaran.

Tantangan pendidikan yang kompleks itu membutuhkan sinergi kuat antara pemerintah dan masyarakat. Tetapi, tonggak gerakan tetap ada di pemerintah. Presiden baru diharapkan dapat memberikan kebijakan yang berdampak termasuk dalam hal peningkatan pendidikan Indonesia. Siapa pun pemenang pemilu, apa pun partainya, pendidikan harus tetap menjadi prioritas program pemerintah selanjutnya.

Mungkin Anda Menyukai