MEMASUKI usia ke-79 setelah merdeka, ada banyak tantangan yang harus dihadapi bangsa Indonesia. Pada usia yang tergolong tidak lagi muda ini, Indonesia tentu makin matang menyikapi berbagai permasalahan yang muncul di lapangan. Biarpun kondisi ekonomi dilaporkan sedang tidak baik-baik saja, bukan berarti kita hanya bersikap pasrah pada nasib dan tidak berusaha keluar dari perangkap persoalan yang menjejas.
Demi ini Indonesia sedang dihadapkan pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di berbagai daerah. Akibat kebijakan relaksasi impor dan kelesuan pasar global, permintaan produk menjadi turun sehingga ujung-ujungnya membuat sejumlah industri terpaksa gulung tikar. Selama semester I-2024, angka PHK sebagaimana data resmi yang dilansir oleh Kementerian Tenaga Kerja telah mencapai 32.064 orang–naik tajam 95,51% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2023.
Baca juga : Mencerna Deflasi Keyakinan Konsumen
Menurut data sakernas
Menurut data Badan Pusat Tetaptik (BPS), dalam 10 tahun terakhir penambahan lapangan kerja di sektor formal cenderung terus menyusut. Sepanjang 2009-2014, lapangan kerja yang tercipta di sektor formal berhasil menyerap 15,62 juta pekerja. Jumlah itu kemudian menurun pada periode 2014-2019 dengan besar penyerapan hanya 7,78 juta pekerja. Yang terburuk, pada 2019-2024, penyerapannya semakin turun, hanya 2,77 juta alias tak sampai 3 juta lapangan kerja formal baru tercipta.
Dalam 10 tahun terakhir, harus diakui bahwa masyarakat Indonesia cenderung makin sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal.
Baca juga : BPS: Ekspor Juni Loyo, Turun 6,65 Persen dari Mei 2024
Sebagian pencari kerja mungkin ada yang putus asa dan terus berharap kondisi perekonomian bakal berubah. Tetapi, tidak sedikit warga masyarakat yang masih optimistis menyikapi tantngan hidup dan berusaha mengembangkan usaha secara mandiri. Bekerja di sektor informal bukan karena terpaksa, melainkan karena pilihan.
Kemandirian sektor informal
Baca juga : Impor Indonesia Naik, Pengamat Sebut hanya Musiman
Tumpuan para pekerja Indonesia saat ini salah satunya ialah pekerjaan di sektor informal. Per Februari 2024, lapangan kerja di Tanah Air makin didominasi sektor informal, yakni mencapai 59,17%. Proporsi sektor informal lebih besar ketimbang sektor formal.
Di mata sebagian pengamat, dominasi sektor informal yang meningkat itu memang terkadang dibaca sebagai alarm yang mengindikasikan pekerjaan yang layak dengan tingkat pendapatan yang memadai makin sulit diperoleh masyarakat Indonesia. Tetapi, di sisi yang lain, meningkatnya pekerja yang terserap di sektor informal sebetulnya tidak selalu berarti negatif.
Dengan bekerja di sektor informal, peluang masyarakat untuk mengembangkan potensi diri sesungguhnya menjadi lebih terbuka. Para korban PHK dan pencari kerja yang kemudian memilih bekerja di sektor informal tidak harus dibaca sebagai sebuah keterpaksaan.
Baca juga : Sia-sia Surplus kalau Kinerja Dagang Tergerus
Metode pandang pencari kerja yang hanya mengejar menjadi pekerja profesional di berbagai perusahaan besar sesungguhnya ialah sebuah mentalitas yang membiasakan diri menggantungkan hidup pada perusahaan lain. Para pekerja dan lulusan perguruan tinggi seolah didesain untuk melayani kepentingan kekuatan kapitalisme berskala besar, tetapi melupakan bahwa mereka sesungguhnya juga memiliki potensi untuk berusaha secara mandiri.
Pada 2024, ketika masyarakat menjadi korban PHK dan kesulitan mendapatkan pekerjaan di sektor formal, hal itu telah memaksa sebagian masyarakat beralih mencari pendapatan di sektor gig economy seperti menjadi pekerja ojek online dan lain sebagainya yang tidak berdaya karena tersubordinasi pemilik modal.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa masyarakat yang bekerja di gig economy, mereka umumnya rawan masuk pusaran hubungan kerja atau kemitraan yang semu. Alih-alih mendapatkan proporsi pembagian margin keuntungan yang adil, dalam banyak kasus ditengarai margin keuntungan yang diterima para pekerja di sektor gig economy jauh dari layak. Mereka bertahan bukan karena mendapatkan pembagian atau komisi yang layak dari pemilik aplikasi, melainkan lebih karena tip atau pemberian dari konsumen yang memanfaatkan jasa online.
Kalau dibandingkan sektor perekonomian firma, menjadi pekerja di sektor informal memang besar penghasilannya tidak pasti, fluktuatif, dan sangat ditentukan oleh dinamika pasar sehari-sehari. Biarpun karier pekerja informal tidak berjenjang dan pasti seperti sektor formal, peluang untuk mengembangkan diri sesungguhnya lebih terbuka.
Sektor informal, baik di perdesaan maupun di perkotaan, ialah lapangan usaha yang memungkinkan pelakunya untuk mengeksplorasi kemampuan dan hasrat kreatifnya dalam berbisnis. Ketika raksasa-raksasa bisnis kolaps dan terpaksa melakukan PHK para pekerja mereka, tidak sedikit pelaku UMKM justru mampu memperlihatkan perkembangan kinerja mereka yang makin luas dan tangguh.
Dewasa ini, kehadiran sektor informal, baik itu usaha mikro dan kecil maupun menengah, cenderung makin menjamur. Penduduk masyarakat yang menjadi korban PHK atau pencari kerja baru tidak sedikit dari mereka yang kemudian memutuskan masuk ke sektor informal, yakni bekerja di industri kreatif, menjadi penjual barang dari supplier (reseller) barang di marketplace, membuka warung kelontong di perkampungan, jasa cuci baju di berbagai perkampungan, dan lain sebagainya.
Anak-anak muda yang berasal dari generasi Z tidak jarang yang kemudian memutuskan menjadi pengusaha kreatif yang mampu menembus pasar global. Di berbagai daerah, anak muda umumnya lebih menyukai pekerjaan dengan waktu yang fleksibel. Dengan berkembangnya digitalisasi, kalangan muda yang bekerja sebagai freelancer atau pembuat konten digital semakin banyak.
Data Kementerian Koperasi dan UMKM (2021) mencatat dari 64,2 juta pelaku UMKM, sebanyak 63,95 juta termasuk kategori usaha mikro setara 99,62%. Sementara itu, usaha kecil sebanyak 193.959 unit (0,3%), lalu usaha menengah 44.728 unit (0,07%), dan usaha besar sebanyak 5.550 unit (0,01%). Puluhan juta pelaku UMKM itu umumnya ialah sektor yang sangat kenyal dan tahan banting. Berbeda dengan sektor perekonomian firma yang belakangan ini rentan kolaps gara-gara situasi perekonomian global, keberadaan UMKM acap kali justru mampu survive karena kekuatannya sendiri.
UMKM pada dasarnya ialah bagian dari ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan yang tangguh. Dikatakan tangguh sebab UMKM tumbuh bukan karena fasilitas dan dukungan dari pihak lain. UMKM mampu bertahan menghadapi gempuran perubahan dan tekanan kondisi perekonomian karena keluar dari ketergantungan dan berusaha membangun kemandirian.
Bukti-bukti di lapangan telah banyak mengajarkan bahwa pengembangan UMKM ternyata tidak kalah bila dibandingkan dengan sektor perekonomian firma.
Bagi para pelaku usaha atau ekonomi, baik usaha berskala besar, menengah, maupun kecil, terjadinya berbagai tekanan ekonomi dan kelesuan pasar global dalam banyak hal memang menjadi tekanan yang berat. Tetapi, bagi pelaku UMKM yang mandiri, sering terjadi mereka dapat bertahan dari tekanan krisis karena berbagai faktor. Pertama, UMKM terbukti lebih fleksibel dan tahan dalam berbagai kondisi perekonomian yang tidak menguntungkan.
Kedua, UMKM lebih banyak memakai bahan baku atau bahan dari dalam negeri sehingga tidak membebani nilai impor seperti yang selama ini dipraktikkan oleh usaha berskala besar.
Ketiga, karena UMKM bergerak dalam pasar yang terpecah-pecah (fragmented market). Keempat, karena UMKM acap kali diuntungkan oleh kondisi geografis yang membuat produk-produk industri kecil memperoleh proteksi alami karena pasar yang dilayani tidak terjangkau oleh invasi produk-produk berskala besar.
Renta atau matang
Biarpun kondisi perekonomian global sedang meredup karena krisis di Timur Tengah dan kelesuan pasar global, pertumbuhan ekonomi Indonesia dilaporkan tetap baik. Data Badan Pusat Tetaptik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi triwulan II–2024 mampu mencapai 5,05% (yoy)–melanjutkan kinerja positif pertumbuhan ekonomi pada triwulan sebelumnya sebesar 5,11% (yoy). Ke depan, pertumbuhan ekonomi pada 2024 diprakirakan masih berada dalam kisaran 4,7-5,5% (yoy) karena didukung oleh menguatnya permintaan domestik.
Kalau dibandingkan dengan negara lain, kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia tergolong membanggakan. Kondisi pada triwulan II–2024 yang didukung oleh aktivitas ekonomi domestik yang terjaga menyebabkan pertumbuhan ekonomi tetap tinggi. Konsumsi rumah tangga tumbuh lebih tinggi menjadi 4,93% (yoy) sejalan dengan mobilitas masyarakat yang meningkat dan terjaganya daya beli. Pertumbuhan investasi secara keseluruhan meningkat menjadi 4,43% (yoy) seiring dengan peningkatan kinerja ekspor dan belanja modal pemerintah. Ekspor tumbuh sebesar 8,28% (yoy) yang ditopang oleh permintaan mitra dagang utama dan kunjungan wisatawan mancanegara yang tinggi.
Potret kondisi perekonomian yang masih penuh harapan sebagaimana dipaparkan di atas tentu menjadi peluang yang harus bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Nasib kelas menengah mungkin benar sebagian turun kelas menjadi keluarga miskin baru. Pun benar bahwa PHK marak terjadi di berbagai daerah. Tetapi, berbagai persoalan dan kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja itu sesungguhnya ialah sebuah tantangan.
Pada usia ke-79, Indonesia memang bisa disebut makin renta. Tetapi, bisa pula pada usia yang matang ini Indonesia sesungguhnya telah makin dewasa dalam menghadapi tantangan. Optimisme tetap dibutuhkan dan menjadi kunci bagi bangsa Indonesia menghadapi berbagai persoalan ekonomi ke depan. Bagaimana pendapat Anda?