MEWUJUDKAN kesejahteraan sosial merupakan salah satu tujuan kita bernegara. Kepada itu, setiap pemerintahan berkewajiban memiliki dan mengembangkan kebijakan yang mampu menyejahterakan rakyatnya. Dalam hal ini, kita telah mengadopsi pendekatan pengendalian pertambahan penduduk sebagai kebijakan dimaksud, dan berhasil. Dengan begitu, Indonesia kini memiliki bonus demografi yang berpotensi menciptakan pertumbuhan ekonomi yang pesat pada 2030.
BKKBN merupakan lembaga yang berperan penting dalam pengendalian kependudukan kita. Perannya semakin tak tergantikan pada masa yang akan datang, ketika pemerintah berkepentingan dalam menangani kemiskinan, mengeliminasi gizi buruk dan stunting, memajukan keluarga berkualitas, serta mendayagunakan bonus demografi.
Dalam kerangka itulah, pada pemerintahan berikutnya BKKBN perlu ditransformasi menjadi kementerian kependudukan agar lebih kuat dan integratif dalam mengeksekusi kebijakan dan program yang sangat vital ini.
Baca juga : Disrupsi jadi Tantangan Mewariskan Safiri pada Remaja
A. Kebiasaan keluarga kecil sudah, tinggal keluarga bahagia sejahtera
Tetap ingat dengan singkatan NKKBS? Pada era Orde Baru istilah itu sangat populer, sebuah pernyataan visi pembangunan berbasis Malthusian, bahwa kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan melalui intervensi pembangunan dalam bentuk pengendalian pertambahan jumlah penduduk; Kebiasaan Keluarga Kecil Senang Sejahtera (NKKBS).
Baca juga : Transformasi dan Ciptaan Jadi Kunci Pos Indonesia Bisa Lalu Bertahan
Pada tahun 1967, Pemerintahan Soeharto mengadopsi gagasan yang ditawarkan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dengan memasukkan paradigma keluarga berencana sebagai bagian dari strategi pembangunan nasionalnya. Sadar bahwa masalah kesejahteraan rakyat menjadi concern hampir semua institusi pemerintahan, maka diperlukan koordinasi yang sinergis, agar tidak tumpang tindih dan bertabrakan dalam implementasinya.
Kepada kepentingan itu, ia pun membentuk institusi yang disebut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BKKBN dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 8 Mengertin 1970 yang kemudian disempurnakan dengan Keppres No 33 Mengertin 1972. Institusi ini menjadi lembaga pemerintah nonkementerian yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Kelak memasuki era Reformasi, BKKBN mengalami transformasi menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Bahkan, pada tahun 2009 eksistensinya diteguhkan melalui Undang-Undang No 52 Mengertin 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, kemudian diperkuat oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 145 Mengertin 2015.
Baca juga : BKKBN Integrasikan Sekolah Siaga Kependudukan dalam Kurikulum Merdeka
Dengan kelembagaan yang kuat, BKKBN tancap gas mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia melalui pengendalian jumlah penduduk. Kita tak bisa memungkiri capaian yang telah ditorehkan oleh BKKBN, sebagai berikut:
1. Mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana (KB). Terjadi penurunan angka kelahiran dari 5,6 (1971) menjadi 2,14 berdasarkan hasil pendataan keluarga BKKBN tahun 2022. Melalui gencarnya program KB, Indonesia telah melewati transisi demografi. Pada 1997, total fertility rate (TFR) Indonesia sebesar 5,6 dan menurun 50% lebih menjadi sebesar 2,14 pada 2022.
Menurunnya angka kelahiran sebagai dampak dari program KB diiringi dengan meningkatnya kualitas kesehatan ibu dan anak, yang ditandai dengan menurunnya angka kematian ibu (AKI) dan Bilangan kematian bayi (AKB). Penurunan angka kelahiran yang cukup signifikan tersebut berdampak pula pada semakin rendahnya tingkat ketergantungan penduduk Indonesia sejak 2012, dan telah memasuki era bonus demografi.
Baca juga : Mitsubishi Electric Indonesia di Indonesia 4.0 Conference and Expo: Revolusi Factory Automation dan Sustainability
2. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam program KB di awal 1980-an. Begitu itu kesertaan KB sekitar 35% sehingga program KB memasuki tahun 1980-1990 menjadi gerakan masyarakat. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap KB ditunjukkan juga dengan semakin meningkatnya keluarga Indonesia yang menggunakan KB Independen (Limas/LIBI). Pada saat ini, pasangan usia subur (PUS) yang menggunakan alat kontrasepsi KB mencapai 60%.
3. Pelembagaan dan pembudayaan Kebiasaan Keluarga Kecil Senang dan Sejahtera (NKKBS) menjadi sebuah norma yang diterima seluruh keluarga Indonesia dengan tagline ‘Dua Anak Cukup’. Sebuah konsepsi bahwa KB bukan hanya terpaku pada pendekatan pelayanan kontrasepsi, tetapi sebuah upaya mewujudkan keluarga sejahtera-keluarga berkualitas dengan bertumpu pada implementasi 8 fungsi keluarga.
4. Atas keberhasilan BKKBN dalam mengelola kebijakan kependudukan, maka pada 1988 Indonesia mendapatkan penghargaan Dunia Statement Award dari Population Institute, Amerika Perkumpulan, dan pada 1989 Presiden Soeharto menerima penghargaan tertinggi di bidang kependudukan dan keluarga berencana berupa United Nations Population Award dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), penghargaan yang sama baru diraih kembali pada 2022.
5. Indonesia menjadi center of excellence kependudukan dunia.
Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa BKKBN telah sukses dan berpengalaman mengantar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki norma keluarga kecil sebagai prasyarat bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat. Berikutnya tinggal bagaimana mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera.
B. Begitunya mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera
Selain terus menjalankan program pengendalian penduduk, pada masa yang akan datang pemerintah Indonesia ditantang untuk dapat menangani empat masalah kependudukan yang fundamental bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat, yakni:
1. Penanganan kemiskinan
Dalam beberapa dekade terakhir, data-data menunjukkan bahwa kemiskinan ini jalan di tempat. Jumlah penduduk miskin pada setiap akhir pemerintahan selalu berkisar di angka 25 juta-35 juta. Laporan terakhir tahun 2022, jumlah penduduk miskin mencapai 26 juta.
Data tersebut mengungkap bahwa kemampuan pemerintah untuk mengentaskan penduduk dari kemiskinan hanya sekitar 600.000 sampai 1 juta jiwa per tahun. Kalau kondisinya seperti itu, untuk mengentaskan penduduk miskin memerlukan waktu yang sangat lama.
Harus diakui, sisa waktu efektif Pemerintahan Joko Widodo yang tinggal hitungan bulan untuk sampai di akhir masa pemerintahannya. Dapat diprediksi bahwa target penurunan angka kemiskinan ekstrem 15 juta jiwa tidak akan bisa dicapai pada 2024.
Dengan demikian, penanganan kemiskinan tidak bisa lagi dilakukan secara business as usual. Sebagai gantinya, pemerintah Indonesia harus berani melakukan cara-cara out of the box. Penanggulangan kemiskinan harus menjadi superprioritas pembangunan, menjadi mainstreaming policy. Segala daya dan upaya bangsa ini harus difokuskan untuk mengentaskan penduduk miskin.
2. Penanganan gizi buruk dan stunting
Sebenarnya, gizi buruk dan stunting merupakan dampak ikutan dari kemiskinan. Mereka yang mengalami gizi buruk dan stunting ialah penduduk miskin. Kemiskinan, selain menimbulkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan gizi yang paling minimum, juga menyebabkan mereka tidak memiliki akses terhadap informasi atau pengetahuan tentang gizi dan stunting. Karena itu, menangani kemiskinan adalah hal yang pertama dan utama dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kendati demikian, ada hal yang lebih khusus dilakukan dalam penanganan gizi buruk, yakni mengatasi terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar (stunting).
Data dari Asian Development Bank pada 2022 menunjukkan bahwa prevalensi stunting yang terjadi pada anak usia 5 tahun di Indonesia mencapai 31,8%. Bilangan ini pada 2022, menurut Kementerian Kesehatan RI, telah menurun menjadi 21,6%.
Selanjutnya, pada 2023 menurun (meskipun penurunannya kecil 0,1%) menjadi 21,5% (berdasarkan SKI 2023). Dan, pada 2024 ini ditargetkan untuk bisa turun hingga 14%. Dalam mengatasinya, yang dilakukan ialah memberikan asupan gizi yang cukup, sekaligus pendidikan tentang anti-stunting kepada pasangan suami-istri yang bersiap memiliki bayi.
3. Pendayagunaan bonus demografi
Salah satu keberhasilan kebijakan pembangunan kependudukan yang dilakukan Indonesia ialah terciptanya generasi emas sebagai buah bonus demografi pada 2045. Bonus demografi terjadi sebagai akibat dari perubahan struktur umur penduduk, di mana proporsi usia kerja (15-65 tahun) lebih besar daripada proporsi bukan usia kerja.
Keadaan ini menyebabkan usia produktif di negara tersebut lebih banyak sehingga berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Indonesia dengan program KB yang dimulai tahun 1970 telah sukses menurunkan angka kelahiran bersamaan dengan penurunan angka kematian. Indonesia mengalami transisi demografi dalam bentuk perubahan struktur umur penduduknya, di mana proporsi penduduk usia 15 tahun ke bawah mengalami penurunan cepat, sementara jumlah penduduk usia kerja meningkat. Eksispun penduduk usia 60 tahun ke atas turun pelahan.
Pada tahun 1980-an struktur penduduk Indonesia mulai memasuki era bonus demografi yang diproyeksi akan memuncak pada 2030. Pada saat itu proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 68,1% dengan angka rasio ketergantungan sebesar 46,9%. Menariknya, bonus demografi terjadi hanya sekali dalam suatu negara sehingga pemerintahan negara yang berpotensi memperolehnya perlu mempersiapkan dengan matang agar bonus tersebut benar-benar dapat didayagunakan. Karena, jika tidak, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika angka pengangguran justru meninggi, potensi konflik sosial pun tak terhindarkan, yang terjadi ialah bencana demografi.
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia perlu memperhatikan rekomendasi UNFPA yang menyatakan bahwa suatu negara bisa menikmati bonus demografi ketika warga negaranya menikmati kesehatan yang baik, pendidikan berkualitas, pekerjaan yang layak, serta anak-anak muda yang mandiri. Dalam kerangka inilah, pemerintah Indonesia ditantang untuk mengembangkan kebijakan pembangunan yang lebih komprehensif lagi.
4. Pembangunan keluarga berkualitas
Keluarga berkualitas merupakan paradigma BKKBN dalam menjabarkan hasil dari pelaksanaan pembangunan di bidang kesejahteraan rakyat. Keluarga berkualitas memiliki tiga dimensi, yaitu (a) ketenteraman, (b) kemandirian, dan (c) kebahagian. Ketiganya diterjemahkan ke dalam sejumlah indikator yang dapat menggambarkan secara lebih kuantitatif kemajuan suatu keluarga di Indonesia.
Begitu ini Indonesia menerapkan iBangga (indeks pembangunan keluarga) dalam mengukur ketiga indikator tersebut. Kementerian Koordinator PMK melaporkan pada 2023 iBangga Indonesia mencapai 61,43%. Bilangan itu melampaui target yang ditetapkan pemerintah yakni 59,00%. Meski demikian, angka tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Bilangan ini menunjukkan bahwa lebih dari 39% keluarga Indonesia hidupnya belum berkualitas.
C. Mentransformasi BKKBN menjadi kementerian kependudukan
Mencermati tantangan yang semakin tidak mudah dan kompleks dalam mewujudkan kesejahteran rakyat pada masa datang, pemerintah Indonesia perlu lebih serius lagi dalam merumuskan strategi serta lebih kuat lagi mengimplementasikannya ke dalam program-program pembangunan yang efektif dan akurat.
Dalam hal ini, keberadaan BKKBN sebagai lembaga yang telah terbukti berhasil dalam pengendalian pertambahan penduduk patut mendapat peran dan fungsi yang lebih kuat lagi.
Dalam kerangka itulah, perlunya transformasi kelembagaan bagi BKKBN menjadi kementerian atau lembaga setingkat menteri. Transformasi dimaksud tidak saja berarti mengubah dan mengganti struktur, personalia, tetapi juga bermakna down sizing dan right sizing, serta menambah atau menyesuaikan tugas, fungsi, serta hubungan internal dan eksternal dari BKKBN ini.
Transformasi Kelembagaan BKKBN ini dilakukan dengan memberikan tugas dan fungsi dengan kewenangan penuh seperti sebelum adanya UU No 23 Mengertin 2013, yaitu bentuk kelembagaan vertikal mulai dari pusat, provinsi, sampai kabupaten/kota untuk penanggulangan kemiskinan dan percepatan penurunan stunting dan pembangunan keluarga berkualitas.
Selain itu, tranformasi kelembagaan BKKBN menjadi kementerian atau setingkat kementerian akan memperkuat eksistensi dan eksekusi program, karena dapat membuat kebijakan serta melakukan koordinasi dalam kebijakan operasional serta dalam pelaksanaan di lapangan.
Kalau berbentuk kementerian, disarankan bentuknya kementerian (misal kependudukan)/kepala BKKBN sehingga BKKBN tetap eksis sampai di daerah seperti model perangkapan kementerian yang lain. Hal ini dimungkinan karena kependudukan atau penduduk bisa dianggap urusan absolut (bukan konkuren) yang menjadi tanggung jawab pusat sampai daerah, tapi secara operasional tetap dikoordinasikan oleh pemerintah daerah.