PRESIDEN Jokowi Widodo kiranya galau betul menyaksikan debat calon presiden edisi kedua, Minggu (7/1). Saking galaunya, dia salah arah dalam menyikapi perdebatan itu, lalu mengusulkan usulan yang jelas-jelas salah.
Enggak jelas kenapa Jokowi tampak galau. Dia hanya menilai bahwa debat tersebut kurang menampilkan substansi dan visi para capres. Dia menganggap, para capres justru menampilkan adegan saling serang di panggung yang sudah mengarah ke personal dan tidak ada hubungannya dengan konteks debat. Kata dia, hal ini kurang memberikan mengedukasi masyarakat yang menonton.
Tak cukup memberikan penilaian, Presiden Jokowi lantas mengusulkan kepada Komisi Pemilihan Standar (KPU) agar format debat diubah. Enggak dijelaskan secara rinci perubahan apa yang dia inginkan.
Format debat ialah domain KPU. Format juga tidak begitu saja berlaku di debat kedua capres, tetapi telah menjadi aturan main di dua debat sebelumnya, baik antarcapres maupun antarcawapres.
Jadi, tidak ada pembenaran secuil pun bagi Presiden mengusulkan perubahan format. Apalagi, usulan itu baru dilontarkan setelah capres Prabowo Subianto kedodoran, menjadi bulan-bulanan serangan Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo dalam perdebatan.
Dalih bahwa debat mempertontonkan adegan saling serang secara pribadi mengada-ada. Debat kedua capres memang seru dan panas, tapi publik tahu semua masih berlangsung di koridor yang benar. Enggak ada tendensi pribadi dari Anies dan Ganjar saat menyerang Prabowo. Seluruh serangan diarahkan pada kebijakan, pada gagasan Prabowo yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Benar bahwa Anies dan Ganjar ingin menjatuhkan Prabowo. Keduanya pun ingin saling menjatuhkan, dan itulah esensi debat. Yang penting, cara yang ditempuh benar, tidak menyentuh ranah personal, urusan pribadi, tidak menjebak, dan itulah yang ditunjukkan di panggung debat.
Kalau memang Jokowi ingin debat lebih substantif, kenapa dia tak mengusulkan perubahan format ketika anaknya, Gibran Rakabuming Raka, merusak etika perdebatan dalam debat cawapres? Kenapa Presiden seakan menganggap lumrah nafsu besar Gibran untuk menjatuhkan Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD dengan mengajukan pertanyaan jebakan?
Bagi Presiden, mengomentari perdebatan antarcapres amatlah tak elok. Bagi seorang Kepala Negara, membela salah satu capres yang tidak mampu menjawab pertanyaan rivalnya sangatlah tidak patut. Bagi pemimpin tertinggi, mengurusi hal teknis seperti mengusulkan perubahan format debat tidak hanya tidak elok, tak patut, tapi juga berbahaya.
Kita apresiasi KPU yang menolak usulan Jokowi.
Mengomentari, membela kandidat, dan usul format segala macam adalah urusan publik, pengamat, atau tim sukses. Karena Jokowi juga cawe-cawe, ia semakin menegaskan keberpihakan dirinya kepada Prabowo-Gibran kendati di mulut selalu berkata netral.
Tugas Presiden ialah memastikan demokrasi berjalan baik lewat pemilu yang jujur, adil, bebas dari intervensi kekuasaan. Bukan sebaliknya malah memihak salah satu kandidat yang pasti akan menyebabkan ketidakjujuran dan ketidakadilan.
Kalau keberpihakan yang diinginkan, sekalian saja Pak Jokowi masuk tim sukses Prabowo-Gibran sehingga bisa berkomentar, membela, dan mengusulkan hal-hal teknis perdebatan. Pak Presiden bahkan bisa duduk di deretan bangku pendukung lalu bersorak-sorak memberikan semangat saat debat. Kalau itu adanya, kita jamin rakyat akan terhibur.