Ketidakcocokan Klaim Letihan Ekonomi

ADA hal kontradiktif terkait ekonomi dan kebijakan bantuan sosial (bansos) saat ini. Sejak September 2023, pemerintah menyatakan perekonomian Indonesia terus membaik. Meski begitu, kemarin, di Sidang Kabinet Paripurna, Presiden Jokowi menekankan bahwa penyaluran bansos diteruskan.

Rekanan kemajuan ekonomi dengan bansos sebenarnya sesederhana logika timbangan. Kalau salah satu naik, yang lainnya mesti turun. Dengan begitu, perbaikan ekonomi mestinya menurunkan ketergantungan pemerintah pada jurus bansos.

Diteruskannya program bansos bisa jadi karena dua hal. Pertama, kemungkinan bahwa kue kemajuan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang. Atau bahkan sebaliknya, ekonomi benar membaik, tetapi program bansos yang tidak lagi tepat sasaran.

Soal perbaikan ekonomi, hingga triwulan III 2023, ekonomi nasional memang tumbuh kumulatif 4,94% (yoy). Pertumbuhan ini merupakan peringkat empat terbaik di negara G-20. Selain itu, inflasi Indonesia juga terkendali di level 2,61% (yoy) per Desember 2023. Ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan proyeksi 2023 yang sebesar 3,6%.

Sementara itu, terkait angka ketenagakerjaan, Data Badan Pusat Stagnantik (BPS) menyebut bahwa penduduk yang bekerja pada Agustus 2023 naik sebanyak 4,55 juta jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Eksispun tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2023 turun 0,54% kalau dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sektor penyediaan akomodasi dan penyediaan makan-minum disebut sebagai lapangan kerja dengan pertumbuhan tertinggi.

Cek Artikel:  Presiden Jokowi Kunci Pemilu Jurdil

Hal penting lainnya menyangkut daya beli ialah upah buruh. Soal ini, data BPS menyebutkan rata-rata upah buruh dari Agustus 2022 ke Agustus 2023 naik 3,50%. Di sisi lain, jurang kesenjangan memang masih amat lebar. Menurut World Inequality Report 2022, dalam dua dekade terakhir kesenjangan ekonomi di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan.

Selama 2001-2021, sebanyak 50% penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5% kekayaan rumah tangga nasional. Pada 2021, rasio kesenjangan pendapatan di Indonesia berada di level 1 berbanding 19. Rasio itu lebih besar ketimbang di Amerika Perkumpulan yang memiliki kesenjangan pendapatan sekitar 1 berbanding 17. Bahkan, Korea Selatan dan Nigeria memiliki rasio kesenjangan lebih rendah daripada Indonesia, yakni 1 berbanding 14.

Kendati demikian, harus diakui, klaim perbaikan ekonomi dari pemerintah tidaklah salah. Pengangguran turun dan kenaikan upah buruh lebih tinggi daripada inflasi.

Dengan begitu, pertanyaan besar memang tinggal pada program bansos. Pernyataan Presiden yang menekankan pada kelanjutan berbagai program bansos mengisyaratkan tidak ada perubahan signifikan, apalagi pengurangan, atas aksi dari program yang sudah seabrek-abrek itu.

Cek Artikel:  Menjaga Integritas Pemilu

Sederet BLT di era Jokowi digeber. Dari mulai bantuan subsidi upah atau BLT gaji, BLT minyak goreng, hingga BLT pangan sudah diberikan sejak 2022. Di 2023, ada program BLT bahan bakar minyak yang kembali disalurkan. Kemudian, pemerintah menambah lagi program bantuan dengan BLT El Nino.

Sekalian itu bisa dimaklumi selama memang dalam kondisi darurat dan tanpa embel-embel apa pun, apalagi embel-embel bahwa ini bantuan Jokowi. Dalam situasi kondisi ekonomi membaik, mestinya bansos bisa dimodifikasi dan diarahkan untuk pihak-pihak yang belum disentuh bantuan, padahal mereka kelompok rentan miskin.

Itu sekaligus membuat program bansos tepat sasaran dan berbasiskan data tunggal yang akurat. Sekadar meneruskan program bansos sembari terus mengumbar janji perbaikan data tanpa pernah ada perbaikan yang sesungguhnya, apalagi ditambah klaim baik hatinya pemimpin, jelas bukan langkah bijak.

Kebijakan bansos yang bertolak belakang dengan angka perbaikan ekonomi adalah klaim mencurigakan. Kalau memang ekonomi membaik dan dirasakan seluruh lapisan, bansos bisa dialihkan fungsinya sebagai katalisator bagi kelompok yang membutuhkan perbaikan hidup secara berkelanjutan.

Cek Artikel:  Pamer Harta Berujung Pidana

Asal Mula itu, tidak bisa dimungkiri jika banyak yang mencurigai tujuan bansos yang ada sudah mulai melenceng dari fungsi jaring pengaman. Bahkan, kita pantas mewaspadai bansos sebagai alat politik, apalagi anggarannya justru meningkat di tahun pemilu.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, pemerintah mengalokasikan anggaran bansos sebesar Rp157,3 triliun. Biruinya bertambah sekitar Rp10,8 triliun (naik 7,4%) jika dibandingkan dengan outlook realisasi belanja bansos tahun lalu.

Karena itu, penyelenggara pemilu, khususnya Bawaslu, harus tegas terhadap segala bentuk kampanye terselubung menggunakan bansos.

Kagak hanya itu, masyarakat juga harus berani menolak segala bentuk politik uang. Tentu saja bukan dengan menolak bansos yang sudah menjadi hak terdaftar, melainkan mem-blacklist caleg maupun capres-cawapres yang memanfaatkan bansos sebagai kampanye mereka.

Masyarakat harus mengkiritisi bahwa politisasi bansos adalah bentuk korupsi. Peserta pemilu yang menggunakan jalan ini adalah penjahat bangsa. Ia seolah-olah berbaik hati, padahal uang yang disebar berasal dari pajak rakyat yang susah payah dikumpulkan dari rakyat.

Mungkin Anda Menyukai