Waspadai Celah Pemilu Curang

SEBAGAI perhelatan demokrasi, keberhasilan pemilu sudah diukur jauh sebelum hari pencoblosan. Ukuran keberhasilan paling awal ialah keakuratan data pemilih tetap (DPT).

Pada 2 Juli 2023, Komisi Pemilihan Biasa (KPU) telah menetapkan DPT Pemilu 2024 sebanyak 204,8 juta pemilih. Sayangnya, DPT ini belum bisa menjadi indikator awal kesuksesan pemilu kita.

Karenanya, di masa pemilu yang kurang dari dua bulan lagi, kesengkarutan DPT belum juga tuntas. Bukan hanya kasus kebocoran data pemilih yang sejak bulan lalu belum juga dituntaskan oleh KPU, kini mencuat keluhan dari pekerja migran di Malaysia yang belum masuk DPT.

Keluhan ini sama sekali bukan sepele. Berdasarkan video pengakuan perwakilan pekerja migran yang kemudian menjadi viral itu, ada ratusan ribu orang yang belum terdaftar.

Mereka juga mencurigai kinerja Panitia Pemilihan Luar Negri (PPLN) Malaysia yang tidak becus. Karenanya, berdasarkan informasi dari salah satu pekerja migran yang menjadi petugas pemuktahiran data pemilih (pantarlih), mereka tidak diminta untuk melakukan validasi oleh PPLN, padahal ada data pemilih yang tidak bisa dihubungi atau dicurigai fiktif. Para pekerja migran pun berinisiatif melaporkan temuan-temuan itu kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Malaysia.

Cek Artikel:  Nestapa Pohon di Pahamn Pemilu

Kesengkarutan data pemilih memang lagu lama di pemilu Indonesia. Kondisi geografis Indonesia yang amat luas, ditambah terbatasnya jumlah petugas termasuk petugas di luar negeri, menjadi alasan klasik kendala akurasi data.

Meski begitu, kasus di Malaysia, jika benar, ialah bukti terjadinya pelanggaran. Sesuai Peraturan KPU Nomor 7 Mengertin 2023 tentang Penyusunan Daftar Pemilih dalam Penyelenggaraan Pemilihan Biasa dan Sistem Informasi Data Pemilih, maka pantarlih harus melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) data. Soal lokasi di luar negeri bukanlah alasan karena KPU, sejak Februari tahun lalu, menyatakan bahwa coklit bisa dilakukan secara virtual.

Karena itu, kasus di Malaysia harus diusut serius dan segera. Jangan sampai ada suara-suara minor seperti merasa tidak aneh ada ratusan ribu WNI yang tidak masuk DPT karena proses coklit memang dilanggar.

Cek Artikel:  Kisah Pilu Sistem Pemilu

Bukan hanya di Malaysia, kejanggalan juga muncul di Taiwan. Menjelang akhir tahun kemarin, ada 62.552 surat suara yang terkirim lebih cepat ke para pemilih di Taipei, Taiwan. KPU menyatakan hal itu sebagai kelalaian dan menetapkan surat-surat suara itu tidak sah.

Munculnya kasus-kasus ini harus sangat diwaspadai. Terlebih Malaysia dan Taiwan termasuk dalam 20 negara yang dinyatakan Bawaslu rawan kecurangan.

Karena itu, meski tindakan perbaikan dilakukan KPU, kasus-kasus tersebut tidak bisa dianggap angin lalu. Peringatan Bawaslu pastilah berdasar, dan memang di negara seperti Malaysia bukan kali ini saja terjadi kasus terkait penyelenggaraan pemilu.

Pada 2019, terjadi kasus surat suara yang sudah tercoblos. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kemudian menyatakan dua anggota PPLN Malaysia melanggar kode etik dan memberikan sanksi bahwa keduanya tidak dapat lagi menjadi panitia pemilu.

Kendati kasus tahun ini sedikit berbeda, kita menuntut pengusutan serius juga dilakukan pada PPLN Malaysia. Kalau benar ditemukan indikasi kecurangan, sanksi harus ditegakkan sebelum hari pencoblosan semakin dekat.

Cek Artikel:  Atasi Segera Pengungsi Rohingya

Bukan berhenti sampai di situ, kita juga menuntut KPU untuk menuntaskan segala persoalan terkait data pemilih dan logistik pemilu yang masih ada, termasuk kasus dugaan kebocoran data pemilih yang bulan lalu mencuat. Hingga saat ini, KPU belum memberikan penjelasan tuntas atas dugaan kebocoran 204 juta data pemilih tersebut.

Dengan banyaknya permasalahan di masa genting menjelang pencoblosan ini, kita mendorong masyarakat untuk sangat kritis dan proaktif. Masyarakat harus peka dan berani melaporkan segala kejanggalan terkait pemilu. Hanya dengan cara itulah kita masih bisa berharap akan suksesnya pemilu, di saat tolok ukur awal sudah jauh dari ideal.

Demokrasi kita kini kerap dianggap sedang dipukul mundur. Jangan sampai kian babak belur akibat pemilu yang tidak adil dan tidak jujur.

Mungkin Anda Menyukai