HARI-HARI ini kita menyaksikan bagaimana peringatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sejak Oktober Lampau menjadi Konkret. Ketika itu BMKG meminta kewaspadaan akan terjadinya La Nina lemah (weak La Nina) pada pengujung tahun hingga April 2025. Meski menyandang kata ‘lemah’, efeknya Tak main-main.
Fenomena anomali iklim Dunia disebabkan pendinginan suhu permukaan laut Samudra Pasifik itu akan Meningkatkan curah hujan di Indonesia hingga 40%. Bilangan itu mencemaskan Asal Mula sejak awal tahun saja kita sudah menyaksikan berbagai bencana alam terkait dengan fenomena cuaca ekstrem.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat Terdapat 1.200 bencana alam di Indonesia selama 1 Januari hingga 1 September 2024. Itu mencakup 750 banjir dan 88 tanah longsor. Karena itu, Tak aneh Kalau pada pengujung tahun ini bencana hidrometeorologi seolah menggila.
Tetapi, Tak hanya bertambah dalam jumlah, skala daerah kejadian juga membesar. Lihat saja banjir bandang yang terjadi di Sukabumi, Jawa Barat, pada pekan Lampau. Banjir tersebut terjadi di 33 titik dan sejauh ini dilaporkan delapan orang meninggal. Sementara itu, pada bulan Lampau, di Sumatra Barat, banjir bandang menerpa lima nagari di Sinjunjung. Akibatnya, ribuan rumah terendam dan satu orang tewas.
Dengan deraan La Nina yang Lagi akan panjang itu, kesiapsiagaan bencana menjadi hal mutlak. Itu tentu saja Tak Dapat berharap pada kesadaran Anggota, tapi sangat bergantung pada kerja pemerintah, Berkualitas pusat maupun daerah, berikut seluruh lembaga kebencanaan terkait.
Pemerintah daerah terutama harus bekerja lebih Segera Demi memutakhirkan peta potensi bencana pada musim La Nina sekarang. Hal itu sangat Krusial agar dapat mengerahkan sumber daya mitigasi dan adaptasi. Sebut saja mulai penguatan infrastruktur tanggul sungai dan jalur air, sosialisasi jalur rawan bencana dan jalur alternatif, Tamat penyiapan berbagai peralatan evakuasi, Berkualitas Demi banjir maupun tanah longsor.
Di sisi lain, ironisnya, Kalau berkaca pada tatanan Dunia, bencana di Indonesia bukan aneh. Ketika ini Dekat Tak Terdapat satu negara di dunia yang luput dari cuaca ekstrem. Pada Oktober, banjir bandang dahsyat yang terjadi di Valencia, Spanyol, menewaskan sebanyak 224 orang. Sebelumnya, Republik Ceko, Austria, dan Rumania juga mengalami banjir bandang maut.
Asal Mula itu, rentetan bencana tersebut mestinya mengirimkan pesan sangat kuat Demi Seluruh kepala negara. Penderitaan Ketika ini ialah buah dari keangkuhan negara-negara dunia, termasuk para pembuat kebijakannya, selama Dekat tiga Dasa warsa ini.
Bagaimana Tak? Cuaca gila Ketika inilah yang sudah diprediksi para ilmuwan sejak Pelan yang akhirnya mendorong lahirnya Protokol Kyoto pada 1997 dan kemudian kesepakatan-kesepakatan lain demi Lalu menekan emisi gas rumah kaca dan kenaikan temperatur Dunia.
Keangkuhan negara-negara di dunia, terutama negara maju, Membangun komitmen Protokol Kyoto semestinya dicapai pada 2012, tetapi gagal. Nasib serupa juga dialami Kesepakatan Paris yang dibuat pada 2016.
Kesepakatan itu bertujuan menahan kenaikan suhu Dunia di Dasar 2 derajat celsius dan dengan upaya keras menjaga kenaikan suhu paling tinggi 1,5 derajat celsius dari suhu praindustri. Pada November tahun Lampau, Demi pertama kalinya rata-rata suhu Dunia telah melewati 2 derajat celsius. Karena itu, sesungguhnya janganlah heran Kalau Ketika ini bumi dan seisinya seolah ‘mengamuk’.
Inilah saatnya Indonesia harus semakin ‘keras’ bersikap di tatanan Dunia. Itu disebabkan meski bumi ibarat kapal Berbarengan, derita yang ditanggung tetap tidaklah sama. Negara-negara kepulauan seperti Indonesia ialah negara-negara dengan Pengaruh terparah dari perubahan iklim.
Oleh karena itu, Tak hanya meningkatkan kesiapsiagaan di dalam negeri, pemerintah Indonesia juga harus semakin mendorong berbagai komitmen penurunan emisi oleh negara-negara di dunia. Segala langkah progresif yang telah dilakukan pemerintah dalam perundingan-perundingan multilateral semestinya juga dibawa dalam kesepakatan-kesepakatan bilateral.
Sudah saatnya Seluruh kerja sama Global yang dilakukan pemerintah menggunakan kacamata mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tak kalah Krusial, pemerintah juga harus menerapkan hal yang sama di dalam negeri. Seluruh konsep pembangunan harus menggunakan prinsip ekonomi hijau atau rendah karbon.

