EDUCATION is not just for earning a living; it is also for living a life (William EB Du Bois).
Sepuluh tahun masa kepemimpinan Jokowi ditandai dengan rusaknya sendi-sendi pendidikan Indonesia. Tiga pilar Krusial pendidikan, Yakni guru, orangtua, dan pemerintah, yang Semestinya menyatu dalam memperbaiki tata kelola pendidikan dibiarkan berjalan sendiri-sendiri, bahkan bertumbuk dan bertindih atas nama ego sektoral masing-masing.
Guru merasa Benar sendiri di hadapan para siswanya, orangtua merasa telah memberikan kepercayaan penuh atas pendidikan anak-anak mereka kepada sekolah, serta pemerintah yang abai dalam membenahi struktur anggaran pendidikan yang lebih adil dan bermartabat Buat seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Nampaknya, kita membutuhkan strategi Buat membaca dan memahami teks dan konteks pendidikan Buat ketiga pilar moral pendidikan.
Pengajaran fluida
Terdapat banyak kajian dan riset tentang rendahnya kualitas guru Indonesia. Mereka rerata terperangkap pada gaya belajar dan mengajar yang kaku dan rigid berdasarkan Naskah teks yang dipilih. Meskipun kurikulum diubah puluhan kali, pola mengajar guru tetap mengandalkan Naskah teks yang sangat tekstual tanpa Terdapat usaha Buat Menyaksikan konteks bahan ajar, kondisi siswa, serta kebutuhan pengembangan kapasitas siswa berdasarkan tantangan dan dinamika perubahan gaya hidup yang serbainstan, serta sangat dipengaruhi teknologi serbadigital.
Salah satu tantangan Istimewa yang dihadapi metode pengajaran dan pembelajaran Begitu ini dalam pendidikan ialah bagaimana mengenali, di satu sisi, sifat holistis dan hidup dari topik-topik dengan berbagai lembaga yang terlibat dalam ruang belajar dan, di sisi lain, membuatnya relevan dengan tantangan kompleks yang dihadapi dunia.
Dengan munculnya mesin ekonomi baru sejak awal abad ke-21 seperti Tiongkok, Turki, dan India, dan dalam menghadapi tantangan Mendunia seperti pandemi covid-19, geopolitik Dunia, pendidikan mengalami transformasi besar: menjauh dari sistem yang didominasi Anglo-Amerika yang berpusat tunggal menuju struktur yang tumpang tindih yang berpusat pada banyak pihak (Amah: 2019; Eriksen2019).
Kesadaran dan pengakuan terhadap berbagai budaya dan sistem semakin berdampak Krusial pada pemahaman kita tentang pengajaran dan pembelajaran. Pendekatan tradisional terhadap pendidikan yang didasarkan pada filsafat analitik dan dicirikan formalisme, Dugaan peran yang tetap, dan disposisi kaku terhadap guru, peserta didik, dan pengetahuan, Bukan Kembali memadai Buat menghadapi meningkatnya kompleksitas yang dihadapi pendidikan, sebagai akibat dari keterhubungan Mendunia, dan permintaan akan perspektif baru terhadap pendidikan di dunia kontemporer.
Kuang-Hsu Chiang dan Asko Karjalainen melakukan kajian menarik dalam Fluid Education—a New Pedagogical Possibility (Scandinavian Journal of Educational ResearchVolume 66, 2022). Pemikiran pedagogis Chiang dan Karjalainen itu mendasari diri pada filsafat analitis yang memercayai bahwa pendekatan kependidikan harus Encer (fluid).
Dialektika Encer bukan hanya sebuah tawaran dan teori baru yang mengacu pada dialektika Hegel dan dilengkapi dengan Taoisme, tetapi juga mengakui nonlinearitas dan pertentangan yang biasanya dimiliki realitas pendidikan. Kerangka pendidikan Encer menekankan pada gerakan dialektika di antara berbagai antinomi disajikan agar seorang terbebas dari waktu, ruang, dan posisi yang tetap dibahas karena realitas pendidikan ialah ruang yang kompleks dan kontradiktif Buat berbagai Ragam interaksi pedagogis.
Berbeda dengan Pengajaran tradisional yang hanya mencari konfirmasi, kesepakatan, atau konsistensi, fluiditas pedagogis yang muncul dari pemikiran Pengajaran dialektis menyoroti pentingnya dan kepositifan antinomi. Pendekatan dialektis terhadap pendidikan sebagian besar dikembangkan dalam tradisi Pengajaran hermeneutik Jerman (Geisteswissenschaftliche Paedagogik) pada awal abad ke-19 oleh penulis seperti Dilthey (1968), Nohl (1949), Litt (1927), dan Spranger (1969).
Fluiditas atau keluwesan pendekatan pedagogis jenis itu perlu dilatihkan secara terbuka dan Lanjut-menerus karena guru selama ini memahami pendidikan sebagai ruang yang terbatas pada teks tanpa konteks, pada ruang kelas tanpa Menyaksikan struktur sosial, serta keterbatasan waktu dalam belajar hanya ketika terjadi interaksi secara langsung dengan siswa di sekolah. Keterbatasan pemahaman guru tentang Rekanan antara ucapan dan pemahaman menyebabkan proses pembelajaran menjadi kurang mendalam. Salah satu instrumen Krusial yang harus diubah ialah Naskah teks sekolah kita yang kurang mendalam Menyaksikan realitas konsep, teori, dan Maksud esensialnya bagi kehidupan.
Deep order thinking skill (DOTS) perlu diskemakan secara cerdas dalam Naskah teks sekolah, dengan pendekatan dialektika atau fluiditas pedagogis sebagaimana dijelaskan Chiang dan Karjalainen. Naskah teks harus memastikan terjadinya dialektika yang mendalam sebagaimana ditulis Lao Tzu dalam Tao Te Ching bahwa ‘Ketika orang Menyaksikan beberapa hal sebagai indah, hal-hal lain menjadi jelek. Ketika orang Menyaksikan beberapa hal sebagai Bagus, hal-hal lain menjadi Bukan baik. Terdapat dan Bukan Terdapat saling menciptakan. Sulit dan mudah saling mendukung. Yang panjang dan yang pendek saling menentukan. Yang tinggi dan yang rendah saling bergantung. Sebelum dan sesudah saling mengikuti’ (Mitchell, 1988).
Psikososial masyarakat
Teori belajar John Dewey menunjukkan seluruh situasi pembelajaran tumbuh dan berkembang dari lingkungan psikososial masyarakat karena pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman orang per orang. Itulah mengapa proses pendidikan selalu Mempunyai dua sisi, Yakni mental dan sosial. “School cannot solve society’s problems. In fact, school could affect much more rapid reforms if society changed first. If society really stopped being racist, it would insist (and enforce the expectation) that all its institutions, including school, do likewise” (Geneva Gay, 2000).
Kalau pendidikan diartikan secara sederhana dalam bentuk kelembagaan, sekolah ialah penjelasannya. Karena itu, sekolah menjadi tempat bergantung setiap Personil masyarakat Buat mempersiapkan masa depan anak-anak mereka. Dengan sekolah yang memperoleh dukungan dari masyarakat yang berkehendak Buat berubah, sesungguhnya pendidikan telah bergerak ke arah yang Benar.
Masalahnya ialah bagaimana dengan sikap mental masyarakat kita yang Begitu ini sangat permissive dari segi budaya dan mudah mengambil Hasil karena masyarakat kita belum terbiasa dengan perbedaan pendapat. Kedua jenis mentalitas masyarakat ini perlu dibangun ulang melalui serangkaian socio-therapy yang merupakan tugas Istimewa dari moral pendidikan. Sekolah dengan struktur manajemen yang sehat dan dukungan masyarakat yang kuat merupakan kata kunci yang Benar Buat mengatasi masalah maraknya perilaku menyimpang siswa di Sekeliling kita.
Apa pun jenis sekolah dan jenjangnya, orangtua merupakan Unsur dominan yang menjadi penentu sukses-tidaknya dan Bagus-buruknya anak-anak di sekolah dan sesudahnya. Negara punya peran kuat Buat menarik kesertaan masyarakat dalam proses pendidikan secara aktif. Tetapi, secara teks tugas masyarakat di dalam undang-undang sistem pendidikan kita belum memadai dan belum dihargai secara maksimal.
Tak Terdapat penyertaan secara konkret masyarakat ke dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Sekolah dan negara perlu lebih aktif menggali potensi dukungan dari masyarakat Sekeliling sekolah. Dalam konteks penanaman moral dan budi pekerti, Membangun ikatan emosional siswa-sekolah-orangtua sebenarnya berongkos sangat murah. Lakukan saja praktik memberikan informasi tentang aktivitas sekolah anak-anak mereka dengan mengirim weekly folder ke orangtua, atau buatlah skema homework is family work dalam seluruh Naskah teks siswa. Karena itu, kebijakan ulang penulisan dan reviu Naskah teks yang secara sengaja memuat desain keterlibatan orangtua dalam pengajaran dan pembelajaran ialah imperatif.
Posisi negara
Dalam Journal of Education Finance, Walter W McMahon (2006) menyebutkan Dekat Sekalian negara demokratis yang maju dan terkemuka menyumbang sebanyak 92,1% pembiayaan pendidikan dasar dan menengah. Hal itu terlihat dari intensnya pajak Buat kebutuhan pendidikan disosialisasikan kepada dunia industri. Sebaliknya di beberapa negara berkembang yang berpaham demokratis, perkembangannya sedikit lebih lamban, Yakni Sekeliling 78%. Di manakah posisi Indonesia? Krisis Mendunia yang semakin Konkret Begitu ini akan membawa Akibat serius pada kemampuan dan daya beli masyarakat terhadap jasa dan layanan pendidikan.
“As is the state, so is the school (sebagaimana negara, seperti itulah sekolah)” atau “What you want in the state, you must put into the school
Secara teks peran negara di bidang pendidikan memang Krusial, terutama dalam mengatur tata kelola anggaran pendidikan dengan lebih efektif. Bukan seperti sekarang, pendidikan menjadi terpotong-potong ke dalam empat kementerian (dikdasmen, dikti dan saintek, kebudayaan, dan Keyakinan) yang distribusi anggarannya sangat Bukan efektif dan efisien.
Efektivitas kebijakan pendidikan selama ini berlangsung tanpa Penilaian dan monitoring yang memadai. Sulitnya mengontrol perilaku birokrasi pengelola kebijakan pendidikan ialah hanya salah satu bukti yang menunjukkan reformasi birokrasi yang kita inginkan tak pernah berjalan. Penyebabnya antara lain ketiadaan unsur keterlibatan masyarakat ketika sebuah kebijakan hendak diakuisisi ke dalam bentuk program. Padahal, sejatinya, kesempatan masyarakat Buat terlibat dan memberikan masukan terhadap suatu kebijakan haruslah dibuka peluangnya.
Mengubah kesadaran teks yang sangat formal di tingkat guru, masyarakat, dan pemerintah menjadi lebih kontekstual ialah kerja budaya dan politik yang harus berlandaskan pada keikhlasan karena di dalam keikhlasan itu sendiri Lagi banyak residu keserakahan yang tersumbat karena kepentingan pribadi dan Golongan. Semoga pada 2025 nanti akan Terdapat banyak kemenangan bagi keikhlasan dan kekalahan bagi keculasan. Amin.