Permintaan Ampun Imajiner Jokowi

Permintaan Maaf Imajiner Jokowi
Gantyo Koespradono, Pemerhati Sosial Politik, Caleg DPR RI(MI/HO)

PUSAT perhatian masyarakat kini terus mengarah ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah Presiden membuat pernyataan-pernyataan yang tidak “terarah”. Dengan mudah kita menyimpulkan pernyataan-pernyataan itu mengarah agar anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang dipasangkan dengan Prabowo Subianto, memenangi kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Beberapa hari lalu, dari dalam mobil dinas kepresidenan yang ditumpanginya, teracung lengan dengan salam dua jari yang dengan mudah ditafsirkan orang bodoh sekalipun bahwa itu adalah bentuk dukungan untuk paslon presiden nomor urut 2 (Prabowo-Gibran).

Ketika wartawan menanyakan soal salam dua jari tersebut, itu tangan siapa, Jokowi tidak memberikan jawaban jelas. Ia hanya menyebut kata “menyenangkan”.

Karena Jokowi tidak memberikan jawaban jelas, salam dua jari yang diperlihatkan dari mobil kepresidenan saat melintas di Salatiga tersebut tangan siapa, okelah kita terima saja itu sebagai jari dan salam misterius.

Dituding memihak kepada paslon tertentu, Jokowi akhirnya bilang bahwa Presiden, juga pejabat negara lainnya, boleh berkampanye dalam pilpres. Itu sah-sah saja.

Persisnya Jokowi berkata seperti ini, “Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Loyalp menteri sama saja. Presiden itu boleh lho kampanye, boleh lho memihak.”

Ambyar? Nanti dululah. Kita tunggu apa langkah berikut dari Jokowi. Apabila ia konsisten dengan apa yang dikatakan, kita tentu harus memakluminya jika hari ini atau esok, Jokowi akan terang-terangan berkampanye, “Pilih Prabowo-Gibran. Jangan lupa nomor 2. Prabowo-Gibran, Prabowo Gibran. Dua, dua, dua!”

“Infrastruktur politik” tampaknya juga sudah disiapkan demi Jokowi. Ketua Komisi Pemilihan Biasa Hasyim Asy’ari mengatakan presiden memiliki hak ikut berkampanye sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Tetapi, jika Presiden Joko Widodo akan ikut berkampanye, harus mengajukan cuti ke presiden.

Cek Artikel:  Pencatatan Perkawinan dan Ide KUA Inklusi

Apabila “infrastruktur politik” yang disiapkan seperti itu, kita tunggu Presiden Jokowi berdiri di depan cermin dan berkata kepada dirinya sendiri: “Pak Presiden, izinkan saya menjadi tim sukses paslon nomor urut dua dan berkampanye untuk mereka. Siap! Laksanakan!”

Para ahli hukum, pakar dan para cerdik pandai jauh-jauh hari dan sampai sekarang terus mengingatkan Presiden agar hati-hati, tetap menjaga etika, dan tidak cawe-cawe dalam urusan pilpres. Pasalnya, Jokowi adalah seorang negarawan karena dia adalah kepala negara.

Buat diketahui, saya menulis pengantar opini seperti di atas, bukan lantaran saya tidak suka kepada Jokowi. Apalagi benci.

Tak! Saya adalah salah satu dari sekian puluh juta warga negara Indonesia yang mengantarkannya ke Istana karena pada Pilpres 2014 dan 2019 saya memilihnya.

Tak cuma itu. Pada Pilpres 2014, saya juga ikut beriuh rendah di Media Center Jokowi-JK (Jl Cemara 19 Menteng Jakarta Pusat) sebagai bagian dari tim sukses yang mengurusi konten untuk media massa dan media sosial.

Hitung-hitung kalau Jokowi jadi aktor utama dalam film “Pilpres 2014”, saya hanyalah pemain figuran alias cuma numpang lewat doang. Kalau oleh editor adegan saya dipotong atau diedit, tidak akan merusak jalannya cerita.

Saya bahkan pernah menulis di sebuah platform opini ternama bahwa Jokowi layak mendapat Nobel Perdamaian karena keberaniannya turun mendamaikan perang saudara di Afghanistan. Sementara, di dalam negeri, ia tidak membalas dan tetap tersenyum ketika ada sebagian rakyatnya yang memaki-maki dan memfitnahnya.

Oleh sebab itu, saya masih berharap hari-hari ini Jokowi sebagai negarawan menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama ini terkait dengan Pilpres 2024 tidak elok. Tak etis, bahkan cenderung melanggar tata krama bernegara.

Cek Artikel:  Mengerami Kasus Korupsi sebagai Monster Politik Kekuasaan

Saya cuma bisa berimajinasi Jokowi menyampaikan permintaan maaf (meskipun cuma imajiner) kepada masyarakat Indonesia seperti ini:

“Kerabat-saudara sebangsa dan setanah air yang saya cintai. Seperti saudara-saudara ketahui, menjelang Pemilu Serentak 2024, khususnya pilpres telah muncul dinamika yang begitu hangat dan menyinggung peran saya sebagai kepala pemerintah dan kepala negara.

Dalam kesempatan yang baik ini, izinkan saya menyampaikan permohonan maaf kepada rakyat Indonesia, kepada saudara-saudara semua karena saya selaku kepala pemerintahan yang notabene adalah penyelenggara pemilu, tidak fair menghadapi Pemilu 2024.

Meskipun saya tetap menghargai Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yudisial yang independen, apa yang telah diputuskan oleh lembaga itu terkait dengan persyaratan bahwa batasan usia capres/cawapres tetap 40 tahun dan ditambah diktum ‘pernah atau sedang menjabat kepala daerah’ telah menciderai konstitusi kita.

Ya menciderai konstitusi, bahkan meruntuhkan demokrasi kita sebab tambahan narasi itu telah memungkinkan anak sulung saya, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden mendampingi capres Bapak Prabowo Subianto.

Tetapi, karena proses dan tahapan pilpres telah berjalan, tentu tidak baik jika diputus di tengah jalan. Biarkan proses itu terus berlanjut. Pada kesemapatan ini saya berjanji tidak akan ikut cawe-cawe lagi hingga Pemilu 2024 selesai.

Saya juga mohon maaf jika beberapa waktu yang lalu saya juga telah melibatkan para perangkat desa dan bertemu dengan saya yang kemudian muncul penafsiran bahwa saya mendukung paslon tertentu dalam Pilpres 2024.

Saya juga mohon maaf jika berbagai peristiwa atau fakta di lapangan semasa kampanye akhir-akhir ini telah memunculkan friksi-friksi, bahkan intimidasi yang dilakukan aparat.

Cek Artikel:  Kurikulum Merdeka, Berharap Pendidikan Lebih Demokratis

Dalam kesempatan ini saya perlu tegaskan bahwa aparat negara, termasuk ASN, Polri dan TNI harus netral dan tidak boleh memihak. Saya mohon maaf kalau dalam soal ini muncul kesan saya tidak tegas.

Saya juga mohon maaf jika terjadi penyalahgunaan terkait dengan bantuan sosial atau bansos yang cenderung dimanfaatkan untuk paslon tertentu.

Betul, bansos, uangnya bersumber dari APBN. Bukan uang paslon tertentu, dan bukan pula uang pribadi Presiden.

Saya juga mohon maaf karena pernyataan saya bahwa pejabat negara, termasuk Presiden boleh berkampanye dan memihak kepada pasangan calon presiden, telah meresahkan rakyat.

Dalam kesempatan ini saya perlu menegaskan bahwa meskipun itu diatur dalam undang-undang, saya tidak akan menggunakannya untuk mendukung atau tidak mendukung paslon mana pun.

Sekalian paslon yang kini berkontestasi pada Pilpres 2024 adalah negarawan, semuanya telah memenuhi syarat formal sebagai capres.

Kini, saya hanya bisa berharap, pilihlah capres yang menurut hati nurani saudara memang layak atau pantas menjadi presiden dan menjadikan Indonesia ke depan jauh lebih baik.

Sekali lagi, saya mohon maaf. Saya menyadari bahwa apa yang saya lakukan selama ini bisa mengganggu kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan sekarang.

Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa kepercayaan sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila kepercayaan sudah tidak ada lagi, tidak saja akan mengganggu kehidupan politik, tetapi juga stabilitas ekonomi, khususnya investasi.

Demikian pernyataan saya sekaligus permohonan maaf saya.”

Saya tidak tahu, apa yang saya tulis ini hanya terbatas “fatamorgana” atau halusinasi. Pasalnya, Jokowi sudah terlanjur basah.

Ibarat bermain catur, sang raja sekarang ini sudah bergerak ke sana kemari. Pertanda si raja sudah panik. Ujung-ujungnya menyerah. Lampau kalah. 

Mungkin Anda Menyukai