Kekerasan Seksual di Kampus

Kekerasan Seksual di Kampus
(MI/Seno)

KASUS pelecehan dan tindak kekerasan seksual Maju bermunculan dan terjadi di sejumlah perguruan tinggi di Tanah Air. Meskipun terdapat kebijakan dan praktik selama puluhan tahun yang bertujuan menghilangkan kekerasan seksual di kampus-kampus melalui peningkatan respons terhadap kasus kekerasan, kita belum menyaksikan tingkat kekerasan seksual yang lebih rendah, peningkatan keamanan bagi mahasiswa, atau respons yang lebih Bagus ketika kekerasan seksual terjadi. Jernih bahwa sistem yang Terdapat Demi ini Kagak berfungsi dengan Bagus (Brubaker, 2024).

Diperkirakan, Sekeliling 1 dari 5 Perempuan akan mengalami kekerasan seksual selama mereka kuliah. Ini belum termasuk pengalaman ‘ringan’, seperti insiden sentuhan yang Kagak diinginkan yang Kagak didahului dengan kekerasan, ketidakmampuan, atau paksaan.

Studi yang dilakukan Grocott et al (2023) menemukan sebagian besar kekerasan seksual yang terjadi di kampus (63,0%) melibatkan alkohol (64,4%) dan dilakukan oleh Pria (91,7%) yang merupakan Kawan (27,4%), kenalan (24,7%), atau orang asing (21,9%). Selain itu, sebagian besar responden (78,1%) telah mengungkapkan kekerasan seksual yang mereka alami. Mereka umumnya mengungkapkan hal tersebut kepada Kawan (68,5%), Kawan sekamar (27,4%), atau Kekasih romantis (21,9%).

 

Bentuk kekerasan seksual

Studi yang penulis lakukan mengumpulkan data Primer yang digali langsung dari para mahasiswa yang pernah menjadi korban tindak pelecehan dan kekerasan seksual di kampus. Letak penelitian ditetapkan di tiga kota, Adalah Surabaya, Malang, dan Solo. Ketiga kota itu dikenal sebagai Daerah yang Mempunyai banyak perguruan tinggi, Bagus negeri maupun swasta. Jumlah responden yang diwawancarai ditetapkan sebanyak 300 mahasiswi, yang notabene pernah menjadi korban tindak pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Studi yang dilakukan menemukan, di lingkungan kampus, bentuk tindak pelecehan seksual yang pernah dialami korban, sebagian besar ialah pelecehan verbal. Dari 300 responden yang diteliti, sebanyak 36,3% responden mengaku sering mengalami tindak pelecehan verbal. Sebanyak 60,3% mengaku pernah, dan hanya 3,3% mengaku Kagak pernah.

Dalam berbagai kasus, sering terjadi mahasiswi terlibat dan dilibatkan dalam candaan yang berbau porno, ucapan-ucapan yang menyerempet pada kurangnya penghargaan akan tubuh Perempuan, dan sebagainya. Intinya, walaupun Kagak disentuh secara fisik, korban umumnya telah dilecehkan secara verbal.

Selain pelecehan secara verbal, Tetap banyak bentuk tindak kekerasan seksual yang dialami mahasiswi. Studi ini menemukan, sebanyak 25,3% responden mengaku pernah dikirimi foto atau video porno. Sebanyak 3% bahkan mengaku sering dikirimi foto atau video porno.

Cek Artikel:  Ketulusan Mengelola Negara

Mahasiswa yang Mempunyai aplikasi VPN atau TOR biasanya dengan mudah mengakses gambar atau video pornografi Demi kemudian Dapat di-share ke Kawan-temannya. Demi kasus yang sedang Terkenal, Kagak sekali-dua kali Terdapat mahasiswa yang kemudian mengunduh dan membagikan kepada Kawan-temannya, termasuk kepada para mahasiswi. Tanpa sadar bahwa yang mereka lakukan adalah bentuk tindak kekerasan seksual.

Sebanyak 29% responden mengaku pernah diperlihatkan gestur tubuh porno oleh pelaku, dan 3,3% bahkan mengaku sering. Gerakan orang bersenggama atau gerakan tangan seseorang sedang melakukan masturbasi adalah salah satu Teladan gestur yang kerap diperlihatkan mahasiswa ke Kawan perempuannya.

Di lingkungan kampus, mahasiswa sering kali memang terlibat guyonan yang kebablasan. Sebanyak 34% responden mengaku pernah dirangkul pelaku–tanpa persetujuan darinya. Bahkan 5% responden mengaku sering dirangkul begitu saja oleh Kawan kuliahnya. Banyak responden sebetulnya merasa risi dengan kelakuan pelaku. Akan tetapi, mereka umumnya Kagak Dapat berbuat apa-apa.

Yang memprihatinkan, studi ini menemukan sebanyak 9,7% responden mengaku pernah diraba bagian intim tubuhnya, seperti payudara, paha, atau bahkan alat kelamin. Meski sentuhan yang dilakukan pelaku Tetap dilindungi baju yang dikenakan korban, tindakan itu Benar-Benar Membangun korban merasa sangat dilecehkan dan dipermalukan. Terdapat 0,7% responden mengaku bagian intim mereka sering diraba oleh Kawan kuliah di kampus.

Sebanyak 12% responden mengaku pernah dicium, dan 1,7% responden bahkan mengaku sering dicium Kawan kuliah. Studi ini bahkan menemukan sebanyak 9% responden pernah dipaksa berhubungan intim oleh Kawan kuliah, dan bahkan 1% mengaku sering dipaksa berhubungan intim oleh temannya.

 

Kagak berani melapor

Di berbagai kampus yang Sebaiknya steril dari tindak kekeraan seksual, Rupanya tindak kekerasan seksual Tetap sering menjadi momok yang menghantui para mahasiswi dan insan kampus lainnya. Studi yang dilakukan penulis (2024) menemukan, Kagak sedikit mahasiswi yang merasa Kagak nyaman ketika berkumpul dengan Kawan Pria di kampus. Para mahasiswi sering kali merasa Kagak diberi ruang Kondusif ketika di kampus.

Intervensi studi yang kami lakukan sama dengan studi yang dilakukan Orchard (2023), para mahasiswi sering kali menghadapi ancaman ketika di kampus, yang menunjukkan bagaimana kerentanan spasial dapat membatasi kebebasan dan pergerakan tubuh mereka (Koskela, 1997; Linder dan Lacey, 2020; Starkweather, 2007; Valentine 1989). Penelitian soal keamanan kampus menggambarkan bahwa Perempuan dan pelajar minoritas lainnya mengalami lebih banyak kekerasan dan insiden menakutkan Apabila dibandingkan dengan pelajar Pria (Calogero et al, 2021; Lee dan Wong, 2019; Wooten dan Mitchell, 2015).

Cek Artikel:  Merawat Optimisme Generasi Muda di Dunia Politik

Intervensi studi ini juga sama dengan penelitian Papp dan McClelland (2021) bahwa Perempuan sering kali menjadi sasaran kekerasan dan Invasi seksual yang ‘ringan’. Tetapi, interaksi yang singkat dan ‘ringan’ ini biasanya diabaikan dalam penilaian kuantitatif kekerasan seksual Apabila dibandingkan dengan bentuk penyerangan yang lebih ‘parah’.

Invasi seksual selama ini Tetap dianggap sebagai cerminan kegenitan heteroseksual yang Standar, di mana Pria adalah agen seksual yang berusaha mencapai interaksi seksual melalui Langkah-Langkah yang mendesak dan/atau memaksa. Di berbagai kampus di Indonesia, intensitas terjadinya kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi umumnya belum separah kasus yang terjadi di kampus-kampus di negara maju.

Studi sebagaimana dilaporkan menemukan, Kagak banyak korban yang memilih dan berani melaporkan peristiwa pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami pada lembaga yang berwenang menangani di kampus. Sebagian korban lebih memilih menceritakan kepada Kawan dekat saja.

Apa yang terjadi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia sama seperti apa yang diteliti Nightingale (2022). Studi Nightingale (2022) menemukan Golongan LGBTQ yang menjadi penyintas kekerasan seksual, ketika melaporkan pelecehan seksual kepada pihak kampus, Rupanya Bahkan mengalami pengalaman negatif terhadap proses tersebut.

Dalam banyak kasus, sistem patriarki dan kekuasaan gender memainkan peran Krusial dalam menstimulasi munculnya berbagai tindak kekerasan seksual di perguruan tinggi. Patriarki menciptakan hierarki sosial, yang menempatkan Pria–terlebih dosen atau Keluarga kelas yang senior–di posisi yang lebih tinggi ketimbang Perempuan dan memberikan hak-hak istimewa pada Pria. Hal ini menciptakan ketidaksetaraan gender dan memberikan Pria lebih banyak kekuasaan atas Perempuan. Pada akhirnya, hal ini dapat memperkuat perilaku kekerasan terhadap Perempuan, yang dalam hal ini ialah mahasiswi.

Kagak sekali-dua kali terjadi, ketika dosen atau Kawan kuliah Pria Mempunyai Rekanan superordinat memanfaatkan posisi dirinya Demi menekan korban, Bagus dengan Langkah halus hingga Sebelah kasar. Mahasiswi yang tersubordinasi sering kali Kagak berani melawan dan memilih menyerahkan diri serta kehormatannya karena ulah dosen cabul yang menekan.

Mahasiswi yang menjadi korban tindak kekerasan seksual di kampus biasanya Kagak Dapat berbuat banyak. Meski merasakan tekanan psikologis yang kuat, mereka umumnya Kagak berdaya. Studi yang dilakukan Moore dan Mennicke (2020) menemukan bahwa pelaku pelecehan seksual sering kali meremehkan Akibat negatif yang ditimbulkan oleh perlakuan mereka terhadap korban.

Selain itu, para korban menganggap kampus mereka juga kurang adil dalam menanggapi klaim pelanggaran seksual, yang akhirnya Membangun korban memilih Kagak melaporkan peristiwa yang dialami (Moore dan Mennicke, 2020). Dengan kata lain, insiden pelecehan seksual Kagak dilaporkan karena lemahnya sistem yang Terdapat di kampus tersebut (Newlin, 2019).

Cek Artikel:  Tiga Kunci Krusial Agar Prabowo-Gibran Pandai Menang dalam Satu Putaran di Pilpres 2024

Studi yang dilakukan Mennicke, Bowling, Gromer, dan Ryan (2021) menemukan Terdapat beberapa Argumen kenapa mahasiswi yang menjadi korban tindak kekerasan seksual Demi Kagak menggunakan sumber daya formal di kampus, termasuk rasa malu, kekhawatiran akan privasi, takut akan pembalasan, takut Kagak dipercaya, dan Kagak Mau berurusan dengan Mekanisme formal. Studi mereka juga menemukan adanya pergeseran rasa takut dalam pengungkapan pengalaman kekerasan seksual kepada sumber daya formal, dari yang semula takut Kagak dipercaya, Demi ini kekhawatiran yang lebih besar ialah terkait Mekanisme pelaporan formal yang membebani para korban kekerasan seksual—sebuah bentuk emosi dan tekanan yang berbeda.

 

Pencegahan dan penanganan

Akar penyebab terjadinya tindak kekerasan seksual di perguruan tinggi harus diakui sangat kompleks dan melibatkan banyak Unsur. Menurut Katz (2016), Unsur yang memperburuk kekerasan seksual di perguruan tinggi ialah Pembangunan sosial tentang maskulinitas. Budaya perguruan tinggi yang menekankan nilai-nilai seperti kejantanan dan kekuasaan dapat mendorong pria Demi berperilaku agresif dan mengabaikan persetujuan dalam Rekanan seksual.

Hal ini menyebabkan banyak pria merasa sulit Demi memahami bagaimana perilaku mereka dapat merugikan orang lain. Di samping itu, kelemahan sistem hukum juga menjadi Unsur yang memperburuk kekerasan seksual di perguruan tinggi. Kebanyakan korban kekerasan seksual Kagak melapor karena takut Kagak dipercaya, atau takut dirugikan. Kehilangan kepercayaan pada sistem hukum menyebabkan korban kekerasan seksual merasa bahwa mereka Kagak Mempunyai pilihan selain berdiam diri.

Dalam kasus tindak kekerasan seksual, studi ini menemukan Kagak sekali-dua kali terjadi sebagian korban Terdapat yang mendapatkan intimidasi atau permintaan dari pihak-pihak tertentu agar Kagak makin memperkeruh situasi. Dalam banyak kasus, korban umumnya takut atau Kagak diperbolehkan melapor ke aparat penegak hukum karena Terdapat intervensi hingga ancaman dari pihak lain.

Biasanya atas nama kepentingan menjaga reputasi atau nama Bagus lembaga, maka korban diimbau Demi Kagak membawa kasusnya ke ranah hukum, yang dikhawatirkan Dapat mencemarkan nama Bagus perguruan tinggi tempat mereka belajar atau bekerja.

Solusi Demi mengatasi kekerasan seksual di perguruan tinggi melibatkan upaya Demi mengubah budaya perguruan tinggi dan memperkuat sistem hukum. Kilmartin (2016) menyarankan bahwa meningkatkan Kebiasaan-Kebiasaan pro sosial dapat membantu mengurangi kekerasan seksual. Hal itu mencakup pengembangan pemahaman tentang kesetaraan gender dan menumbuhkan rasa tanggung jawab di antara mahasiswa Demi melindungi satu sama lain. Bagaimana pendapat Anda?

 

Mungkin Anda Menyukai